Cerpen Sunaryono Basuki Ks. (Jawa Pos, 5 Juni 2011)
“Tersebab aku mustahil jadi matahari
Atau cahaya purnama muram,
Jadikanlah aku sebatang lilin,
Yang kemerlap dalam gelap”
.
“BERTINDAKLAH seperti lilin, menerangi gelap di sekitar kita.” Itu kata Mbah Tahal Karyoutomo, ayah kandung ayahku. Tentu saja aku tidak mendengar langsung kata-kata Mbah Tahal atau Eyang Tahal atau Eyang Kakung, sebut apa saja. Bagiku sama saja. Anak-anakku menyebut kakek dan neneknya Mbah Kakung dan Mbah Putri, disingkat Akung dan Uti. Cucu-cucuku pun juga menyebut kami Akung dan Uti, tidak pernah menyebutnya dengan lengkap apakah Eyang atau Mbah. Apa bedanya? Kata sebagian orang, eyang lebih terhormat daripada mbah, tetapi ukuran apa yang dipakai? Aku menyadari bahwa aku hanyalah keturunan rakyat jelata.
Ayahkulah yang meneruskan kata-kata kakek kepadaku, pada dini hari selepas makan sahur, sebab aku tidak ingat wajah Mbah Tahal. Ibuku pernah bercerita bahwa Mbah Tahal pernah menjengukku di Desa Bululawang, desa yang terletak di seberang sungai dari Desa Sutojayan tempat Mbah Tahal tinggal. Sedangkan di Bululawang status kami adalah pengungsi. Sejak Belanda berupaya menguasai kembali Indonesia, kami bergerak dari satu dusun pengungsian ke dusun lain. Aku benar-benar tidak bisa mengingat wajah Mbah Tahal. Celakanya, tidak ada foto yang dapat mengingatkan aku kepadanya. Hanya, aku punya foto Pakde Juri di depan rumahnya, yang dulunya rumah Mbah Tahal. Pakde adalah anak sulung, sedangkan ayahku anak bungsu di antara delapan bersaudara. Hanya pakde dan ayahku yang anak lelaki, selebihnya perempuan.
Mbah Tahal meninggal saat kami masih tinggal di Bululawang dan berita kematian disampaikan oleh entah salah seorang kerabat di dalam keadaan gawat perang. Setiap saat pasukan Belanda melakukan patroli keluar masuk desa. Dan ayah, katanya kelak, harus datang ke Sutojayan tempat tinggal Mbah Tahal. Celakanya saat sampai di sana, ada patroli Belanda, dan dengan gemetar, mengenakan sarung serta telanjang dada ayah menyalakan api tunggu di dapur saat terjadi penggeledahan. Syukurlah, tidak dicurigai dan ayah selamat dari operasi. Esoknya penguburan dilakukan.
Sedangkan Mbah Putri Tahal berumur panjang. Aku punya fotonya saat berkunjung ke rumah kami di Malang, saat sudah merdeka sepuluh tahun. Foto Mbah Putri bersama Mbah Ning, kakak kandung nenekku dari pihak ibu yang bersuami orang Belanda insinyur pembangunan jalan raya, namun mereka tidak punya keturunan sampai suaminya yang Belanda itu pindah ke Makassar dan kemudian entah raib ke mana, mungkin pulang ke negerinya dan kami tak tahu beritanya. Yang jelas, di Desa Pakisaji, dia meninggalkan tanah yang sangat luas, di atasnya berdiri dua buah rumah, yang satu ditinggali nenek sampai saat meninggalnya, sedangkan yang satu lagi yang katanya berarsitektur Belanda yang indah hancur oleh pengeboman Belanda pada Juli 1947, bersama dibomnya dua tangki minyak raksasa yang katanya persediaan minyak Belanda sendiri. Gelegar bom sampai terdengar dari Desa Bululawang tempat kami mengungsi.
Foto Pakde Juri berpose duduk di kursi, aku sendiri yang memotretnya memakai kamera milik kakak sepupuku yang sejak kecil ikut ayah dan dianggap sebagai anak kandung sendiri. Dia adalah anak kakak perempuan ayahku yang sejak kecil yatim piatu, dan sebagai paman, ayahku yang sudah punya pekerjaan sebagai school-opziener (penilik sekolah) rupanya punya kewajiban untuk memelihara kemenakannya itu.
