Cerpen Langgeng Prima Anggradinata (Koran Tempo, 7 Agustus 2011)
BABAK kedua. Lampu menyala dari dua arah: cahaya merah. Di wilayah lain, cahaya kuning bergaris. Cahaya itu bermula dari atas dan berakhir di tengah panggung. Di bagian depan panggung beberapa daun jendela melayang tanpa dinding. Juga beberapa pintu yang berdiri begitu saja.
Seorang laki-laki terdengar menaiki tangga. Suara kakinya keras, berderap, cepat, menunjukkan bahwa ia terburu-buru, ingin cepat sampai di apartemennya.
“Mira, cepat buka pintunya! Cepat, Mira!” teriaknya sambil mengetuk pintu dengan keras. Cepat sekali. Mungkin seseorang tengah mengejarnya.
“Mira, apakah kau berjalan dengan telingamu atau suaraku yang tak berjalan ke telingamu?” Seseorang membuka pintu.
“Aku tidak tuli!” katanya.
“Tutup jendela, jauhkan benda-benda tajam dariku, amankan aku dari benda-benda yang sekiranya berbahaya. Radio itu, radio itu bisa meledak sewaktu-waktu. Ah, aku harus menjauhi lampu gantung itu. Mira, matikan kompor! Ah, tutup juga gordinnya!”
“Tutup mulutmu!”
“Ucapanmu bisa membunuhku!”
Cahaya merah lamat-lamat redup dan padam. Cahaya kuning masih menyala, menunjukkan sewilayah ruang dan sebuah adegan realis. Lelaki itu beranjak dari ruang tengah dengan gerak-gerik yang ganjil. Ia masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dengan tergesa-gesa. Di kamar, ia tutup juga semua gordin dan jendela. Ia jatuhkan dirinya ke atas ranjang. Kemudian menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut. Rasa panas tiba-tiba muncul dari punggungnya. Ia gemetaran dan ia sendirilah yang menggetarkan tubuhnya. Sementara Mira berjalan menuju kamar itu. Ia buka pintu. Di tangannya, segelas air putih dengan es.
“Siapa itu?”
“Aku.”
“Siapa?”
“Aku!”
“Kukira malaikat.”
“Kau mabuk atau sudah gila?”
“Tidak mabuk, tapi hampir gila,” kata lelaki itu, masih dengan selimut yang menutup sebagian besar tubuhnya.
“Ramalan itu membuatku hampir gila,” lanjutnya.
“Ramalan? Kau percaya ramalan? Kau sudah baca majalah bulan ini rupanya. Bagaimana dengan Sagitarius?”
“Ramalan! Bukan zodiak!”
“Kukira sama saja,” tukas Mira sambil menyimpan gelas di atas meja kecil, di sisi meja itu.
“Bisakah kau membedakan? Zodiak hanya menebak kesehatan, uang, asmara, dan hobimu bulan ini!”
Dari arah depan panggung beberapa orang tertawa kecil-kecil. Lelaki itu menunjukkan wajahnya yang sejak tadi tertutup selimut. Ia bangkit dan menenggak air dingin itu. Panas yang ia anggap sebagai bagian dari neraka itu pun lamat-lamat lenyap.
“Orang itu meramalku. Aku akan mati hari ini. Dan aku harus membayar tiga ratus lima puluh ribu untuk firman sialan dan tidak ilmiah itu.”
“Begitu katanya? Kau percaya?”
“Katanya tidak begitu, tapi maksudnya begitu.”
Laki-laki itu diam sejenak. “Aku tak percaya pada yang belum aku lihat dan rasakan betul. Sedang kali ini, aku rasakan sesuatu tengah menusuk-nusuk seperti jarum di bagian kakiku. Mataku mulai berkunang-kunang. Ada yang mencekik leherku. Ah….”
“Sekarang aku tidak percaya kalau kau tidak punya kepercayaan.”
“Entahlah. Aku merasa waktu begitu cepat kali ini, Mira. Lihatlah, aku mulai keriput. Ah, ah, lihat rambutku memutih, Mira. Tiba-tiba memutih, oh, Tuhan. Mira, tolong ambilkan krim anti-keriput punyamu itu. Aku membutuhkannya sekarang.”
“Kau takut mati atau takut keriput? Kau sudah lima puluh empat. Wajar saja!”
