Amir Machmud NS

Purnama Setia di Atas Angkor

0
(0)

Cerpen Amir Machmud NS (Suara Merdeka, 31 Juli 2011)

PURNAMA tak pernah ingkar. Ia selalu tiba di atas Angkor, cecandian hitam di kota pemujaan yang berkilauan terguyur cahaya bulan. Ia datang selalu tepat pada waktunya, edar kesetiaan yang setiap kali mencumbu batu-batu dan rimbun dedaun pohon bodhi.

Tak ada yang sanggup menerka seberapa tua usia rembulan yang pada setiap purnama tak berhenti mengembangkan senyum lebar dengan pipi gembil dan aurora kebahagiaan sepenuh kematangan pancaran cahaya terangnya. Tak pula ada yang mengerti seberapa kuat kerinduan yang dikandung rembulan mendorong bermahligai-mahligai pesona memanggil mereka yang tersihir magnet cinta dalam ungkapan yang mewakili kesempurnaan purnama sebagai geletar suara hati yang tak terperikan perihnya.

Tak juga lelaki itu. Gurat harapan di wajahnya adalah kesempurnaan ungkapan rindu. Kejap pijar di matanya adalah pantulan cahaya cinta dari pendaran sang rembulan. Ketakzimannya memandangi bulan penuh adalah penantian, entah apa, entah siapa, entah kapan batasnya. Begitu seterusnya setiap purnama tiba, dan dia selalu menunggu saat-saat seperti itu sebagai siklus waktu yang tak berhenti semenjak ia merasa rembulan memanggil dan dengan bahasa cahayanya membetot sebagian hatinya ke langit semesta.

Ia, Jayawarman yang tergurat usia. Raja yang berkuasa pada seluruh semesta Istana Angkor, namun tidak berkuasa atas hatinya sendiri.

Tak juga perempuan itu. Sayu pandangannya adalah bahasa hati yang pedih menggapai meneriakkan panggilan jiwa. Pantulan bening air dari sudut kelopak matanya, setiap kali, seperti mewartakan gugatan yang tak tersampaikan dengan kata-kata. Ia, seperti lelaki itu, dari sudut bumi yang berbeda juga takzim menatap bundaran bulat kuning segar di langit yang menebar aurora sejuta makna. Begitu seterusnya setiap purnama tiba, selalu dinanti sebagai siklus waktu yang tak berhenti semenjak ia merasa rembulan mengambil miliknya yang paling bermakna dan dengan cahayanya membenamkan sebagian hati yang entah tersembul di bagian terang cahaya yang mana.

Ia Indreswari. Putri yang menunggu sang Raja bongkar dari pertapaan mbangun candi, lalu winisuda sebagai pahlawan bagi seantero negeri, namun yang hingga umur melangkah menggurat kecantikannya, tak juga tiba Jayawarman menjemputnya.

Jayawarman, lelaki itu merasa sebagian hatinya ada di atas sana.

Indreswari, perempuan itu merasa separo jiwanya tenggelam di kecemerlangan sana.

Baca juga  Dajjal di Kampung Surga

“Kau mengambilnya, dan tak kunjung mengembalikan sebagai hak yang bisa menjawab impitan kerinduanku,” desah lelaki itu.

“Kau membawanya, dan tak jua mengembalikan sebagai separo jiwa yang mestinya meneteskan bahagia demi bahagia bagi hidupku,” keluh perempuan itu.

Dan, rembulan tak pernah menyurutkan guyuran cahayanya. Arak-arakan mendung menggumpal yang sesekali lewat tak mampu sepenuhnya menyaput tebaran nuansa kuning cemerlang: seperti tak hirau akan siksa sunyi yang mencengkeram lelaki itu, seperti tidak memedulikan nestapa rindu yang membebani perempuan itu.

“Aku takkan pernah hirau akan waktu, karena rembulan juga tak pernah ingkar datang pada tiap purnama. Ia mungkin selalu melihat, menatap semesta, dan suatu ketika akan mengembalikan sebagian hatiku yang dibawa dan disimpannya di atas sana.”

