Oleh Setta SS (Antologi Semiliar Cinta untuk Ayah, GIP, 2011)
I.
Assalamu ‘alaikum wr. wb.,
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun, walhamdulillah. Tadi pagi jam 8 dilantik menjadi Kepala Dinas Pertanian. Mohon doa restu.
SEBUAH pesan singkat di atas masuk ke ponsel saya, hampir sepuluh bulan ke belakang. Dari seorang lelaki bersahaja kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 23 Maret 1957. Antara bahagia dan tak percaya, saya baca berulang kali isi pesan singkat itu dengan perasaan bangga dan kagum padanya.
Siapakah gerangan lelaki yang saya maksud itu?
Maka ketahuilah, ia bukanlah siapa-siapa, hanya seorang lelaki paruh baya yang sedang belajar memaknai sisa-sisa jatah usianya agar lebih berarti sebelum tutup umur nanti. Ketahuilah, lelaki itu bukanlah tipe seorang oportunis saat diamanahi sebuah jabatan strategis, tak suka gemerlap popularitas, dan tak pula mudah gelap mata pada uang haram yang kerap bersliweran di sekelilingnya. Perkenankan saya mengenalkannya kepada Anda, saya biasa memanggilnya cukup dengan satu kata saja: Ayah.
Ayah sudah berstatus yatim sejak usia delapan tahun. Kata Ayah, kakek tidak ketahuan lagi rimbanya tak lama setelah peristiwa 30 September 1965 meletus—padahal tidak ada bukti konkret bahwa kakek pernah terlibat dalam aktivitas kudeta berdarah itu. Sedangkan nenek hanyalah seorang perempuan desa tak berharta seperti pada umumnya kaum pinggiran kala itu. Selepas lulus dari SD Cilempuyang 1 tahun 1971 dengan hasil nilai Ujian Akhir untuk pelajaran Berhitung 8, Bahasa Indonesia 9, dan Pengetahuan Umum 10; Ayah melanjutkan ke SMP Cimanggu dan berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Purwokerto pada tahun 1977.
Kemudian berbekal tekad untuk memperbaiki ekonomi keluarga dan hasrat menjelajah tanah seberang, setahun berselang Ayah memutuskan untuk hijrah ke Musirawas, sebuah kabupaten di provinsi Sumatera Selatan yang tepat berbatasan dengan Bengkulu. Ayah bekerja menjadi Penyuluh Pertanian di sana. Hingga pada tahun 2003 lalu, berkat kegigihan dan semangat belajarnya yang tak pernah padam, Ayah—yang pernah terobsesi menjadi seorang dalang pertunjukan wayang kulit di masa mudanya dulu, berhak menyandang gelar Magister Managemen (MM) di belakang namanya.
Begitulah, Ayah benar-benar merangkak dari bawah, tangga demi tangga, dalam menapaki jenjang kariernya sebagai seorang abdi bangsa sejak 32 tahun silam.
“Ayah orang jujur,” kata salah seorang adik saya suatu ketika.
Saya pun mengamini pernyataan adik saya itu. Saya yakin beliau seorang pelayan negara yang memiliki komitmen pengabdian dan kejujuran luar biasa.
Apa buktinya?
Salah satu di antaranya, hingga hari ini tak ada kendaraan pribadi di rumah kami kecuali dua buah sepeda motor; sebuah Shogun tua yang dipakai adik bungsu Bunda dan sebuah sepeda motor yang biasa dipakai adik saya berangkat kerja.
Ya, hanya itu saja. Siapa pun Anda boleh mengeceknya ke rumah saya untuk membuktikannya.
II.
JUNI 2009. Ayah menyempatkan mampir ke kediaman saya di satu sudut Yogyakarta. Sebelum bertolak ke Batu, Malang, untuk keperluan dinas dari kantornya. Beliau sampai dengan taksi selepas Ashar, setelah sehari sebelumnya menjenguk nenek saya di Cilacap.
Sabtu malam itu, sepulang dari TB Togamas, Ayah mengajak saya makan malam di warung makan tenda tak jauh dari tempat tinggal saya. Kami memesan dua porsi nasi goreng dan dua gelas jeruk hangat.
Sambil menunggu pesanan tersaji, saya membaca-baca sekilas sebuah buku non-fiksi baru yang dibeli dari TB Togamas. Tak lama berselang, nasi goreng pesanan kami tiba. Saya letakkan buku baru itu di atas meja tepat di depan saya. Dan akan mulai mencicipi nasi goreng bagian saya.
