Cerpen Adi Zamzam (Republika, 31 Juli 2011)
SEJAK lelaki itu tak tercium baunya lagi, kulihat Mbak Yuni jadi seperti pohon yang meranggas. Sering kulihat ia menangis dalam kesunyiannya sendiri. Semuanya dimulai tiga tahun silam. Pak Darji yang mengenalkan lelaki itu kepada Bapak. Lelaki dari Semarang. Ia mempunyai dua petak sawah di Sugihmanik sini. Pak Darji adalah orang yang dipercaya menggarap sawah itu dengan sistem paroan [2].
Kukira, sejak semula Mbak Yuni memang tak suka-suka amat dengan lelaki itu. Mungkin karena cara lelaki itu menawarkan, memperlihatkan sekaligus memamerkan diri, Mbak Yuni jadi seperti tak punya pilihan lain.
Saat pertama kali Pak Darji menanyakan Mbak Yuni kepada Bapak, dia membawa sekardus oleh-oleh untuk kami berlima. Lalu, setelah Bapak semakin ramah kepada Pak Darji, dia pun jadi semakin sering datang dengan bermacam-macam oleh-oleh. Dari berkaleng-kaleng biskuit, pakaian, TV, bahkan juga berkarung-karung beras hasil sawahnya.
Aku tak pernah mendengar Mbak Yuni mengangguk ‘ya’ dalam kemantapan saat ditanya Bapak perihal perjodohan itu. Mbak Yuni selalu saja menunduk dalam-dalam menyembunyikan ekspresi. Kupikir Mbak Yuni bingung mau memberi jawaban apa untuk perjodohan yang aneh itu. Bagaimana tidak aneh? Kami tidak pernah mengenal siapa lelaki itu. Kami hanya mengenal sedikit baunya dari Pak Darji. Menikah dengan orang yang tak dikenal, bukankah itu hal yang sulit? Mungkin karena melihat kondisi Emak, Bapak, dan keempat adiknya, Mbak Yuni akhirnya mengiyakan pernikahan itu.
Dan akhirnya, tersematlah cincin, gelang, giwang, dan kalung emas dari lelaki itu di tubuh Mbak Yuni. Padahal, kami belum pernah melihat rupa lelaki kaya itu. Yang kami tahu, konon lelaki itu seorang direktur, punya banyak tanah di mana-mana, punya sebuah perusahaan besar di Semarang, dan satu lagi, kereta Pandanwangi, yang sering melintasi desa kami itu katanya sering mengangkuti barang-barang pabriknya Pak Saipul yang dikirim ke Solo dan sekitarnya.
Kami baru melihat rupa lelaki itu seminggu menjelang akad. Hanya ada upacara yang sangat sederhana untuk acara suci tersebut. Mbak Yuni memang tak menginginkan sebuah acara besar-besaran yang merepotkan Bapak. Cuma, yang membuatku sedikit mrengkel [3] adalah kedatangan lelaki itu, yang hanya seorang diri tanpa seorang sanak saudara pun. Padahal aku, Emak, Bapak, apalagi Mbak Yuni, ingin sekali mereka tahu bahwa kini kami telah menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Meski kami ini orang miskin.
Jujur, ada sedikit ketakutanku saat itu. Jangan-jangan keluarga Mas Saipul tak mengetahui pernikahan ini. Jangan-jangan keluarga Mas Saipul malah tak menyetujui pernikahan ini. Entahlah. Entahlah dengan perasaan Emak Bapak. Entahlah dengan perasaan Mbak Yuni.
Tanpa acara mewah pun peristiwa itu segera menjadi berita besar di Sugihmanik. Beberapa tetangga sering menggodaku bahwa sekarang aku punya kakak ipar seorang jutawan. Mereka sering memintaku untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Maklum, di sini adanya cuma pekerjaan lumpur. Tapi, buat apa kutanggapi ocehan-ocehan iseng itu? Aku tahu, dalam setiap pergunjingan di warung-warung, mereka justru sering memperolok kebodohan Mbak Yuni yang mau saja dijadikan istri kedua (menurut tebakan mereka).
Bagiku, semua itu tak mengapa. Meski lelaki itu cuma menginap dua hari dalam seminggu, yang penting adalah Mbakyuku bahagia.
Sejak saat itu, kehidupan kami memang berubah. Dinding gedhek dan papan triplek diganti batu bata dan semen. Aku pun tak perlu lagi menyipitkan mata bersusah-susah untuk membaca karena balon lampu lima watt telah diganti lampu neon dua puluh watt. Kami akhirnya mampu pasang listrik sendiri. Setiap pagi buta pun Emak tak perlu lagi bersusah-susah mengayuh lori menuju hutan di tepian desa untuk mengambil rumput dan mengumpulkan kayu bakar karena di rumah sudah ada warung yang harus ia tunggui. Dan, yang paling penting, Mbak Yuni terlihat semakin cantik.
Sepuluh bulan kemudian, rumah kami makin bertambah ramai dengan kehadiran seorang bayi lelaki montok. Mbak Yuni memberinya nama Bagus Prayogo. Bocah itu tampan menuruni bapaknya.
Memang banyak yang termakan iri dengan kebahagiaan kami. Nada omongan mereka sering terdengar memojokkan dan berbau tak sedap. Ada yang bilang Mbak Yuni punya dukun pelet, ada yang mengatai Mbak Yuni mata duitan, bahkan ada yang sampai hati menyebarkan isu bahwa Bapaklah yang sebenarnya telah menawarkan Mbak Yuni ke lelaki kaya itu.
