Cerpen Dadang Ari Murtono (Jawa Pos, 26 Juni 2011)
TIDAK ada satu pun penduduk kampung itu yang tahu darimana cangkang tersebut berasal. Dan, bagaimana cangkang itu tiba-tiba ada di balai dusun. Cangkang tersebut ada tiba-tiba. Teronggok di balai dusun pada suatu pagi setelah malam harinya hujan turun dengan deras. Tak pernah ada hujan sederas itu sebelumnya. Hujan yang membawa banyak petir. Hujan yang disertai angin. Dan, semua orang memilih berdiam di rumah. Warung-warung tutup. “Alangkah singun ini malam,” kata Bayan kepada istrinya. “Pasti akan terjadi sesuatu,” lanjutnya.
Dan, benarlah. Pagi harinya, Bayan yang rajin itu, yang selalu sampai paling awal di balai dusun, mendapati cangkang itu tergeletak begitu saja. Cangkang berwarna putih burek. Cangkang seperti cangkang telur ayam. Hanya lebih besar.
Cangkang yang misterius itu pastilah akan dibuang begitu saja dan tak menimbulkan banyak pertanyaan andai saja bukan Bayan yang menemukannya pertama kali. Bukankah Bayan itu yang berpikir akan terjadi sesuatu di kampung ini? Dan, perkiraan Bayan itu seperti mendapat pembenaran ketika ia menemukan cangkang itu.
“Alangkah aneh cangkang ini. Pastilah cangkang ini yang dibawa hujan semalam. Hujan yang tak terkira derasnya itu,” kata Bayan. Bayan pula yang kemudian memukul kentongan. Mengundang semua warga untuk berkumpul dan meninggalkan pekerjaan mereka di sawah atau kebun.
“Ah, itu pasti telur angsa. Tidak ada yang aneh dengan itu,” kata salah seorang penduduk yang merasa jengkel karena mesti meninggalkan tanaman padinya yang butuh diairi itu.
“Bukan, bukan,” jawab Bayan. “Semalam hujan turun deras sekali. Pasti itu bukan hujan yang biasa. Hujan itu pertanda akan ada sesuatu di kampung ini. Dan inilah yang dimaksud hujan itu. Cangkang ini. Ini pasti bukan cangkang biasa. Lihatlah, bila ini telur, pasti tidak sekeras ini. Ada sesuatu dalam cangkang ini. Dan itu pastinya akan berhubungan dengan kampung ini,” tambah Bayan dengan sengit.
“Lalu bagaimana? Apakah kita pecahkan saja cangkang ini biar jelas apa isinya?” tanya Kepala Kampung.
“Jangan gegabah. Kita belum tahu apa-apa tentang cangkang ini. Saya takut bila ternyata cangkang ini menyimpan bubuk bencana. Bubuk yang bisa menyebar dengan cepat dan menimbulkan banyak kerusakan pada kampung kita,” jawab Bayan.
“Lalu bagaimana? Apakah kita buang saja ini cangkang?” tanya Kepala Kampung lagi.
“Itu juga bukan pilihan yang bijak. Saya juga takut bila ternyata cangkang ini menyimpan berkah. Semacam jimat. Bila kita membuangnya, maka si pemberi jimat akan marah dan menurunkan bencana untuk kita. Dan bisa pula bila cangkang ini adalah penanda lain yang akan membuat hasil panen kita berlimpah,” jawab Bayan.
Maka akhirnya, diputuskan agar cangkang itu disimpan sementara waktu. Disimpan di balai dusun sampai ada yang bisa menjelaskan apa sebenarnya cangkang itu. Bayan yang pertama menemukan cangkang tersebut ditugaskan untuk mencari orang pintar guna mengetahui cangkang itu sebenarnya.
Seorang dukun perempuan dari lereng gunung yang jauh kemudian menjelaskan perihal cangkang itu.
“Jadi, pada malam itu.” Si dukun memulai cerita, “Celeng Sarenggi turun dari pertapaannya. Celeng itu merasa lapar karena sudah bertahun-tahun dia bertapa tanpa makan tanpa minum. Tanaman yang paling disukai Celeng Sarenggi adalah padi-padi yang sudah hampir tua dan bernas. Dan tidak ada tanaman padi dalam radius puluhan kilometer dari pertapaannya yang lebih bagus dari tanaman padi di kampung ini. Maka dia memutuskan turun ke kampung ini. Turun untuk memangsa padi-padi kalian.”
Dukun perempuan itu diam sejenak. Mengirup kopi hitam suguhannya. “Namun di mana ada Celeng Sarenggi, di situ pula ada Sedana. Tahukah kalian siapa Sedana itu? Sedana itu saudara laki-laki Sri, si dewi padi yang menumbuhkan padi-padi yang kalian tanam. Sedana itu pelindung Sri. Dan Celeng Sarenggi adalah musuh abadi Sri. Sebab itu, pada suatu ketika, Sedana bilang, ‘Akan kulindungi Sri dari Celeng Sarenggi. Di mana pun dan kapan pun Celeng Sarenggi hendak menyakiti Sri, menyakiti padi-padi yang ditumbuhkan Sri, aku akan datang. Datang untuk mengusir Celeng itu.’
Pada malam itu Sedana juga muncul. Muncul bersamaan dengan Celeng Sarenggi. Mereka bertarung dengan hebat. Suara tarung mereka itulah yang kalian dengar sebagai petir yang tak habis-habisnya semalam suntuk itu. Angin kencang tersebut adalah angin yang ditimbulkan dari udara yang terkebas di sekitaran medan tempur mereka itu. Sedangkan hujan tersebut adalah peluh dari sepasang petarung itu.
