Cerpen Heri Prabowo (Republika, 24 Juli 2011)
“MAAF, apa dulu kamu seenak Gayus?” tanya temanku dengan pelan dan sopan. Dia juga langsung menghindar saat aku coba menatap matanya yang dipenuhi rasa ingin tahu. Aku menggelengkan kepala tanpa ekspresi.
Tapi, dari ujung kelopak mata temanku muncul setitik tatapan rasa kurang percaya.
“Penjaraku enak, tapi tidak seenak sel tante Ayin [1]. Aku juga tak bisa keluar masuk penjara. Tidak satu kali pun,” jelasku semantap mungkin.
“Kenapa?” tanyanya lagi dengan suara santai. Kali ini, dia tampak yakin aku tak tersinggung dengan pertanyaannya. Dia pun menatapku secara terbuka. Tatapan yang bangkitkan ketersinggunganku.
“Karena aku tak punya uang sebanyak Gayus,” ucapku ketus.
“Ooo,” ujarnya dengan intonasi datar.
Tak ada nada simpati muncul seperti yang kuharapkan. Aku memandang jengah kedua bibirnya yang membulat seperti huruf yang keluar dari mulutnya.
Rasanya, hari-hari ini aku ingin tangkupkan telingaku setelah beberapa kali dihampiri pertanyaan serupa. Walau mereka memulainya dengan kata “maaf”. Walau mereka menghilangkan penggalan kalimat “saat kamu di penjara”.
Ini bukan karena masa laluku sebagai mantan narapidana diungkit-ungkit. Tapi, karena pertanyaan itu menaikkan kemarahanku hingga ke ubun-ubun. Kemarahan yang mulai bangkit saat mendengar ulah Gayus, adik kelasku [2] di penjara. Berlibur ke Bali. Keluar masuk penjara seenaknya. Seakan para sipir yang sekaligus polisi diminta berkaraoke lagu melankolis. Kau datang dan pergi sesuka hatimu.
Kini, makhluk itu ternyata berlibur ke Macau dan Malaysia. Kepalaku langsung ingin meledak. Setelah berkali-kali tertumpuk kemarahan. Aku marah bukan karena hukum di negeri ini diijak-injak. Seperti orang lain marah. Aku marah karena lima tahun lalu aku tak sanggup menginjak-injak hukum negeri ini. Sebaliknya, saat itu aku yang diinjak-injak penegak hukum di negeri ini yang sombong dan serakah.
Inilah tragedi bila pengkhianat tersungkur di hadapan pengkhianat. Bila seorang Mafioso dipecundangi mafioso. Para penegak hukum muda itu persis seperti aku saat masih diamanahi kekuasaan sebagai aparat pajak. Bedanya, dulu pengusaha dibuat jengkel dengan ulahku. Kini, aku dibuat jengkel dengan ulah aparat hukum. Entahlah apa ini karma? Boleh saja orang bilang begitu, tapi aku tak percaya. Sebab, banyak ada orang baik juga diinjak-injak mereka. Dan, rasanya hanya sedikit dari para mafia hukum itu yang mendapat balasan karma di dunia ini.
“Kamu harus belajar ikhlas menerima takdir ini, Nak. Ini saatnya kamu berintropeksi,” nasihat Ibuku berkali-kali. Tapi, aku tak bisa mendengar nasihat klise ini. Walau keluar dari mulut orang yang begitu aku hormati. Orang yang paling berjasa dalam hidupku.
“Mengapa aku yang dihukum? Bukan atasanku yang merampok uang pajak ratusan milyar. Aku hanya meniru mereka. Itu pun jauh dari sempurna,” teriakku dalam hati.
“Mestinya kamu bersyukur. Dihukum ringan di dunia. Hanya beberapa bulan di penjara. Dalam sel yang nyaman,” bisikan suci menyelinap dalam hatiku.
“Biarlah Tuhan yang menghukum mereka.”
Tapi, hatiku sudah terlanjur legam dibalut kebencian dan kemarahan. Aku bahkan berdoa agar Tuhan tak beri mereka kesempatan bertaubat sebelum ajal menjemput. Agar mereka baru bisa menghirup baunya surga setelah beratus-ratus tahun menjadi kerak di dasar neraka.
Ketika Gayus dan pejabat pajak lain [3] mulai terjerat hukum, kemarahanku mulai reda. Apalagi, sejumlah teman-temanku yang dulu lolos dari jerat hukum juga ditahan dalam kasus yang serupa.
Kini, giliran aku yang tertawa. Aku membayangkan mereka diliputi ketakutan karena diinterogasi berhari-hari. Membayangkan mereka dalam kecemasan saat kilatan kamera menyerbu tanpa permisi.
Aku begitu menikmati saat koran dan televisi menulis berita yang menyudutkan mereka. Walau aku tahu tak semuanya benar.
Kalimat “rasain lu” terus meluncur dari mulutku. Menggema dalam hatiku. Saat mendengar masyarakat menghujani mereka dengan cacian. Saat aparat hukum mengancam mereka dengan hukuman berat.
