Cerpen Lan Fang (Jawa Pos, 10 Juli 2011)
TIK tak tik tak….
Jam sudah menunjukkan pukul 23.24. Jarum jam terdengar seperti jantung yang berdetak. Perempuan itu berdiri, bergerak untuk meluruskan bahu dan punggungnya. Tetapi baru sedikit bergerak saja, sudah terdengar bunyi bergemeretak, suara yang sangat nyaring sampai menyaingi detak jantung jam, seakan-akan tubuhnya sudah amat renta.
Disingkapkannya kain jendela. Tampak lampu jalanan yang tidak terlalu terang memantulkan jalanan basah dan meluapkan air dari selokan.
Segerombolan air melata.
“Deras sekali…,” senyumnya pucat.
.
Tik tak tik tak….
Entah kenapa tahun ini hujan begitu liar. Kerap sekali debam di langit terdengar seperti raksasa sedang membanting pintu neraka. Konon, ada raksasa yang tidak betah di sana lalu memutuskan untuk minggat saja. Aku tidak tahu kemanakah raksasa itu melarikan diri sebab tiba-tiba semua mendadak gelap. Lampu padam.
Ketika itulah kau masuk.
“Deras sekali…,” kau seakan-akan sedang menyelamatkan diri dari kepungan bencana.
.
Tik tak tik tak….
Itu bunyi terakhir yang dipukulkannya ke tubuhku. Kemudian dua telunjuk kanan dan kirinya berhenti bergerak. Berhenti pulalah irama malam. Yang tertinggal hanyalah kegelapan dan suara deras yang kian mencekam.
Kulihat keningnya membentuk selajur parit. “Dasar, mesin ketik tua!” dia memukul badanku.
Kemudian dia meraih minyak kayu putih di sebelahku. Dioleskannya minyak kayu putih di beberapa bagian tubuhnya : leher, perut dan dada. Aroma minyak kayu putih membuatnya seharum bayi. Aku suka harumnya.
Tetapi dia terus menggerutu panjang pendek sambil memijit ujung-ujung jemari, lengan, bahu sampai pundaknya. “Dasar, rematik! Dasar, asam urat! Dasar, hujan!” cekungan parit di keningnya semakin dalam. Sepertinya dia sedang tidak senang hati.
Dia tidak pernah senang hati sejak laki-lakinya….
.
Tik tak tik tak….
“Aku sudah mencari laki-laki itu…,” ujarmu dengan lidah yang mengintip-intip. Tetapi aku bisa melihat lidahmu dengan jelas, lidahmu bercabang dua.
.
Tik tak tik tak….
Perempuan itu tidak pernah senang hati sejak kehilangan laki-lakinya. Dia mati gairah sehingga tidak ada satu kalimat pun bisa diselesaikannya. Penyebabnya tidak jelas. Dia bukan ditinggalkan karena tampak peyot, renta dan berpenyakitan. Dia masih muda dan cantik walau pun sekilas seperti tidak terawat.
Kalian tidak percaya padaku?
Lihatlah!
.
Tik tak tik tak….
Kau merayap dan bergelung di kakinya. Dia diam saja. Bahkan dia sama sekali tidak menjerit ketika kau menuju pahanya, menelusup ke dalam daster lunturnya yang kedodoran, membelit perutnya kemudian menyusuri dadanya.
Apakah kau mencium harum bayi dari dadanya?
“Tidak. Hanya ada bau kerinduan yang kian membusuk….”
Dia membiarkan setiap inci kulitnya kau intimi. Kemudian kepala runcingmu mengalungi lehernya. Aku kuatir bila kau mengetatkan lilitanmu di lehernya. Tetapi rupanya dia sudah akrab denganmu. Dibiarkannya dirimu bermanja-manja meliliti lehernya. Kalian saling bertatapan. Mata dengan mata.
“Xiao Qing, kau pasti kedinginan….” dia berkata padamu.
Saat itu kulihat, lidahnya serupa lidahmu, bercabang dua juga.
.
Tik tak tik tak….
Dia mengusap butir-butir air yg menempel di sisik-sisik yang berwarna hijau. Butiran air yang sama juga sedang meleleh dari sudut matanya.
