Abidah El Khalieqy

Layla Mampir di Serambi

0
(0)

Cerpen Abidah El Khalieqy (Suara Merdeka, 24 Juli 2011)

LAYLA ada di bandara Iskandar Muda, nengok kiri kanan tak nemu Majnun yang dirindu. Rasanya telah sekian abad tak jumpa. Menit demi menit hanya mengekalkan hampa. Makin bara ia. Ingin meninjunya, si Pangeran Cinta dari sahara kesunyian. Awas ya kalau berani nongol! Batin Layla menggempita.

“Say, di mana?”

Lama ponselnya dendam. Tak ada jawab. Padahal pesan terkirim.

“Belahan jiwa, di mana sudah?”

Makin sunyi. Sepi kian menjadi-jadi.

Diredam hati dan ditelepon Majnun. Lamaaa. Tak ada respons apa-apa. Layla sabar dan berjalan kembali, check-in. Mungkin Majnun baru mandi? Atau masih nyenyak di ranjangnya, memimpinya ajak terbang ke sorgaloka? Keterlaluan! Kembali Layla telepon dan telepon dan berulang telepon. Orang-orang menyodok punggungnya untuk segera maju. Banyak antrian di belakang.

“Maaf, saya mau lewat,” seseorang menepis agak kasar. Mungkin tak sabar menanti Layla bergeser dari pacaknya.

“Kakak, bergeser dong!”

“Ups! Maaf maaf maaf…,” Layla maju dan terus saja maju, tak mau nengok lagi hingga ruang tunggu.

Lihat sayangku, usai ‘masa kecewa’-ku ini, tak ada lagi ruang untuk kita berdua dapat bertemu. Hingga kiamat tinggal dua hari pun! Kau akan tahu, bakal merana seumur-umur. Rasain! Kau akan rasakan nanti, nikmatnya tinggal di gurun sunyi berabad-abad, berteman lautan batu dan gunungan pasir. Membatu lu! Memasir!

Layla duduk, mengeluarkan sepotong kue yang belum sempat disantap, sarapan. Sendiri tanpa Majnun menemani. Ingin nangis tapi ditahan. Terlalu mahal air mata. Terlebih untuk Majnun sialan, pikirnya. Air laut mana telah menyunami jalanmu, Sayang? Angin darat mana memuting-beliung arahmu? Lepas dong kaca mata hitam itu!

Usai minum sekotak green tea, Layla teraih kesegaran. Coba lagi mengontak Majnun, niatan untuk terakhir kali. Jika gagal, akan dianggap sebagai suratan nasib dari langit. Kita bakal mati merana berdua, Cintaku? Tahu tidak? Ah bisu aja lu!

Baca juga  Menunggu Truk Itu Datang

“Masih puasa juga, Say? Kau bilang ‘ini hari raya’?”

Deg deg plass Layla menunggu. Jawaban Majnun seribu gagu. Semilir angin tak sampai kalbu. Matilah diriku, batin Layla sendu.

Disimpan ponsel rapat-rapat di saku baju. Ah lebih aman di tas saja. Mungkin perlu di off sekarang juga? Karna tak ada guna tanpa Majnun menyapa. Ikhlas sudah meyatim-piatu.

Dan kriiing!

Tersentak Layla. Hape ditangan tengah nuju off, eh malah nyaring melengking.

“Hallo, Say? Baru bangun dari tsunami ya?”

“Dah rampung tsunami haha. Marah niyee! Di mana kau? Aku datang nih! Depan pintu!”

“Pintu apaan? Aku dah mo cabut, tauk? Daag Majnun…!”

“Eit! Jangan cabut dulu. Di mana kau, Layla? Belum dipanggil kan? Ayo turun dan peluk aku! Ayo cintaku! Kemari cepat!”

“Alah dasar majnun! Kamu aja kemari. Coba kalau cinta mati!”

Tapi Layla turun dan menyibak pintu elektrik sembari bersungut-sungut gemas. Tangannya sudah siap bakal melayangkan tinju bertubi di dada Majnun, biar kapok dan tersungkur dan lebam-lebam oleh digdaya cinta. Jika masih kuat tertawa, Layla juga telah siapkan cakar dan cubit maha sakit, untuk kenangan bertahan sebulan.

Lho? Mengapa Majnun masih berkaca-mata hitam? Di tangan setangkai mawar, dan tangan satunya sekotak entah, berbentuk hati dalam kotak beludru biru. Mungkin batu akik, atau batu apung yang ditemu di gurun pasir saat melintas Sungai Ruhina, lalu membungkusnya dengan beludru biru untuk mengejutiku. Sialan!

Tahu benar ia kalau Layla bakal marah. Secepatnya Majnun ulurkan persembahan cinta, mawar putih dan batu apung! Mumpung Layla belum sempat meratuinya dengan bogem mentah.

“Apaan nih!” Layla pura-pura kaget.

“Mau tak? Atau kubawa pulang aja lagi nuju Lembah Bekka,” Majnun senyum menggoda.