Warna dan ilustrasi cover buku itu ternyata menarik perhatian seorang mahasiswa yang duduk tepat berseberangan dengan meja saya. Tanpa sungkan, mahasiswa itu meminta izin meminjamnya sambil menunggu pesanan makan malamnya terhidang di meja. Saya pun tersenyum lebar dan mengangguk mempersilahkan.
Maka ia mulai membuka lembar demi lembar buku itu penuh minat. Hingga kemudian terciptalah dialog di antara kami—saya dan dia, seputar isi buku, memecah kebekuan yang gagu. Dan belakangan ayah juga ikut nimbrung.
Mahasiswa supel itu lahir di Purwokerto, sebuah kota di Jawa Tengah di mana terdapat Universitas Jendral Soedirman (UNSOED). Ayah yang kebetulan menghabiskan sekolah menengahnya (SPMA) di kota itu, ternyata masih hafal betul seluk beluk tata kotanya meski sudah berkembang sangat pesat saat ini. Keduanya pun kemudian terlibat dalam sebuah obrolan nostalgia antara dua generasi yang terpaut usia lebih dari tiga dasa warsa seputar kota Purwokerto. Sementara itu, saya yang tidak begitu akrab dengan Purwokerto cukup menjadi pendengar yang baik saja. Hanya sesekali menimpali obrolan hangat mereka.
Dan, tibalah satu lagi episode yang saya kagumi dari pribadi Ayah saya. Saat mahasiswa itu pamitan untuk pulang lebih dulu dan hendak membayar uang makannya, dengan sigap Ayah bilang, “Biar saya yang bayar.”
Mahasiswa itu tampak sungkan dan berusaha mati-matian untuk membayarnya sendiri. Tetapi, tak kalah antusias, Ayah meyakinkannya dan si pemilik kedai tenda untuk menolak uang yang disodorkan kepadanya oleh si mahasiswa itu.
Saya tersenyum diam-diam menyaksikan adegan itu. Dan itu bukan kali pertama saya melihatnya saat-saat bersama Ayah, tetapi yang kesekian kali dari sedikit kebersamaan kami. Ayah suka berbagi dengan orang lain, bahkan pada mereka yang baru beberapa menit dikenalnya. Ya, jiwa philanthropist-nya cukup potensial untuk diwariskan kepada kami, keempat orang anak-anaknya.
Saya pun masih ingat, ketika terjadi invasi brutal ribuan serdadu Israel ke Jalur Gaza di penghujung Desember 2008 silam. Saat itu saya mengirim sebuah SMS berisi sebuah nomer rekening salah satu lembaga penyalur dana kemanusiaan ke Gaza ke nomer telepon genggam Ayah.
Beberapa hari kemudian, Ayah membalas SMS itu, “Pagi ini sudah ditransfer sejumlah uang ke rekening itu. Semoga berkah.”
Begitulah, Ayah pun telah mengajarkan sesuatu yang berharga kepada saya lewat perbuatan nyata tanpa banyak berkata-kata.
III.
SORE itu, beberapa tahun lalu, saya baru saja menyelesaikan Ujian Akhir Semester (UAS) hari terakhir setelah tiga minggu penuh berjuang untuk mendapatkan nilai-nilai terbaik. Namun, saya sudah pesimis tidak akan bisa memenuhi target yang sudah saya canangkan di awal semester enam bulan sebelumnya. Bahkan ujian mata kuliah terakhir hari itu saya tutup dengan sangat mengecewakan. Saya hanya berhasil menjawab dengan yakin dua soal dari jumlah enam soal yang diujikan oleh dosen Bahan Teknik kami.
Usai shalat Maghrib, dengan perasaan bersalah dan menyesal karena merasa telah menyia-nyiakan amanah kuliah di semester itu, saya memberanikan diri mengabari orangtua via SMS ke nomer HP Ayah. Sungguh, saya sudah ketakutan lebih dulu. Takut membayangkan reaksi mereka setelah membaca SMS yang akan saya kirimkan. Tentang kegagalan saya dalam menempuh UAS. Saya takut mereka akan memarahi saya saat itu juga.
Beberapa saat setelah dua SMS saya terkirim, sebuah balasan dari Ayah masuk. Dengan jari gemetar, saya memencet keypad untuk membaca SMS balasan itu.
“Alhamdulillah, selesai tanpa aral. Hal yang paling penting adalah, kami—Ayah dan Bunda, hargai komitmen, keseriusan, dan progres ikhtiar untuk proses selanjutnya. Output-nya hanya untuk bahan evaluasi yang bersiklus….”
Adalah benar, SMS itu masih berlanjut dengan nasihat-nasihat panjang yang sangat menggugah relung hati saya dan sekaligus semakin memojokkan saya pada sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang semakin berlipat. Tetapi, coba Anda bacalah awalan dari SMS Ayah saya di atas sekali lagi.