“Kau masih belum bisa menemukannya, Xiao Qing? Sudah berapa ribu tahun… sudah berapa kali kehidupan… aku sudah tua untuk yang kesekian kali….” dia meratap.
Tidak ada suara lain kecuali detak jam dinding berjarum tiga. Suara Xiao Qing rupanya hanya sedesis.
“Apa katamu? Aku selalu muda dan cantik? Kau pandai menghiburku, Xiao Qing….” dia tertawa sengau.
Lalu dia meletakkan Xiao Qing di sisiku. Ular hijau sebesar lengan manusia itu melingkar manis di sebelahku. Aku tidak bisa menyentuh Xiao Qing. Dan tampaknya Xiao Qing juga tidak berminat menempel pada besi sepertiku. Baginya aku terlalu dingin dan kaku.
Dia berjalan terseok-seok menuju sudut ruangan. Di sana ada seutas tambang yang terentang dari ujung dinding ke dinding yang lain. Tambang itu lebih besar dari tali atau kabel. Jalinannya bisa dipakai untuk menali jangkar kapal tanker. Beberapa serabut tercerabut dari pilinannya.
Kemudian aku tidak melihatnya berjalan lagi. Sekarang aku melihat sesuatu merayap di atas tambang.
Aku heran, kenapa saat hujan sederas ini masih ada sepucuk remang tergantung di bibir malam?
.
Tik tak tik tak….
Di ruangan ini tidak ada siapa-siapa lagi kecuali aku dan kau. Kita tetap berdampingan di atas meja bagaikan sepasang tetangga yang rukun dan damai. Pandangan kita terarah pada sudut ruangan. Kita sama-sama menahan nafas ketika melihatnya.
Kulit keriputnya retas. Kemudian sobekannya semakin lebar. Terkelupas seperti aspal jalan yang terlalu lama dipanggang matahari. Dagingnya kenyal dan putih. Sisiknya berkilau seperti koin logam perak. Dia merambat di tambang dengan perutnya. Rambutnya luruh berserakan di atas lantai. Kepalanya licin, bulat telur, tanpa sehelai rambut pun.
“Dia muda dan cantik, bukan?” kau mendesis pelan.
.
Tik tak tik tak….
Aku terpukau. Dia memang muda dan cantik.
“Aku Bai She Jing, Siluman Ular Putih…,” sepasang sinar matanya memandangku dengan tatapan manusia. Lembut dan merana.
.
Tik tak tik tak….
Siapa yang bisa menghancurkan angin dan meluruhkan hujan? Di luar mereka semakin menggila bagaikan sedang bertengkar memperebutkan rintik.
Kujepit erat-erat sehelai kertas yang belum selesai ditulisnya.
Baiklah, kubacakan untuk kalian.
.
Puluhan ribu tahun yang lalu, aku hanyalah seekor ular kecil. Ketika datang musim berangin, sebatang pohon menjatuhiku. Aku tergencet, ekorku gepeng. Aku hanya mampu menggelepar di tanah berpasir kerikil.
Ketika itulah, seorang laki-laki penggembara melintas. Langkahnya terhalang batang pohon. Ia melihatku dan aku memandangnya. Tatapan manusia laki-laki itu menghilangkan semua rasa takut dan sakitku. Tiba-tiba saja aku percaya dan memasrahkan diriku padanya. Sebenarnya itu bukan sifat seekor ular, bukan?
.
Tik tak tik tak….
“Dia manusia ketika bertemu Xu Xian,” katamu bagaikan halaman pembuka sebuah cerita.
.
Bai She Jing sudah membaca mantra selama sembilan ratus sembilan puluh sembilan tahun. Ia sudah bukan ular putih kecil yang sekarat ditimpa pohon. Tubuhnya sudah bisa melingkari bukit. Bai She Jing juga bisa terbang walau pun tanpa sayap dan bisa menyelam walau pun tak bersirip. Setahun lagi, masa bertapanya selesai dan dia akan menjadi dewi.