Di dalam foto, Pakde Juri mengenakan jas dengan kancing penuh dan dihiasi rantai jam yang menjadi mode saat itu. Di rumahnya, Mbah Tahal mempunyai berpeti-peti piring keramik buatan China yang berwarna biru. Rupanya, peti-peti atau yang disebut jodang itu beserta isinya sudah dijual habis oleh entah siapa. Di rumah kami di Malang tersisa dua buah piring yang dipasang di tembok kamar tamu. Piring itulah yang diincar oleh Andi, anak kami yang saat menempuh kuliah di ITN Malang tinggal bersama neneknya di rumah Jalan Lebaksari itu. Keinginannya tersebut pernah diungkapkan langsung pada waktu ibuku masih hidup, namun sekarang piring tersebut masih di sana dan ibu sudah meninggal pada usia 87 tahun beberapa tahun lalu.
Aku tidak tahu mengapa desa itu dinamai Sutojayan, adakah hubungannya dengan Sutawijaya? Aku juga tidak tahu kenapa Mbah Tahal yang orang desa itu punya banyak jodang yang berisi piring-piring keramik asal China? Aku juga tidak tahu mengapa Mbah Tahal yang tinggal di desa itu punya rumah yang disebut antik untuk masa kini? Bagian depannya punya pintu berukir yang kalau tak salah bernama gebyok yang merupakan pintu rumah bangsawan. Gebyok itulah yang diburu oleh Dr. Hazim Amir yang dosen IKIP Malang dan menjadikan rumahnya di kompleks kampus IKIP sebagai semacam museum yang penuh dengan gebyok, roda pedati, roda dokar, dan segala macam tetek-bengek yang tidak selalu menjadi kegemaran orang berduit. Anehnya, setiap punya uang, Dr. Hazim Amir berburu gebyok ke desa-desa dan memboyongnya ke rumah. Mungkin salah satunya diboyong dari rumah Mbah Tahal almarhum di Sutojayan.
Kakak keponakanku, Mas Darmo, pernah bercerita bahwa Mbah Tahal adalah sisa-sisa pasukan Pangeran Diponegoro yang menyingkir ke timur, membuka lahan pertanian di sana. Tak heran, hampir seluruh tanah di desa itu milik Mbah Tahal yang kemudian dibagi-bagi untuk anak cucunya sampai habis. Bahkan, tokoh-tokoh penting di desa tersebut adalah keturunan Mbah Tahal. Sayang sekali karena kepindahanku ke kota, kemudian ke Bali, aku benar-benar terpisah dari asal-usulku, dan tak ada silsilah yang dapat kupegang mengenai Mbah Tahal dan keturunannya. Yang tersisa adalah kenangan mandi di parit kecil di samping rumah atau mandi di sungai besar di desa sebelah barat. Ayah pernah bercerita bahwa saat dikhitan, anak-anak berendam di lumpur sawah supaya khitannya cepat sembuh. Jangan dicoba hal itu sekarang kalau tidak mau lukanya kena infeksi berat lantaran sawah sekarang sudah penuh insektisida. Padahal, dulu hanya jerami yang dibakar yang dipakai untuk pupuk dan tak ditambah antihama. Itu pupuk terbaik setahuku.
Tentang prajurit Pangeran Diponegoro yang menyingkir, aku juga tak tahu persis. Namun pada suatu malam, ketika aku tinggal sekamar hotel dengan Eka Budianta di Nusa Dua dan aku bercerita tentang asal-usulku, dia dengan meyakinkan mengatakan bahwa kaum cendekia dari Jawa yang menyingkir dari pusat kebudayaan membuang semua buku-bukunya dan hidup sebagai manusia baru yang bebas dari buku. Apakah Mbah Tahal salah seorang di antara mereka? Aku tak yakin, namun bila melihat pakaiannya seperti yang dikenakan anak sulungnya, yakni Pakde Jufri, dan rumahnya dan koleksi jodangnya, mustahil dia sekadar orang kebanyakan. Sebagai orang desa zaman dulu, walaupun kaya raya, mustahil dia berani membangun rumah gaya bangsawan dan mempunyai koleksi jodang yang juga hanya dimiliki para bangsawan. Rumah anak-anaknya pun adalah rumah-rumah biasa, beratap rendah bercampur dengan kandang kambing, kecuali rumah sepupuku yang menjabat juru tulis desa, yang punya beranda yang dibatasi dinding kayu bagian bawahnya dan kawat bagian atasnya.