Celeng Sarenggi teramat sakti. Ia sudah bertahun-tahun bertapa. Dan dari hasil pertapaannya itu, ia memperoleh aji-aji yang membuatnya tak bisa mati. Berapa kali pun Sedana memenggal kepalanya, Celeng Sarenggi akan tetap hidup. Kepalanya akan kembali menempel di lehernya yang pendek dan hitam itu.
Tapi Sedana juga sakti. Lebih sakti dari Celeng Sarenggi. Sedana juga pertapa yang baik. Juga, jauh lebih khusuk daripada Celeng Sarenggi yang dalam tapanya masih tergoda untuk makan dan minum. Sedana pun tahu bahwa Celeng Sarenggi tidak bisa mati. Sebab itu, kemudian ia menangkap Celeng Sarenggi dan memasukkannya ke cangkang ini. Cangkang yang diciptakan Sedana dari seruas tulangnya sendiri.”
Orang-orang melongo. Antara percaya dan tidak. Dan dukun perempuan itu menghirup kopi sekali lagi. Lalu, meneruskan bercerita.
“Simpanlah baik-baik cangkang ini. Jangan sampai hilang atau pecah. Simpan baik-baik. Sebab, dalam cangkang ini meringkuk Celeng Sarenggi yang lapar. Sekali cangkang ini pecah, Celeng Sarenggi akan keluar dan menghabiskan seluruh padi kalian. Tidak akan ada hasil panen lagi. Sebab, Sedana sedang memulihkan diri. Sedana tidak bisa tiba-tiba datang saat ini. Dia mengalami banyak luka karena serudukan Celeng Sarenggi. Butuh bertahun-tahun lagi agar dia bisa benar-benar pulih.”
Orang-orang kampung pun percaya itu. Bayan ditugaskan untuk menjaga cangkang tersebut. Menjaga agar tidak hilang, apalagi pecah. Dan selama bertahun-tahun kemudian, hasil panen padi di kampung ini senantiasa melimpah. Lebih melimpah dari tahun-tahun sebelumnya. Tak ada hama. Tak ada wabah di kampung.
***
“Itu hanya dongeng lama. Dongeng yang tak masuk akal. Cerita itu hanya cocok untuk mengantar bocah tidur. Tidak ada itu Sedana. Tidak ada itu Sri. Tidak ada itu Celeng Sarenggi. Bila ingin tanaman padi bagus, ya harus dirawat dengan baik. Diairi dengan baik. Dipupuk dengan baik. Jangan lagi percaya dengan cangkang itu. Itu hanya cangkang. Tidak ada Celeng Sarenggi di dalam cangkang itu,” kata seorang pemuda yang baru pulang dari kota yang jauh. Pulang setelah menyelesaikan kuliahnya pada jurusan pertanian di universitas besar. Pemuda itu cucu dari Bayan yang ditugaskan menjaga cangkang itu selama bertahun-tahun.
“Di kampus, saya telah diajari bagaimana menanam padi yang baik. Dan dengan senang hati akan saya ajarkan pada kalian semua. Sungguh, ternyata dalam pelajaran yang saya terima itu, tidak ada Celeng Sarenggi atau Sedana. Semua tergantung dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, pengairan, dan hal-hal semacam itu. Tapi tidak ada Celeng Sarenggi dan Sedana. Lagi pula, bukankah kalian adalah orang-orang yang beragama. Jangan menjadi musyrik dan menyekutukan Tuhan dengan percaya pada cangkang itu,” lanjutnya berapi-api.
Karena hanya pemuda itu di kampung itu yang pernah kuliah dan dianggap paling pintar, orang-orang percaya dengan ucapan pemuda tersebut. Orang-orang pun akhirnya menyetujui juga ketika pemuda itu hendak memecahkan cangkang. Beberapa orang tua–termasuk Bayan–yang awalnya tidak setuju, akhirnya juga tidak menolak ketika pemuda itu menuduh mereka musyrik bila terus-terusan mempercayai cangkang itu.
“Tidak akan masuk surga mereka yang musyrik!” tegas pemuda itu.
“Lihatlah! Lihatlah! Tidak ada apa-apa dalam cangkang ini. Kosong. Tidak ada apa-apa. Tidak ada Celeng hitam besar bertaring panjang dan tajam dalam cangkang ini. Kosong! Benar-benar kosong!” seru pemuda itu setelah memecahkan cangkang itu dengan palu besar di hadapan orang-orang.
“Jangan percaya lagi dengan hal-hal tidak masuk akal seperti bualan tentang cangkang itu. Akan kuajari kalian cara menanam padi yang baik hingga hasil panen kalian bisa berlipat-lipat jumlahnya,” pungkas pemuda itu.
***
Pemuda itu pergi pada suatu pagi. Kepada Bayan kakeknya itu, ia berkata, “Saya akan kembali ke kampus. Menanyakan masalah ini pada dosen saya dulu.”
Bayan itu tidak melarang. Bayan itu hanya terpekur sedih. Sama sedihnya dengan orang-orang kampung yang lain. Orang-orang kampung yang telah mengikuti semua yang diajarkan pemuda sarjana pertanian itu dalam menanam padi. Namun tetap saja padi-padi itu tidak bisa dipanen. Padi-padi itu memang tumbuh dengan bagus pada awalnya. Namun padi-padi itu selalu rusak beberapa hari sebelum dipanen. Dan pemuda itu tidak mengerti apa yang salah dengan teori yang didapatnya semasa kuliah dulu.
Orang-orang kampung kemudian menyesal telah setuju untuk memecahkan cangkang itu. (*)
.
.
Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Pacet, Kabupaten Mojokerto. Menulis cerpen dan puisi, bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.
.
Ing Gar
Heran, padahal cerpen ini sudah dimuat di Harian Sumut Pos, 3 July 2011, http://www.hariansumutpos.com/2011/07/9904/cangkang.htm