Riki Eka Putra

Seragam

0
(0)

Cerpen Riki Eka Putra (Republika, 17 Juli 2011)

 .

 .

SENJA baru beranjak pergi saat tamu undangan mulai datang. Di pintu masuk, satu persatu menjabat erat tanganku. Ada seuntai bahagia bergelayut di wajah mereka, sebagaimana bahagianya seluruh anggota keluargaku yang mengadakan acara syukuran malam itu.

“Selamat ya, Mad,” ucap Pak Nurdin, tetangga sebelah rumahku. “Akhirnya, kau berhasil juga mengikuti jejak Fikri, anak sulungnya Pak Mahmud. Sekarang ia sudah menjadi orang penting di kota ini,” lanjut lelaki tua yang ditinggal mati istrinya beberapa bulan lalu itu.

“Benar, Mad. Ribuan orang selalu memperebutkan seragam itu setiap tahun. Karena itu, kau benar-benar beruntung mendapatkannya,” timpal Pak Irwan, ketua RT yang berdiri di samping Pak Nurdin. “Dan, pastinya kau akan bahagia sepanjang hidupmu,” lanjut Pak Irwan sambil menepuk-nepuk pundakku. Sorot matanya seolah memaksaku untuk memercayai apa yang ia ucapkan.

“Entahlah. Mudah-mudahan apa yang bapak katakan itu benar,” jawabku sekenanya. Senyuman kecut tak kunjung hilang dari wajahku. Jujur. Aku tak pernah yakin dengan semua yang mereka katakan. Ikut ujian mendapatkan seragam itu pun kulakukan semata-mata karena paksaan orang-orang di sekelilingku, terutama kedua orang tuaku. Semenjak diwisuda dua tahun lalu, selalu seragam itu yang mereka perbincangkan.

“Apalagi yang kautunggu, Mad. Suruh saja orang tuamu meminang perempuan yang layak kaujadikan istri,” lanjut Pak Nurdin, diiringi gelak tawa tamu yang lain.

Begitulah. Orang-orang terus berdatangan. Ucapan selamat silih berganti mereka sampaikan. Tak lupa beragam nasihat pun turut mereka berikan agar aku menjaga baik-baik seragam kebanggaan itu.

Hari beranjak malam. Tamu yang datang kian banyak. Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumahku. Orang tuaku bergegas keluar begitu melihat tamu yang mereka tunggu-tunggu telah tiba. Di halaman depan, keduanya tergopoh-gopoh menyambut kehadiran seorang lelaki paruh baya yang bergegas turun dari mobilnya. Menengok lagak lelaki itu, ia agaknya bukanlah orang sembarangan.

Dari teras depan, beberapa saat kemudian kudengar kedua orang tuaku larut dalam obrolan hangat bersama lelaki asing itu. Mereka terlihat begitu akrab satu sama lain. “Kenalkan, Mad. Ini Pak Burhan. Beliau telah banyak membantu kita,” kata ayahku memperkenalkan lelaki yang ada di hadapannya.

Baca juga  Mahar yang Tertinggal

Lelaki bernama Burhan itu tersenyum hambar saat menatapku. Pikiranku mulai tak enak. Bermacam prasangka buruk pun muncul di benakku. Dengan muka masam, kujulurkan tangan untuk bersalaman dengannya.

“Pak Burhan adalah salah satu pejabat penting di kota ini. Karena itu, kau harus menghormatinya. Dan kalau bukan karena pertolongan dia, kau belum tentu bisa lulus dalam ujian itu,” bisik ibu memperingatkanku.

Sungguh, mendengar ucapan ibu, darahku tersirap seketika. Apa yang aku takutkan selama ini ternyata benar. Orang tuaku telah berbuat sesuatu demi mendapatkan seragam itu. Kepalaku pusing. Perutku mual dan ingin muntah. Terlebih lagi saat melihat ayahku menyelipkan amplop tebal berwarna putih ke tangan Pak Burhan. Aku merasa ingin pingsan saja.

Entah untuk kali keberapa, kumenatap cermin besar yang ada di hadapanku. Cermin itu seolah tak ingin berdusta bahwa tubuh berbalut seragam yang ada di dalamnya bukanlah diriku yang asli. Berulang kali kucoba memalingkan pandangan, berharap semua yang kualami pagi ini hanya mimpi belaka. Namun, segalanya benar-benar nyata dan terjadi.

Kutatap kembali sesosok tubuh berbalut seragam yang memandang aneh ke arahku. Di bagian dada sebelah kanannya tertulis namaku dengan huruf besar, AHMAD FIRDAUS. Sebuah nama yang telah 25 tahun lamanya kugunakan. Nama yang sangat indah menurut penilaian orang-orang. Namun, aku tak pernah ingin ia berada di seragam itu. Jam dinding di ruang tamu berdentang tujuh kali. Segera kurapikan seragam yang baru pertama kali kukenakan. Bau harumnya belum hilang semenjak dicuci dua hari yang lalu.

“Jalani saja dulu. Lambat laun kau akan terbiasa dengan semuanya.” Begitu nasihat ibuku sewaktu aku berkeluh kesah padanya.

“Kaupasti bahagia memakai seragam itu.” Terngiang pula ucapan orang-orang yang memberi ucapan selamat buatku tempo hari.

Aku tersenyum getir seraya melangkah gontai keluar kamar. Semangatku yang biasanya menggebu-gebu, kini hilang entah ke mana. Segalanya terasa asing. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, aku harus mengenakan topeng penuh kepura-puraan. Berpura-pura bahagia di hadapan orang-orang.