Apakah Mbah Tahal seorang bangsawan dan karena itu harus kupangggil Eyang Tahal, aku tak tahu. Ayah pun tak pernah bercerita. Namun, orang desa macam apa yang mampu menyekolahkan anak bungsunya sampai di sekolah guru di Probolinggo. Mungkinkah Mbah Tahal benar-benar bangsawan? Nama ayahku, asilnya, Saim atau Shoim yang adalah nama muslim yang berarti berpuasa. Namun, entah siapa yang menjadikannya Koesnosoebroto? Nama gaya kota? Mbah Tahal sendiri bernama lengkap Karyoutomo yang bukan nama orang desa. Tahal sendiri mungkin juga nama muslim sebagaimana aku punya teman dari Makasar yang bernama Prof. Dr. Zainuddin Taha. Kami teman sepondokan di Bintaran Tengah 15, Jogjakarta, saat kami menghadiri Penataran Dosen Bahasa Indonesia dan Inggris se-Indonesia. Banyak pemondok di rumah Pak Sumadi ini, antara lain, Oka Kusumayudha yang wartawan dan Fauzy Ridjal, mahasiswa ekonomi UGM yang nyaris MA atau mahasiswa abadi yang sering dikunjungi Ashadi Siregar, novelis terkenal dengan novel Cintaku di Kampus Biru.
Ternyata, pengetahuanku mengenai nama-nama sangat miskin. Namun setahuku, nama-nama keluargaku di Desa Sutojayan itu nama muslim yang dijawakan seperti nama ayahku.
Lalu, dari mana filsafat lilin yang menerangi kegelapan berasal? Mbah Tahal mungkin berhubungan dengan lampu teplok, senthir, obor, tetapi apakah ada yang dia baca mengenai lilin? Aku tidak tahu, tetapi yang penting aku telah mencoba untuk menjadi lilin yang menerangi kegelapan. Pekerjaanku sebagai dosen tidak bisa membuatku kaya raya, tetapi aku tidak menyesal. Baru-baru ini ada reuni lulusan jurusan tempat aku mengajar dari awal sampai pensiun, tepatnya sampai aku dipensiun oleh peraturan menteri pendidikan nasional. Saat semua setuju agar jabatan profesorku dapat diperpanjang sampai aku berusia 70 tahun, termasuk Dirjen Dikti yang setuju, menteri justru menetapkan aku harus pensiun berdasar permen (bukan permen yang enak) yang dikeluarkan setelah berkas pengusulanku sudah di meja Dirjen. Menurut permen yang dikeluarkan bulan Desember, hanya guru besar yang bergelar doktor yang boleh diperpanjang jabatannya sampai usia 70 tahun. Beberapa teman guru besar yang bergelar Drs. saja, namun lebih tua beberapa bulan dariku langsung mengantongi SK perpanjangan pensiun. Aku anggap itu bukan rezeki. Aku memang bukan orang yang pandai, mungkin malah dianggap pandir karena senang menulis buku fiksi, puku puisi, dan buku esai, serta menulis di koran. Waktu pengusulan ke jabatan guru besar pun tiga kali ditolak, dan akhirnya diputuskan agar berkas usulanku diperiksa oleh pemeriksa di luar kampus. Ternyata, berkas tersebut dikirim ke Prof. Zuchridin yang juga seorang sastrawan yang tahu aku banyak menulis buku. Pertanyaannya aneh: “Mana buku-bukumu, Yon?”
“Sudah ditolak, Pak.”
Aku tahu karya sastra dapat dihargai dengan angka kredit, dan itu ada aturannya yang tidak mau diketahui oleh para pemeriksa. Bagi mereka, karya sastra sekadar khayalan. Hanya Prof. Nyoman Tirta yang membelaku karena dia paham masalahnya, padahal bidang studinya biologi, dan dia membaca sastra, bahkan yang ditulis di dalam bahasa Inggris.
Ajaran Mbah Tahal aku upayakan di dalam memberi terang kepada mahasiswaku. Ternyata, banyak di antara mereka yang ingat. Bulan lalu, sewaktu mereka mengadakan reuni di kampus yang tidak bisa kuhadiri karena kalau hadir harus dibantu didorong di kursi roda, ternyata puluhan bekas mahasiswa yang datang menengokku sampai empat tahap. Dua di antara mereka malah menolongku mengobati sakit kakiku dengan cara mereka masing-masing, yang pertama Ivon dan yang kedua Witama yang sudah menjadi Jero Gede semacam pendeta. Pakaiannya saja putih-putih.
Lilin itu masih kulihat bersinar di wajah mereka. Kata temanku yang lain, lilin membakar dirinya untuk menerangi dunia sampai habis. Habis berarti musnah, sebagaimana aku nanti juga musnah. Dalam usiaku yang mendekati 70 tahun, mampukah aku pensiun, atau terus akan menjadi “guru besar emeritus” tanpa ada yang menggaji. Aku teringat Mbah Tahal melalui foto Pakde Juri yang tewas di dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sebagaimana Wawan, sulung kami yang mengalami nasib yang sama pada usia 17 tahun. (*)
.
.
Singaraja, Mei 2011
Hadiah ulang tahun ke-68 istriku, I Gusti Ayu Darmika, hari ini.
.
Leave a Reply