Aku kini mulai bisa mensyukuri betapa beruntungnya aku dulu. Bisa bersenda gurau dengan penyidik sialan. Sesekali, aku melempar joke yang melecehkan untuk sekadar tumpahkan kekesalan. Wajar aku kan bayar mereka. Mereka butuh aku untuk jadi kambing hitam.
Tanpa kuminta, para penyidik pun menghalau wartawan yang menghampiriku. Sebab, mereka tak ingin aku tertekan agar aku bisa melakoni semua sandiwara hingga ketukan palu hakim pengadilan.
Rasa syukur mulai memudarkan legamnya hatiku hingga terkadang memunculkan perasaan kasihan. Bagaimana nasib teman-temanku di penjara kini? Bukankah pemerintah bertekad menyikat habis penjara-penjara eksklusif. Tampaknya, itu bukan sekadar kata-kata. Pejabat selevel menteri pun aktif sidak ke penjara.
Para narapidana sekarang pasti tak akan bisa makan nasi katering, tidur di atas spring bed dan menenteng handphone semaunya. Kenikmatan yang sempat aku rasakan dulu.
Terbayang, teman-temanku kini tidur di lantai kotor, kasar, dan dingin. Dengan kaki ditekuk karena kamar sel yang penuh. Makan nasi cadong [4] yang nyaris tak berwarna dan berasa.
Bagaimanapun, mereka dulu adalah teman-temanku. Bertahun-tahun kami bersama-sama.
Aku mulai terjebak dalam suasana sentimental. Mengingat saat-saat indah bersama mereka dulu. Sejak kami belum apa-apa hingga nyaris menjadi pegawai negeri yang kaya-raya. Aku merasakan secercah perasaan bersalah. Bergembira di atas penderitaan teman-temanku. Mensyukuri kemalangannya.
Pasti dulu teman-temanku bersikap sepertiku. Mensyukuri kemalanganku. Pasti dulu bibir-bibir mereka tak pernah kering menceritakan keserakahanku. Tak seharusnya aku seperti mereka. Aku bukan mereka. Hingga akhirnya muncul rasa peduli yang mendesak dalam hatiku. Aku ingin membesuk mereka. Untuk sekadar tunjukkan rasa simpati.
Setelah membeli oleh-oleh yang bisa bangkitkan masa-masa indah kami dulu, aku pun berangkat menuju penjaraku dulu. Dalam separuh perjalanan, aku parkir mobilku di sebuah pusat perbelanjaan. Lalu, aku berganti naik taksi. Ini agar para sipir tak tahu mobil bututku. Bagaimanapun, dulu di mata mereka aku adalah bos. Aku harus jaga image.
Jika nanti ada sipir menyapaku, aku akan katakan kalau aku tinggal di luar kota yang jauh. Lalu, aku akan menyisipkan selembar uang di tangannya untuk tetap mempertahankan citraku.
Taksi meluncur membelah keramaian. Hawa sejuk AC yang lama tak kurasakan terasa begitu memanjakan. Menyelusup ke dalam tubuhku yang dilumuri keringat.
Berkali-kali aku merapikan penampilanku. Aku tak boleh tampak seperti orang susah.
Dalam perjalanan, aku membayangkan betapa terkejutnya teman-temanku nanti.
Dulu jangankan membesukku, menerima telponku saja mereka tak mau. Aku dianggap unggas suspect flu burung yang harus disingkirkan. Kalau perlu dimusnahkan. Pasti mereka akan terpukau melihat kemuliaan hatiku. Bagaimana tidak? Membalas perbuatan baik dengan perbuatan baik itu biasa. Tapi, membalas perbuatan jahat dengan perbuatan baik, itu baru luar biasa. Itu hanya untuk orang dengan derajat kemuliaan yang tinggi.
Aku seakan sudah bisa mendengar jika nanti mereka tak pernah jemu membahas kedatanganku. Mereka yakin, aku telah mendapat pencerahan dari Yang Maha Kuasa. Mereka yakin, aku kini makhluk pemaaf dan pemurah. Lalu, mereka akan menceritakannya kepada saudara dan teman-teman yang datang membesuk. Kemuliaan hatiku pun menyebar.
Mungkin, nanti ada yang menelponku untuk meminta nasihat. Bahkan minta doaku.
Taksi pun mulai berbelok ke jalan yang sempit. Jalan yang lima tahun lalu sering kulewati dalam ketegangan dan kegelisahan. Saat itu, aku duduk terpekur dalam bus tahanan yang membawaku ke persidangan.
Saat aku turun dari taksi, pandanganku langsung menyebar. Coba mengembalikan ingatan lamaku. Nyaris tak ada yang berubah dari gerbang penjara ini.
Ratusan orang bergerombol menanti giliran untuk bisa membesuk. Pandanganku dengan seksama coba mengenali para sipir penjaga. Tak ada wajah yang kukenali. Mau tak mau aku harus ikut prosedur resmi. Dengan berdesak-desakkan, aku mengambil formulir besuk. Di situ, kutulis nama orang yang ingin kubesuk. Anton.
Selain Anton, ada beberapa temanku lain yang ikut juga ditahan. Sandi, Tarto, Dion, dan Gito. Tapi, hanya Anton dan Gito yang dulu kukenal akrab.