Lelaki itu mencoba untuk tidak tergulung putus asa karena ketidakpastian penantiannya.

“Aku tak akan peduli menjadi tua karena menunggu belas kasihan rembulan yang setiap saat tiba dan menertawakanku dari haribaannya. Biarlah ia menjadi makin gemuk bulat sementara tubuhku menjadi makin kurus karena usia dan penantian yang tak berkesudahan. Biarlah ia tahu aku terus memohon dan suatu ketika akhirnya menerima kembali sepotong jiwaku dari langit sana.”

Perempuan itu meratap dalam harapan yang tak menyerah kepada kepongahan rembulan.

“Ketika usia kami, usiaku dan usia rembulan sama-sama tua, pastilah ia sadar betapa lama aku menunggu dan ia segera memberi kepastian untuk mengembalikan hakku,” lelaki itu terus bergemeremang dengan kalimat yang pada tiap purnama juga terus dirangkai sebagai penyangga mimpi-mimpinya.

“Usiaku terus merambat, rembulan itu pun akan bertambah tua. Sampai kapan ia mempertahankan separo jiwaku di sana? Kesia-siaankah aku meminta dan ia pasti tahu aku tak berhenti menanti jawabannya?” Perempuan itu memastikan kalimat seperti yang selalu diungkapkannya pada tiap purnama.

***

TIDAK ada yang sanggup menerka apa mau rembulan dalam usianya yang juga beranjak tua. Tak juga lelaki itu. Tak juga perempuan itu. Tak juga puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan lelaki lainnya. Tak juga puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan perempuan lainnya.

Ia ada dalam keabadian yang tak dirambati perjalanan maju usia. Rembulan tak menjadi renta karena puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang mengharapkan kedatangan lalu memusatkan cura han perasaan kepadanya pada setiap naiknya kesempurnaan purnama. Rembulan akan tetap berseri di haribaannya meskipun begitu banyak hati yang ingin memetik dan membawanya turun sebagai persembahan cinta paling sempurna.

Baca juga  Eleora dan Dewa Pengatur Cuaca

“Aku tahu apa yang ia harapkan dari purnamaku,” rembulan menyahuti desir hati Jayawarman.

“Aku paham dia menanti kepastian dari cahayaku,” rembulan menanggapi kegetiran harapan Indreswari.

“Lelaki itu mengira aku menyandera beban kerinduannya. Dia menduga aku mengambil hak yang sekarang diperjuangkannya. Sampai renta pun takkan ditemukan sebagian hatinya di haribaan semestaku. Jawaban atas ungkapan perasaannya ada pada warna hatinya sendiri, apakah seterang cahaya, atau segelap kehitaman malam, sekelam batu-batu candi yang disusunnya itu,” rembulan berkata-kata kepada dirinya sendiri.

“Perempuan itu berpikir separo jiwanya terbetot oleh magnet cahayaku. Sampai kapan pun takkan datang hati yang dimaksudkannya. Cinta ada di dalam lipatan hidupnya sendiri. Ketika cerah, cerahlah dia; tatkala gelap, hitamlah semuanya,” ia masih berkata-kata seperti kepada dirinya sendiri.

Dan, waktu tak berhenti berjalan. Rembulan terus berpendar dengan purnamanya yang selalu tepat janji. Ia datang dan melangkah dengan penuh keyakinan. Sedangkan lelaki itu, juga perempuan itu, terus menunggu purnama dengan penuh tanda tanya, dengan kegundahan tak berjawab kecuali hanya berharap rembulan bakal memberi kepastian seperti ia setia datang pada tiap purnama dan tak mengurangi pendar cahaya yang disiramkannya ke semesta jagat raya.

Rembulan terus menebar senyum walau ia memahami kenaifan manusia dalam menafsir apa yang dirasakannya lewat tanda-tanda semesta. Betapa cahaya dan purnamanya, bahkan kepekatan awan hitam yang lewat menyekat pun bisa menjadi keindahan yang sempurna bagi hati yang tengah berbunga-bunga.