Beliau tidak memvonis saya bersalah secara langsung dan vulgar. Namun sebaliknya, pertama-tama Ayah justru menenangkan hati saya dengan ucapan hamdalah karena saya telah berhasil menyelesaikan UAS tanpa halangan. Kemudian diikuti dengan penghargaan atas usaha dan ikhtiar yang sudah saya lakukan—betapapun hasilnya sungguh mengecewakan. Sebelum menutupnya dengan nasehat-nasehat bijak yang sanggup menyejukkan kesedihan saya kala itu. Ayah tidak menambah beban kesalahan yang sesungguhnya sudah sangat berat saya rasakan tempo itu.
Dan sungguh, saya mendapat sebuah pelajaran yang sangat berharga dari mereka—Ayah dan Bunda, tentang bersikap bijak dalam menyikapi suatu permasalahan. Jika semua orang dapat melihat hidup dengan cara pandang seperti kedua orang tua saya, maka tentu akan terdapat jauh lebih sedikit permasalahan di dunia ini.
IV.
“BUKU ini bagus!” kata Ayah sambil menunjukkan buku kumpulan tulisan inspiratif berjudul “Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda” di sela perjumpaan kami di rumah nenek di Cilacap pada perayaan ‘Idul Fitri 1430 H hampir setahun lalu. Ayah bermaksud meminta buku itu untuk dibawa pulang ke rumah kami di Musirawas. Untuk menambah koleksi perpustakaan rumah kami tepatnya. Dengan berat hati, saya tidak mengizinkan karena buku itu milik seorang teman saya. Saya meminjamnya untuk bekal bahan bacaan selama di perjalanan mudik dan balik sepanjang Yogyakarta-Cilacap.
Ayah adalah senior saya dalam dunia baca-membaca dan tulis-menulis. Saya akui sejujurnya tentang hal ini. Dulu, saat saya membongkar koper tua yang menyimpan berbagai dokumen tua—dan mungkin sebenarnya sebagian di antaranya adalah dokumen rahasia—yang tersimpan di almari tua di rumah nenek saya, saya temukan kliping karya-karya Ayah yang dimuat di beberapa media massa berupa reportase, opini, intermeso, cerpen, dan cerbung. Dan Ayah pun pernah memenangkan Lomba Cipta Cerpen Remaja se-Sumbagsel di awal tahun 1990-an. Cerpen itu berjudul “Buku Harian Papa”, yang bercerita tentang masa kecil saya—yang sudah tinggal bersama nenek di Cilacap sejak bayi merah.
“Jika masa Ayah muda dulu seperti di zamanmu kini, mungkin Ayah sudah punya beberapa buku sepertimu,” ujarnya jujur, mengakui satu-satunya kekalahannya dari saya dalam dunia olah kata adalah, bahwa sampai hari ini saya sudah punya lima buku antologi bersama, sedang Ayah tak punya satu buku pun.
Oleh karena itu, saya tidak lagi heran ketika Ayah bercerita melalui pesan pendek beberapa hari yang lalu, “Sejak pertengahan awal bulan ini, Ayah cukup banyak menulis opini dan refleksi harian di rubrik Ekstensia di sebuah koran lokal dengan menggabungkan gaya bertutur Emha Ainun Nadjib dan Andi Hakim Nasution.” Karena ternyata Ayah memang sudah terbiasa mengabadikan hampir setiap peristiwa yang dialaminya ke dalam sebuah buku harian (diary) sejak muda dulu. Dan artikel pertamanya sudah dimuat di Majalah Pelajar Jawa Tengah, Gairah, saat Ayah masih duduk di bangku SMP kelas 1 pada tahun 1972.
Begitulah. Maka sangat boleh jadi kemampuan menulis yang saya miliki hari ini juga terinspirasi oleh keteladanan budaya baca tulis yang dicontohkan Ayah selama ini.
V.
YA Allah, berkahilah sepanjang sisa usia Ayah. Bimbing selalu agar kehadirannya layak menjadi teladan bagi kami keempat putra-putrinya dan orang-orang setelah kami. Amin.
Terimakasih, Ayah. Seni seviyorum! (*)
Yogyakarta, 1 Agustus 2o1o 11:39 p.m.
Catatan:
philanthropist=dermawan
seni seviyorum (Turkey)=aku mencintaimu
amalia achmad
membaca ini memberi saya bulu kuduk yang berdiri
sebentar, mau nahan nangis dulu, ingat Bapak sendiri :’)
tini
Ini kumpulan note kakak ya…
pasti ayah bangga kalau membaca tulisan ini…
Selamat kak 🙂