“Apa? Oh, apa? Aku sudah lima puluh empat? Bagaimana bisa?” kata lelaki itu sambil meremas ujung selimut. Tindak-tanduknya itu menunjukkan bahwa usianya jauh lebih muda, hanya rias wajahnya yang membuat ia tampak tua sekali.
“Berapa usiamu, Mira?”
“Lima puluh.”
“Nenek-nenek!”
“Apa?”
“Tolong nyalakan TV itu. Aku terlalu lelah. Aku butuh sedikit hiburan.”
Mira menyalakan TV kemudian duduk di atas ranjang. Ia berikan remote control kepada suaminya. Lelaki itu pun mengganti-ganti saluran dengan kacau.
“Mira, lihat, Mira, baru kali ini aku takut dengan televisi. Betapa semuanya mengingatkan aku pada kematian. Mira, tolong pindahkan TV itu ke luar jendela atau ke dekat lemari es. Tiba-tiba benda itu jadi berbahaya.”
Perempuan itu lantas merebut remote control dari tangan lelaki itu. Ia matikan TV kemudian kembali membaca.
“Oh, kau membaca Nur St. Iskandar. Aku ingin cepat tidur. Biarkan aku memakai kemeja dan kaos kaki ini. Ah, ah, bacakan, Mira!”
Sebuah adegan ekpresionis. Suara musik terdengar dari sisi panggung. Lampu samping menyala merah, lebih menyala tinimbang lampu pembersih yang kuning itu. Mira membacakan cerita itu. Tapi suaranya tak terdengar, bahkan tidak juga seperti bisik-bisik. Ia lebih mirip clownfish yang membuka-tutup mulutnya di sebuah akuarium. Sementara laki-laki itu terperangah atau lebih takjub dengan cerita itu. Di matanya nampak hal yang bukanbukan tengah terbayang. Musik berhenti. Cahaya kembali memperkuat adegan realis. Kuning bersih.
“Oh, Mira, cerita itu. Jangan ceritakan lagi! Aku ingat kematian ibuku, nenekku, ayahku, kakekku, adikku. Ah, semuanya!”
“Ini cerita lucu. Abu Nawas beradu pandai dengan sang raja. Apa yang salah?”
“Tidak ada. Hanya ada yang baik dan yang tidak baik.”
“Sikapmu berlebihan.”
“Apa yang sederhana?”
“Cinta.”
“Itu kata penyair. Kekanak-kanakan!”
“Tidak ada kalau begitu.”
“Bohong.”
“Lalu?”
“Omong kosong!”
“Kau demam? Aku ambilkan es!”
“Jangan pergi, Mira. Ini saat-saat terakhirku. Baiklah, yang sederhana itu cinta. Bukankah sederhana bagimu menunggu suamimu dicabut nyawanya? Kau cukup duduk. Hm, kalau aku sudah kejang-kejang, bisakah kau membisikan kalimat-kalimat bahasa Arab? Ah, Puji Tuhan, Roh Kudus, Bapa di surga saja. Ah. Atau Amitabha saja. Ya, itu lebih sederhana.”
“Aku ambilkan es.”
“Ambilkan aku kertas dari laci meja itu. Aku akan menulis surat wasiat.”
“Ayolah, Sayang. Jangan buat aku bingung.”
“Kebingungan tidak lebih menakutkan dari rasa takut.”
“Apa yang kau takutkan?”
“Banyak.”
“Dari yang banyak itu?”
“Rasa takut.”
“Lainnya?”
“Rasa takut.”
Suara dengung terdengar, tipis dan dingin. Mereka tiba-tiba diam. Tatapan mata mereka kosong.
“Mira, aku merasa aku harus mulai kejang-kejang. Leherku harus mulai seperti dicekik. Pergi! Pergi!”
.
LELAKI itu berteriak, memukul-mukul udara. Ia bayangkan malaikat maut mulai mendekat. Kejang-kejang dan perasaan tercekik itu adalah sebagian dan tanda-tanda. Dan ia sendirilah menciptakan sendiri tanda-tanda itu.
Mira memberikan kertas dan pena kepada suaminya. Ia pun mulai merasa sinting.
“Surat Wasiat. Istriku sayang….”
“Apa, Sayang?”
“Aku tidak bicara padamu!”
“Tadi kau panggil?”
“Biarkan aku melanjutkan.”