Mas Saipul tak pernah tahu bau busuk di sekitarnya. Kamilah yang menghirupnya sendiri dan mengendapkannya dalam diam.
Lalu, tiba-tiba saja lelaki itu menghilang. Emak dan Bapak sebenarnya sudah pernah berprasangka bahwa Mas Saipul sudah beristri, meski Pak Darji selalu ngotot menjawab belum. Kami tak pernah menyinggung perkara itu di depan Mas Saipul karena lelaki itu terlampau baik hati kepada kami. Bahkan, Mbak Yuni sekali pun tak pernah menyinggung hal itu. Meski Mbak Yuni cuma diberi dua hari, bukankah sudah cukup kalau semua sudah bahagia?
Semula, kami mengira lelaki itu cuma ditelan kesibukan di Semarang. Tapi, dalam pikiran kami tumbuh keburukan saat kami tahu bahwa tanah yang disewa Pak Darji telah dijual semua dengan harga yang kabarnya hampir dua kali lipat.
“Pak Saipul cuma bilang sahamnya jatuh. Jadi, beliau butuh modal yang banyak,” itulah jawaban Pak Darji saat kami tanya perihal kebenaran kabar. Lalu….
“Yaa… setahuku rumahnya di Semarang. Embuh [4] alamatnya di mana. Ketemuku dengan beliau saat di Klewer. Aku jadi mandor yang disuruh mencari kuli angkut. Lah, sekarang saja beliau tak pernah kirim barang lagi ke Solo. Embuh apa pabriknya bangkrut atau bagaimana. Saat itu, beliau cuma bilang sahamnya jatuh. Itu saja.” Lalu….
“Masih sendiri, bener! Wong aku dengar dengan telingaku sendiri kok. Setiap beliau bergurau dengan teman-temannya yang bos-bos itu, beliau selalu disindir untuk cepat-cepat cari istri. Mungkin, yang lima hari itu beliau sibuk dengan pekerjaan, tak sempat pulang.” Lalu….
“Yaa… saat itu beliau tanya, ‘apa di kampung Pak Darji ada gadis cantik yang mau dijadikan istri?’ Beliau menyuruhku mencari yang masih muda karena kalau pabriknya sudah bertambah, istrinya itu bisa diajarinya untuk mengurus usaha. Kamu seharusnya bersyukur karena aku memilihkan anakmu. Hidup kamu sekarang sudah berubah enak to?” Lalu….
“Keluarganya? Embuh, aku tak kenal keluarganya.“ Lalu….
“Sabar dulu kenapa sih? Siapa tahu beliau sekarang sedang pontang-panting. Kan beliau sudah bilang, sahamnya jatuh. Nanti kalau sahamnya sudah berdiri lagi, pasti beliau akan ke sini lagi. Kan beliau sudah punya anak dari anakmu?!”
***
Sejak kepergian lelaki itu, Mbakyuku jadi seperti jati di musim kemarau. Daun kebahagiaannya gugur satu demi satu. Ia enggan lagi bersua dengan dunia luar. Mungkin, ia sudah tahu bahwa ia telah menjadi menu utama dalam setiap pergunjingan. Hari-harinya hanya berisi lamunan. Ia bahkan kehilangan selera menyentuh Bagus. Kami tak tahu mesti dengan apa menghiburnya.
Bapak marah besar kepada Pak Darji. Bapak lalu meminta lelaki makelar itu untuk melacak alamat Mas Saipul.
Di Klewer, Bapak dan Pak Darji mendapatkan nama sebuah pabrik besar di Semarang. Namun, yang sungguh tak terduga adalah pabrik itu ternyata sudah gulung tikar. Dan akhirnya, semua cerita itu hanya berhenti sampai di sini. Alamat lelaki itu tak pernah kami ketahui.
Para tetangga bilang, ini semua karena kesalahan Bapak, Emak, dan terutama Mbak Yuni sendiri. Salah siapa mau dibeli dengan harta?
Ah, orang-orang. Mereka selalu saja egois, hanya memandang dari tembok luar saja. Coba kalau mereka berada dalam posisi Mbak Yuni. Siapa yang tak bahagia jika adik-adiknya bisa hidup layak? Siapa yang tak bahagia jika kedua orangtuanya bisa hidup nyaman? Aku perempuan. Aku bisa merasakan luka Mbak Yuni. Apalagi, umurku hanya selisih lima belas menit dengannya.
Persetan dengan lelaki bermental saham itu! Semoga saja nanti akan datang seorang lelaki pengganti yang benar-benar lelaki sejati. Meski sekarang Mbak Yuniku janda beranak satu, tapi ia masih sangat cantik. Umurnya baru enam belas. (*)
.
Catatan:
[1] Siri: Secara bahasa berarti tersembunyi. Pernikahan siri dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa adanya pengakuan dari KUA.
[2] Paroan: Bagi hasil
[3] Mrengkel: Mengganjal di hati
[4] Embuh: Tak tahu
.
.
Adi Zamzam adalah nama pena dari Nur Hadi. Penulis kelahiran Jepara ini sudah menghasilkan banyak cerpen dan puisi. Pada 2002, beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya RRI Pro II Semarang. Tahun 2004, memenangkan Juara Harapan Lomba Menulis Cerpen Islami Majalah Ummi. Tahun 2005, Juara Harapan Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke VII) Majalah Annida. Tahun 2008, Juara Tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke VIII) Majalah Annida. Tahun 2009 dan 2010, dua buah cerpen menjadi karya favorit dalam LMCR, memperebutkan LIP ICE Selsun Golden Award. Tahun 2010, masuk nominasi Krakatau Award 2010.
.
Leave a Reply