“Ah, manusia. Kala hatinya ringan berbalut cinta; bukit tandus, batu-batu candi, riak sungai, kelengangan danau, ombak lautan, hutan, pepohonan, sapuan jahat angin, bahkan sengatan panas matahari pun semuanya ditafsir dengan bobot tak tepermanai eloknya.”

Namun betapa senyum lebar rembulan pun bisa dirasakan sebagai aroma kepahitan, cahaya keemasan yang menyiram alam serasa seperti ketemaraman yang menyayat sukma. “Ah, manusia. Kala hatinya dibuat pepat oleh cinta; bukit, bebatuan, riak sungai, kebiruan danau, ombak lautan, hutan, pepohonan, sapuan sepoi angin, dan panas matahari semua hanya menyajikan kepekatan warna yang tak menyisakan sedikit pun keindahannya.”

Dan, rembulan tetap menebar senyum, tanpa peduli Jayawarman dan Indreswari menafsiri warna hati mereka sendiri: apakah sebagai kesempurnaan rasa yang lalu menerbitkan keindahan pada semesta, atau menghayatinya sebagai keperihan hati yang lalu menyajikan seelok apa pun bahasa alam justru menjadi penambah timbunan duka.

Baca juga  Kematian Raja Pelit

***

LELAKI itu makin renta, tubuhnya tak bisa terus-menerus berpihak untuk diajak mengikuti peredaran siklus kedatangan purnama, sementara sang Dewi Malam tak pernah berubah selalu datang dengan terang cahaya, gembil pipi bahagia, dan pendar keemasan yang terus dipancarkannya.

Namun Jayawarman masih mencari dan menanti.

Perempuan itu tidak mampu terus-menerus duduk dan berdiri memandang cahaya pada tiap purnama karena irisan angin malam segera memaksanya tersuruk dan berbaring di haribaan, sedangkan rembulan tetap dengan angkuhnya memamerkan aura keabadian yang tak tersurutkan berapa pun panjang usia, kewajiban datang saat purnama, dan seluruh jejak perjalanannya.

Namun Indreswari masih memohon dan menunggu.

Jayawarman tak pernah tahu, separo hatinya yang ia duga disimpan rembulan di ketinggian singgasana, kini tergolek pasrah dalam kesia-siaan penantian. Indreswari juga tak pernah menduga, sebagian jiwanya terbawa oleh keputusasaan lelaki renta yang mengira rembulan telah menyita hak-hak hati dan hidupnya.

Dari tempatnya, kesetiaan rembulan tak berubah dari satu purnama ke purnama berikutnya. Wajahnya tetap bulat merona kuning yang awan sekental apa pun takkan sanggup menyaput aura kecantikan pada sepanjang malam edarnya. Cahayanya penuh menyiram dedaunan dan atap-atap rumah yang hujan pun tak kuasa mengguyur untuk menutup kilaunya.

Ia tak tahu hati manakah yang—kata lelaki itu—dibawa dan ditenggelamkan di balik terang cahayanya. Tak tahu pula ia kerinduan seberat apakah yang—kata perempuan itu—disandera di sesela bulat bundar purnamanya.

Candi Angkor menjulang, tegak perkasa tak seperti hati sang pemrakarsanya yang merasa ditinggalkan rembulan.

Pohon-pohon bodhi meranggas subur tak seperti hati Indreswari yang kering kerontang karena merasa diabaikan sang Dewi Malam…. (*)

 .

.

Genuk Indah, Juli 2011

Cerpen ini merupakan logi ketiga setelah “Senyum Khmer” (SM, 24 September 2007), dan “Bulan di Atas Angkor” (SM, 10 Maret 2008).

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Cerpen Amir Machmud NS, mengingatkanku cerita sejarah kuno, dengan kalimat dan susunan kata dibuatnya menjadi hidup. Jempol !

Leave a Reply

error: Content is protected !!