Sampailah pada sebuah sore bercuaca baik. Di tepi Danau Xi Hu, kami keluar dari kelembaban tanah. Kami membutuhkan sedikit terang dan kehangatan. Ketika melihat kami, orang-orang menjerit dan berlarian.
Bai She Jing berkata, “Itu karena kita berjalan dengan perut. Mari, kita berjalan dengan kaki,” dan kami pun memiliki sepasang kaki.
.
Tik tak tik tak….
Aku terus membaca kertas yang diketiknya tadi….
.
Ternyata berjalan dengan kaki sangat menyenangkan. Aku bisa berdiri tegak dan berlarian ke sana kemari. Ketika itulah aku menubruk seorang manusia laki-laki. Hidungku menempel di dadanya. Dari dadanya aku mencium harum masa lalu.
“Dui bu qi,” aku meminta maaf dan kami bertemu pandang.
Astaga! Walau pun ratusan tahun sudah lalu dan waktu telah berulang kali mengubah manusia laki-laki itu, namun aku tidak mungkin melupakan sepasang mata yang pernah menghilangkan semua rasa sakit dan takutku. Tiba-tiba saja aku merasa harus membayar semua hutang masa laluku. Sebenarnya itu bukan sifat seekor ular, bukan?
.
Tik tak tik tak….
Tiga jarum jam tidak berdetak lagi. Mereka berhenti bukan karena baterainya sudah aus. Tetapi karena mereka ingin mendengar kelanjutan ceritamu.
.
Manusia laki-laki yang bertemu dengan Bai She Jing di tepi Danau Xi Hu itu bernama Xu Xian. Pakaiannya sederhana seperti orang desa. Tetapi tutur katanya halus dan tertata. Rupanya ia lulusan pendidikan guru. Ia bisa membaca dan menulis kaligrafi. Ia hendak pergi ke ibukota negara untuk mengikuti ujian menjadi pejabat. Ia bertekad akan menjadi pejabat negara yang jujur dan mencintai rakyat. Ia akan menolong rakyat yang bodoh dan menderita banyak penyakit.
Namun Bai She Jing menahan perjalanannya dengan berbagai macam alasan. Tetapi aku tahu alasan yang sebenarnya adalah Bai She Jing ingin memilikinya.
.
Tik tak tik tak….
Di luar angin masih tertengkar dengan hujan. Kata-kata yang ditumpuknya masih belum sempurna….
.
Xu Xian mendengarkan kata-kataku. Kukatakan padanya bahwa aku menguasai sedikit ilmu pengobatan. Aku adalah tabib yang bisa mengobati orang sakit. Aku mengajaknya hidup menjadi rakyat biasa saja.
Maka ia membatalkan perjalanan ke ibukota. Ia mengawiniku dan semua uang bekal perjalanan dibelikannya rumah. Di rumah, kami membuka toko obat. Dan di halaman samping ia menerima anak-anak yang belajar menulis dan membaca kaligrafi. Nah, bukankah kami tetap bisa menolong orang lain walau pun tidak menjadi pejabat negara?
Kami dikenal sebagai pasangan tabib dan guru. Aku meracik obat dan memeriksa orang-orang yang datang karena sakit. Aku tidak pernah memungut bayaran sebab mereka adalah petani, nelayan, peternak bahkan juga ada gelandangan. Sedangkan Xu Xian mengajari anak-anak mereka membaca dan menulis kaligrafi. Ketika panen, banyak orang yang mengirim beras, jagung, sayur, buah, ikan, ayam dan membantu membersihkan rumah kami. Hidup kami tidak berlebihan tetapi juga tidak pernah kekurangan.
Xu Xian sangat memperhatikan dan memanjakanku. Aku pun sangat memujanya. Ia tampan sekali dengan sepasang mata yang berbintang. Ia selalu memandangku dengan mesra, pandangan yang selalu kuingat walau pun telah ribuan tahun yang lampau. Ternyata hidup sebagai manusia itu bahagia sekali.
.
Tik tak tik tak….
Xiao Qing terdiam lama. Tidak ada suara sama sekali. Ini situasi yang menggelisahkan. Sangat tidak sehat bagiku.
“Xiao Qing, bagaimana selanjutnya…?”