Baca juga  Hujan Terakhir

“Gagah sekali kau, Mad. Kau benar-benar pantas mengenakannya,” puji ibuku yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Ia tampak begitu bahagia. Kedua bola matanya tak lepas menatap sekujur tubuhku.

“Cepatlah berangkat. Jangan sampai terlambat di hari pertama kau masuk kerja,” balas ayahku. Senyuman bahagia juga tak luput terpancar dari wajahnya yang mulai keriput.

Kutelan sebongkah gundah yang tersekat di tenggorokan. Dengan sebuah senyuman palsu, aku bergegas keluar rumah. Sungguh. Aku benar-benar muak dengan semuanya. Entah sampai kapan aku sanggup bertahan dalam sandiwara ini.

Cahaya matahari pagi menerobos kaca-kaca jendela kantor yang cukup besar. Dalam ruangan tamu yang terletak dekat pintu masuk, aku duduk sendirian. Pikiranku kian tak menentu. Bingung. Muak. Benci. Sakit hati. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Aku tak ubahnya manusia yang terperangkap dalam penjara buatan orang-orang di sekitarnya. Tak mampu mengelak dan mulai terjerumus ke dalamnya.

Di atas sofa yang empuk, tulang belulangku terasa ngilu. Entah mengapa, seragam yang pertama kali aku pakai tiba-tiba berubah menjadi sangat sempit. Kian lama ia kian erat menempel di tubuhku. Napasku pun terasa sesak. Padahal, sewaktu kucoba dua hari yang lalu di rumah Pak Narto, penjahit langgananku, seragam itu agak longgar untuk ukuran tubuhku yang kurus.

Sementara itu, satu persatu manusia berseragam lainnya mulai berdatangan. Aneh. Mereka juga mengenakan seragam yang amat sempit. Tak ada bedanya dengan seragam yang membungkus tubuhku. Napas mereka pun tersengal-sengal menahan gempuran seragam itu, hingga tampak kesulitan untuk berjalan. Bahkan, mereka nyaris terseok-seok saat masuk ke dalam ruangan masing-masing.

Peluh membanjiri sekujur tubuhku. Berulang kali aku meludah ke dalam tong sampah yang tergeletak di samping sofa. Napasku kian sesak menyaksikan semua yang terjadi. Seragam yang aku kenakan kian sempit, hingga kulitku perih terjepit. Pandanganku berkunang-kunang. Kepalaku bertambah lama bertambah pusing. Seluruh isi perutku seolah hendak tercerabut keluar.

Kini, kesabaranku sudah sampai pada batasnya. Aku harus segera mengambil keputusan. Apa boleh buat. Aku tak mungkin membiarkan jiwaku mati di sini. Menghabiskan hari-hariku melaksanakan sesuatu yang tak sejalan dengan hati nurani. Aku pun masih muda. Masih banyak cita-cita yang ingin kugapai. Aku tak ingin segalanya terkubur begitu saja di kantor ini.

Baca juga  Banjir yang Dikirim ke Campoan

Seragam itu segera kulepas dan kugantungkan di balik pintu kamar. Melepas seragam itu seperti mencampakkan berkilo-kilo batu yang mengimpit tubuhku. Seketika, aku amat lega. Udara kebebasan kembali memenuhi seluruh rongga dadaku.

“Anak kalera. Semua orang di negeri ini menginginkan seragam itu. Tetapi, kaumalah menyia-nyiakannya begitu saja,” hardik ayahku, begitu ia tahu apa yang terjadi. Ia yang biasanya jarang marah, kini tabik rabo saking kecewa dengan semua yang kulakukan. Beragam kalimat menyalahkan lainnya tak lupa ia hamburkan di depanku.

Dari atas kursi ruang tamu, ibuku menangis terisak. Tatapannya tertekuk ke bawah. Sesekali ia turut serta menghakimiku karena turut menyesalkan kepulanganku yang tiba-tiba.

Aku tetap bertahan dengan keputusan yang telah kuambil. Berulang kali kuberi pengertian seraya meminta maaf kepada mereka. Bagaimanapun, aku tak mau dicap sebagai anak durhaka yang membangkang perintah orang tuanya. Kusampaikan pada mereka bahwa tak ada yang salah dengan seragam itu. Hanya saja, aku betul-betul tak pernah menginginkannya. Terlebih lagi, dengan cara hina yang telah mereka perbuat. Tapi, mereka tak kunjung mengerti. Aku terus dipaksa untuk kembali ke kantor itu.

Di tengah amarah dan tangis yang tak kunjung reda, aku pergi meninggalkan rumah. Dengan pakaian seadanya, aku bergegas menuju pasar, tempatku mengelola sebuah usaha. (*)

 .

.

Padang Panjang, Juni 2011

 .

Keterangan:

Kalera = Kata makian

Tabik Rabo = Marah besar

 .

 .

Riki Eka Putra. Bergiat di sanggar sastra Rahmah Muda, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang. Beberapa buah cerpen, puisi, dan artikel yang ditulis telah dimuat di harian lokal dan nasional.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

4 Comments

  1. pesan yg sangat mulia.
    Orang yg mejadi PNS karna hanya ingin masa tuanya terjamin oleh dana pensiun adalah orang yg bercita2 menjadi benalu negara!

  2. Orang yang demikian idealis jarang muncul di negeri penuh pengangguran ini.

  3. heri nurwanto

    hemm..menarik untuk d bca para pns yg krjanya kurang amanah..hehe

  4. ini karya guru di sekolahku.

Leave a Reply

error: Content is protected !!