Lelaki itu kembali menulis surat; mungkin dengan perasaan sedih atau takut yang telah luar biasa menjangkitnya. Di saat-saat terakhir ini, ia rasakan semuanya memang yang terakhir: terakhir menulis, terakhir membaca, terakhir menulis huruf ‘a’,‘k’,‘w’,‘m’, dan seterusnya. Cahaya kuning redup mati, sementara lampu ungu menyala dari depan-atas panggung bercampur dengan lampu merah dari samping dan lampu hijau dari belakang. Suara musik. Celo dan biola terus mengalun. Beberapa orang di bagian depan panggung, di bagian yang gelap itu menguap. Sementara lelaki itu melanjutkan menulis surat.
“Jauh sebelum malam ini, dua puluh enam tahun yang lalu, saat kau benar-benar mencintaiku, aku ingat kau pernah berkata ‘aku akan selalu jatuh cinta padamu’. Aku yakin kalau kau selalu jatuh cinta padaku. Ciumanmu kadang-kadang menggetarkan, tapi juga pernah terasa sebuah rencana pembunuhan. Mira sayang, kemudian kau lahirkan anak-anak yang setelah kawin mereka jarang menengok kita.”
“Aku tidak tahu mengapa.”
“Kau pasti tidak tahu mengapa. Mungkin pekerjaan, kota, dan istri-istri merekalah penyebabnya.”
“Sama sepertimu.”
“Mereka seperti aku. Bekerja dan menghitung uang. Aku akui itu. Tapi uang itu hanyalah untuk kalian. Ah, tapi tiba-tiba aku ingin mengurungkan niat untuk membagi semua hartaku, terlebih kepada anak-anak kita, sebab kukira mereka akan mewariskannya lagi kepada anak-anak mereka. Aku pun tidak akan banyak memberikan warisan kepadamu, Mira. Kau pasti akan memakai uang itu untuk kawin lagi.”
“Tidak!”
“Segala kemungkinan bisa terjadi. Misalnya kau bisa kawin lagi. Aku jadi ingat perselingkuhanmu dengan tetangga kita. Itulah yang menyebabkan kita pindah ke kota ini, ke apartemen ini. Aku harus meninggalkan usaha toko sosisku yang telah maju dan memulainya lagi dari awal di kota ini.”
“Kau terlalu cemburu dengan lelaki itu!”
Lelaki itu terus menulis surat dengan suara yang dikeras-keraskan, “Aku selalu percaya pada diriku sendiri.”
“Itu yang membuatmu keras kepala.”
“Maaf, Mira, kau akan mendapatkan warisan sekadarnya.”
“Kikir!”
“Bukan aku tak mau. Aku ingin memperbaiki sikap dan sifatku. Aku akan menyumbangkan sebagian besar hartaku kepada yayasan sosial. Mira, kukira kau harus mulai bekerja.”
“Dan mencari laki-laki kaya!”
Musik berhenti. Tiba-tiba mata Mira terlihat gemilang. Pikirannya jauh melesat ke masa depan, masa setelah suaminya mati.
“Apa?”
“Apa kau akan membiarkan aku hidup miskin? Kalau begitu aku akan kawin lagi!”
“Ah, jangan, jangan! Aku bisa cemburu! Ah, baiklah aku ganti bagian ini.”
Musik kembali terdengar. Bahkan mungkin lebih sedih. Orang-orang yang berada di depan panggung dan mengantuk itu sebagian tertidur, sebagian lagi terjaga.
“Bukan aku tak mau. Aku ingin memperbaiki sifatku. Sedikit sifatku. Aku akan menyumbangkan sebagian hartaku kepada yayasan sosial. Mira, kukira kau harus mulai bekerja tapi jangan kawin lagi.”
“Itu lebih baik.”
“Malam ini, kutulis surat untukmu. Di malam terakhirku yang menyakitkan dan gelap ini.”
Tiba-tiba musik kembali berhenti.
Mira kembali bicara, “Eh, itu kurang puitis. Coba kata ‘gelap’ diganti dengan ‘kelam’. Dan coba masukkan kalimat ‘bintang-bintang bersinar seperti wajahmu yang cantik , Mira’.”
“Ah, terdengar itu lebih puitis.”
Musik kembali mengalun lebih sedih lagi lelaki itu melanjutkan menulis surat.
“Malam ini, kutulis surat untukmu. Di malam terakhirku yang menyakitkan dan kelam ini. Bintang-bintang bersinar seperti wajahmu yang cantik. Daun-daun berguguran seperti hatiku.”
“Ah, suamiku, itu sungguh mesra,” tukas Mira sambil menyapu air matanya yang sesungguhnya tak ada.
