Oleh Setta SS (Kotasantri, 7 Februari 2009)
DUA tahun lalu, tak jauh dari tempat tinggal saya di Yogyakarta, ada sebuah warung makan. Warung makan AGAPE namanya. Posisinya strategis. Terletak di sisi jalan utama yang dilewati lalu lalang mahasiswa, baik yang berjalan kaki, bersepeda motor, maupun berkendaraan roda empat.
Namun ada yang terasa janggal di mata saya saat itu. Dengan posisi yang strategis seperti itu, warung makan AGAPE yang buka setiap hari dari sore hingga larut malam itu selalu sepi pengunjung. Terlihat kontras jika dibandingkan dengan jumlah pengunjung warung makan yang berada tepat di sebrang jalan. Padahal dari luar tampak tidak ada perbedaan mencolok terkait tata letak ruangan di antara keduanya. Saya sendiri hanya pernah sekali mampir ke warung makan AGAPE. Membeli krupuk putih untuk menemani makan malam yang sudah saya beli di warung makan lainnya. Kenapa gerangan?
Belakangan saya baru tahu alasan sesungguhnya. AGAPE ternyata adalah sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berarti cinta. Cinta unconditional, seperti cinta tuhan atau dewa kepada umatnya. Kata AGAPE sudah lazim dipakai oleh kaum Nasrani. Atau dengan kata lain, AGAPE identik dengan agama mereka. Dan memang faktanya, selain menjual menu-menu halal, warung makan AGAPE juga menjual menu semur daging anjing. Begitulah.
Selama rentang waktu hampir dua tahun berikutnya, tercatat lokal bangunan yang ditempati warung makan AGAPE sempat berganti nama dan penyewa beberapa kali. Digunakan untuk usaha warung makan juga. Tapi tanpa mengubah sedikitpun dari bentuk bangunan sebelumnya.
Meskipun sudah berganti nama dan jelas-jelas sang penyewa baru menuliskan dengan font besar-besar kalimat “Dijamin 100% Halal” di spanduk yang mereka pasang, warung makan berikutnya setelah AGAPE selalu sepi pengunjung. Bahkan saat masa promosi yang memasang tarif setengah harga pun, hanya segelintir orang saja yang mampir ke sana.
Saya yang hampir setiap hari lewat di depan warung makan bekas AGAPE itu, tidak pernah tertarik lagi untuk mampir. Kekhawatiran tentang imej AGAPE yang sudah tersimpan kuat di benak saya sebelumnya, sukses mengalahkan harga promosi yang ditawarkan dan spanduk bertuliskan “Dijamin 100% Halal” itu.
Kini di lokasi yang sama sudah tidak berdiri lagi wujud bangunan asli warung makan AGAPE dulu. Dengan perombakan total dan perluasan area yang signifikan, di lokasi itu sudah berdiri bangunan semi permanen baru. Sebuah kedai bakso dan soto ayam/sapi.
Meski belum seramai warung makan di sebrang jalan, tetapi kini sudah terlihat ada peningkatan jumlah pengunjung. Saya yakin akan semakin banyak pengunjung yang datang ke sana seiring berjalannya waktu nanti. Selain belum banyak warung makan sejenis, jaminan halal adalah alasan kuat berikutnya. Hanya sesederhana itu alasan hipotesa saya.
Kiranya kita dapat bercermin diri dari proses ‘metamorfosis’ bangunan dan menu warung makan AGAPE yang menjual semur daging ajing menjadi kedai bakso dan soto ayam/sapi halal di atas. Bahwa tidak ada cara lain yang lebih manjur untuk mengubah citra diri kita yang terlanjur suram di masa silam kecuali dengan ‘metamorfosis’diri secara totalitas, selangkah demi selangkah. (*)
.
.
Yogyakarta, 26 Juli 2008 06:34 WIB
Metamorfosis adalah suatu proses perkembangan biologipada hewan yang melibatkan perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Perubahan fisik itu terjadi akibat pertumbuhan sel dan differensiasi sel yang secara radikal berbeda. Beberapa serangga, amfibi, mollusca, crustacea, echinodermata, dan tunicata mengalami proses metamorfosis, yang biasanya (tapi tidak selalu) disertai perubahan habitat atau kelakuan. (Wikipedia)
.
Leave a Reply