Gito hanyalah seorang pegawai honorer yang tak tahu apa-apa. Hanya karena beberapa juta rupiah, Gito terseret ulah Anton dan kawan-kawannya yang tak pernah berhenti berbuat nakal. Dan, aku tak tertarik bertemunya. Sebab, bisa-bisa nanti Gito minta uang padaku. Seperti yang kerap dia lakukan dulu.
Dengan penuh senyuman, aku serahkan formulir dan KTP. Beberapa menit kemudian, terdengar suara memanggilku. Dari dalam loket pendaftaran besuk, sipir itu menatapku tajam. Aku langsung mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan.
“Anda betul saudara warga binaan [5]?” tanyanya dengan nada curiga.
“Saudara jauh, Pak,” jawabku dengan tenang. Sebab, ini bukan pertama kali aku besuk di penjara. Di formulir besuk memang kutulis hubunganku dengan Anton adalah “hubungan keluarga”. Teknik biasa dalam prosedur membesuk agar lebih mudah. Jika ditulis teman, terkadang menimbulkan pertanyaan. Tapi, sorot mata tajam sipir terus memancar. Kucoba memaksakan diri untuk tersenyum.
“Masalahnya, Anton sudah tidak disini,” ucapnya dengan nada berat. Aku terkejut. Apa mungkin Anton dilayar [6]. Tapi, setahuku dia belum divonis. Tapi, aku sengaja tak menanyakan hal itu. Aku langsung menanyakan Gito.
“Gito siapa?” tanya sipir balik.
“Yang sekasus dengan Anton?”
“Sampeyan, saudara jauh atau temannya?”
“Saudara jauh, tapi kenal Gito juga, Pak,” jawabku berkelit. Untuk menambah kelitan, aku lantas mengulurkan uang dua puluh ribu.
Sipir itu berhenti mengendurkan tatapan tajamnya. Dia lalu menulis sesuatu di formulir dan menyerahkannya padaku.
Dengan perasaan ingin tahu yang meluap-luap, aku segera masuk ke dalam penjara. Menit demi menit, aku duduk dengan gelisah menunggu Gito dipanggil tamping ruang besuk [7].
Sesosok berpenampilan kumal tak lama kemudian menghampiriku, “Apa kabar, Bos?” sapa Gito.
Aku berpura-pura tersenyum menatap wajah pucat itu. Kujabat tangannya dengan seramah mungkin. Setelah berbasa-basi, aku dengan tak sabar langsung bertanya di mana Anton sekarang.
“Anton statusnya tahanan luar, Bos. Alasannya sakit,” kata Gito dengan suara parau.
Jantungku serasa berhenti berdegup sejenak. Pasti sakit dibuat-buat. Dulu, aku pun sempat ditawari demikian. Tapi, uangku tak memungkinkan. Aku berkali-kali menghela napas menahan amarah.
“Bos, masih ada kerja sama dengan Anton?” tanyanya penasaran. Aku langsung membual jika aku mau menawarkan proyek besar.
“Kontak di facebook-nya saja, Bos.” Dengan setengah berbisik, Gito membisikkan nama akun facebook Anton. “Jangan lupa bagianku ya, Bos,” tambahnya.
Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum palsu. Setelah menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan, aku lantas pulang. Di dalam taksi, aku buka ponselku dan secepat kilat melacak akun facebook itu.
Pandanganku terhenti saat tampak wajah yang kucari. Anton berdiri dengan senyuman memakai selembar kain putih seperti orang berhaji. Pikiranku langsung menegang. Kubuka album fotonya. Tampak foto-foto Anton berumroh dengan istrinya. Dengan jari gemetar, aku cek tanggal upload-nya. Nyaris seminggu lalu.
Suara gemelutuk terdengar saat gerahamku beradu. Kemarahanku pun kembali ke ubun-ubun. Pikiranku dipenuhi wajah Anton yang memohon ampunan Tuhan di depan Ka’bah yang suci. Dan, Sang Maha Pengampun menghapus dosa-dosanya walau telah mengeruk milyaran uang pajak yang haram.
Hatiku membara. Keringat mulai membasahi badanku. Sapuan dingin hawa AC taksi ini tak mampu membendungnya. Jika aku sekaya dulu pasti sudah kulempar handphone ini ke jalan raya. (*)
.
.
Untuk anakku Vania dan Viano
Penulis adalah mantan pegawai pajak dan mantan terpidana kasus mafia pajak 2005.
.
Catatan:
[1] Arthalyta Suryani, terpidana kasus penyuapan jaksa Urip yang kepergok punya sel mewah
[2] Gayus alumni STAN tahun 2000, sementara penulis lulus tahun 1996
[3] Selain ada dua atasan Gayus, Maruli dan Humala, juga ada Bahasyim, Edi Setiadi, dkk.
[4] Jatah makan di penjara
[5] Istilah sipir menyebut para tahanan atau narapidana
[6] Dipindah ke penjara lain, biasanya untuk terpidana yang telah divonis
[7] Tahanan pendamping. Tugasnya membatu sipir penjara.
.
Leave a Reply