.
Begitulah, Bai She Jing memiliki seorang suami manusia yang tidak tahu bahwa ia beristrikan seorang perempuan yang bukan manusia.
Bai She Jing tidak berniat lagi meyempurnakan semedinya yang hanya tinggal setahun. Ia terlalu bahagia hidup sebagai manusia, sebagai istri Xu Xian.
“Xiao Qing, kau harus merahasiakan siapa kita sebenarnya. Sebentar lagi aku akan melahirkan anak Xu Xian, anak manusia….” air mata mengaliri wajahnya yang berseri.
Hanya manusia yang bisa menangis seperti itu, bukan?
.
Tik tak tik tak….
Aku mendengar suara gemuruh. Sepertinya langit rubuh karena ada air mata yang tumpah.
.
Air mataku menghujan ketika seorang rahib mengetahui asal-usulku. “Mahluk apakah kau? Kembalilah ke asalmu….”
Aku tidak mau kembali kepada gelapnya lorong-lorong gua. “Aku manusia… tolong, jangan ganggu kehidupanku…,” aku takut sekali ia mengatakan siapa aku sebenarnya kepada Xu Xian.
“Kau siluman….”
“Tidak. Aku mengandung anak manusia….”
“Lahirkanlah anakmu sebagaimana siluman melahirkan. Kemudian serahkan anakmu padaku. Aku akan mengasuh dan membesarkannya sebagaimana manusia….”
“Tidak. Aku akan melahirkannya dan membesarkannya.”
“Siluman tidak boleh hidup dengan manusia.”
“Tidak. Aku mencintai suami dan anakku. Aku tidak akan meninggalkan mereka.”
“Kau jangan memaksa takdir. Atau aku yang memaksamu kembali?”
Rahib itu membangkitkan kemarahanku. Ia memaksaku berwujud siluman.
.
Tik tak tik tak….
Kau menoleh kepadaku. “Apakah kau hendak melihat siluman? Pandanglah mataku….”
Aku memandangmu tetapi tidak bisa mengiaskan sepasang matamu seperti apa. Aku takut menceritakan kepada orang lain tentang apa yang kubaca dari sepasang matamu.
.
Ketika rahib itu membawa Xu Xian, kemarahan Bai She Jing bahkan melebihi siluman. Dia terbang tinggi sekali. Dari ketinggian, dia menukikkan kepalanya sampai amblas ke bumi dan menghempaskan ekornya mengaduk-aduk lautan. Gelombang bergulung-gulung seperti sebarisan rayap yang melahap gunung, sawah, ladang, rumah dan manusia. Langit koyak, bumi retak dan laut bergolak.
Di tengah amuknya, dia melahirkan anak Xu Xian, anak manusia. Lalu Bai She Jing tergeletak lemah seperti manusia. Dia tidak punya kekuatan siluman lagi.
Rahib itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menangkap Bai She Jing, “Bertapalah sampai seribu tahun lagi untuk menebus kesalahanmu…,” si rahib mengurungnya di sebuah pagoda yang dikunci dengan mantra.
Qing, tolong selamatkan anakku dan carilah Xu Xian… sampai seribu tahun lagi….” ada yang menitik dari mataku ketika Bai She Jing melengkingkan luka cinta.
.
Tik tak tik tak….
Tiba-tiba saja pintu jebol dan jendela berderai. Dari luar, air menyerbu seperti sekompi pasukan perang.
Aku hanya sebuah mesin ketik tua yang mati-matian menyelamatkan sehelai cerita cinta yang kuanggap belum usai. (*)
.
.
Catatan:
Ide cerita berasal dari legenda China: Bai She Jing, Siluman Ular Putih.
.
Peri Mati
Tik tak – nya itu menganggu yaaa. Aku kira itu suara hujan, tahunya suara mesin tik yaaa.
Salam 🙂
susanti hara
Semoga saya ketularan produktifnya. Idenya liar dari legenda jadi cerita lagi. 🙂
H
Memulai lagi kebiasaan membaca cerpen. Selalu takjub dengan cerpen Lan fang. Meskipun kini orangnya sudah tiada.