Aduhai tampannya! Mati kutu Layla. Mengerjap mata tak percaya. Mengapa Majnun tambah ganteng kian tampan mendunia. Ah!

Baca juga  Perempuan Hajar

Mendadak lenyap seluruh kamus pertinjuan dari benak Layla. Kamus kemesraan menyergap rempak membakar ubun-ubun. Tapi bukan Layla kalau tak pandai main teater.

“Emohlah! Kau cuma bermaksud meredam tinjuku kan?”

“Haha. Jadi benar tak mau?”

Layla mengangguk. Ragu.

“Padahal kangen benar aku dengan tinju itu!” tambah Majnun, lagi-lagi menggoda.

“Ha! Mau aku jika begitu,” Layla menyamba persembahan, “Ehm… tapi…jangan jangan…,” Layla menimbang-nimbang isi kotak biru, “Apa ya isinya? Boleh dibuka, tak?”

“Tak! Nanti saja ketika dah terbang, oke?”

“Nah! Pasti ntar bunyi melewati security-check. Tak mau ah! Tuh kamu dicari Nizami!” Layla nunjuk arah samping Majnun. Spontan Majnun nengok arah yang ditunjuk. Tak ada siapa siapa. Secepat kilat, sepuluh jemari Layla nancap di pinggang Majnun, tak lepas lepas hingga Majnun nyerah dan bersumpah akan memenuhi apa pun saja permintaan Layla.

“Hanya satu,” kata Layla.

“Iya apa? Ayo katakan!” Majnun megap-megap menahan efek geli dan sakit dan malu juga takut kalau-kalau dilihat polisi syariah.

“Gendong aku sampai pintu check-in!”

“Apa? Jangan maen maen, Sayang! Aku dah cukup menderita nih! Lagian dilihat orang. Malu dong!”

“Yazuda. Jika begitu, aku tak mau kembali. Siapa suruh aku kemari. Biar aku tinggal di bandaramu aja. Aseeek!”

Bingung Majnun. Tengok kiri-kanan, mencaricari kemungkinan lain, andai kemungkinan itu ada. Tak mungkin meninggalkan Layla yang lagi kumat manja begini, pun tak mungkin memenuhi permintaannya. Lebih tak mungkin lagi, membiarkan Layla gagal terbang gara-gara panggilan teleponnya. Apa mau dikata?

Dengan bismillah, ia naikkan Layla di atas punggung. Senyum simpul Layla nyengir kuda. Di depan orang bertanya, “Ada apa digendong?” sembari nunjuk Layla. Sigap Majnun menjawab, “Sakit kakinya.” Orang di depan berkata lagi, menawarkan ide, “Ada troli, mungkin lebih ringan,” sigap lagi Majnun menjawab, “Tak berat amat dia.” Dan Layla mendengar kata ‘tak berat’ itu.

Baca juga  Menari di Padang Prairi

Di belakangnya orang-orang sama melongo tak paham, baru kali ini lihat pemandangan film India dalam kenyataan. Iseng Layla panggil orang di samping kanannya dan meminta kopernya untuk dibawakan. Orang-orang pun sama cemburu, ingin kopernya juga dicangking Layla. Layla oke oke saja.

Majnun tak sadar perilaku Layla, merasa aneh, mengapa berat tubuh Layla kian bertambah berat, langkah demi langkah. Saat tujuh koper ikut naik di punggungnya, Majnun berhenti tak kuat lagi melangkah. Benar-benar heran, takjub akan berat badan kekasihnya.

“Lho, Say, kok berhenti? Aku terburu nih, mesti segera check-in kembali atau terlambat!”

“Aneh, Sayang. Mengapa beratmu naik terus? Aku tak kuat gendong jin iprit!”

“Ah… tinggal dikit lagi! Ayo dong!”

“Tak kuat lagi, Sayang. Aku terima kalah. Apa pun saja maumu, nyerah deh aku!”

“Bener ni nyerah?”

“Swear!”

“Apa pun saja mauku?” Layla cengar-cengir, memandang kiri-kanan belakang dengan senyum bahagia. Para supporter cinta meng-applaus-nya. Tersadar Majnun dari perdaya, nengok Layla dan terhenyak dia.

“Nakal amat kamu ya?”

“Hehe… abis pingin terlambat. Ogah pulang aku, Say….” merajuk Layla.

“Mengapa tak bilang? Kau pikir aku juga tak ingin menahanmu? Apa kau belum dengar, ada istana yang memanggil-manggil namamu?”

“Istana apaan sih?” antusias Layla. Majnun pun kian terinspirasi menggoda.

“Istana hatiku. EL TAJ WAHDAH! (Pangeran Satu Satunya)!”

Pipi Layla delima, cepat-cepat turun dari punggung Majnun bersamaan waktu take off Garuda nuju ibukota. Itulah impian sejatinya, Layla-Majnun menyinta. Menyatu di alam pertama dan lebur di alam kedua.

Tanya Nizami kalau tak percaya. (*)

 .

.

Yogyakarta, 2011

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!