“Aku juga jadi sedih,” kata lelaki itu sambil menyapu air matanya yang sesungguhnya tak ada.
“Akan kuselesaikan.”
“Demikian surat wasiat ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan. Atas perhatianmu aku mengucapkan terima kasih. Salam, Edi.” Tiba-tiba mereka berpelukan, tersedu, seperti akan berpisah.
Musik lamat-lamat mengecil kemudian lenyap.
Lelaki itu melipat dan menyimpan surat itu di kantung kemejanya. Cahaya kembali menguning. Cahaya biru masuk bercampur dengan cahaya kuning. Suara piano muncul, membuat-buat kengerian.
Lelaki itu nampak kikuk bukan karena takut pada kematian. Ia lupa dengan dialognya. Beberapa saat ia diam seperti orang dungu hingga perempuan itu berbisik, “Mira, mati itu seperti apa?”
“Mira, mati itu seperti apa?”
“Aku belum pernah. Mungkin seperti tidur.”
“Tidur itu belajar untuk mati?”
“Dan aku ingin belajar untuk mati. Selamat malam. Kalau sudah merasa seharusnya akan mati bangunkan saja aku,” tukas Mira sambil memejamkan matanya.
“Setelah mati itu bagaimana? Aku sendiri tidak tahu. Tuhan itu seperti apa? Aku sendiri tidak tahu. Apa yang aku ketahui selama ini, Mira?”
“Aku sendiri tidak tahu.”
“Mengapa aku sangat merasa takut? Tuhan mana yang bisa menyelamatkan aku di saat-saat seperti ini.
Keringatnya mulai meluncur dari kening ke pipinya, memudarkan rias wajahnya, gurat-gurat usia yang dibuat-buat. Ia kembali merasakan panas yang ia anggap sebagai bagian dari neraka. Ia membuka kemeja dan kaos kakinya.
“Aku akan memulai kematian ini dengan tenang.”
.
SUARA anjing menyalak, sesekali melolong. Entah itu hanya dalam pikiran lelaki itu atau memang sebenarnya ada. Dari sisi kanan dan kiri dua ekor anjing yang tak mirip anjing muncul. Mereka pura-pura bersuara padahal orang-orang itu, penyaksi itu, tahu bahwa suara itu muncul dari pengeras suara.
Satu di antara anjing yang tak mirip anjing itu nampak begitu terlambat masuk ke dalam panggung dan tidak sungguh-sungguh mengandaikan dirinya sebagai anjing. Suara itu pun lenyap. Anjing-anjing itu berjalan ke arah sisi panggung dan menghilang.
“Ada suara anjing atau itu dalam pikiranku saja?”
Suara piano masih bertahan. Suara celo terdengar patah-patah. Biola bersuara. Lalu biolin. Suaranya tipis dan tajam. Lalu suara burung gagak.
“Ada suara gagak atau dalam pikiranku saja?”
Lelaki itu gelisah. Ia pegang ujung selimutnya, menutup dadanya yang telanjang. Air mukanya sedikit berlebihan untuk perasaan takut dan gelisah.
“Mira, aku sudah dekat sekarang. Bangun! Bangunlah! Ada gagak di jendela. Usir dia, Mira! Usir dia!”
Lalu tampak adegan surealis. Terdengar suara percakapan antara Mira dan lelaki itu dari pengeras suara. Seperti sebuah pertengkaran. Suara-suara masa lalu. Suara gelas pecah. Tamparan dan tangisan. Kemudian suara percakapan tentang kebohongan yang diperbuat lelaki itu.
Lelaki itu berteriak. Ia rasakan lehernya mulai tercekik. Tubuhnya bergoyang-goyang, dan ranjang itu akhirnya terkoyak. Matanya membesar. Orang-orang di tempat duduk menutup sebagian wajahnya. Lampu meniru cahaya kilatan petir. Dari atas panggung seorang malaikat tergantung, melayang-layang, seolah-olah terbang dengan jubah hitam. Ia mendarat dengan tidak sempurna. Tubuhnya melunglai. Lalu ia hunus pedangnya ke arah lelaki itu. Suara orgel terdengar. Kilatan petir terhenti.Tubuh laki-laki itu kini dihujani cahaya biru yang mengarah tajam sedangkan cahaya merah yang mengarah tajam ke tubuh malaikat itu.
“Sungguh kau malaikat atau hanya dalam pikiranku saja?” tanya lelaki itu dengan suara yang tersendat-sendat.
“Sungguh aku malaikat dan hanya dalam pikiranmu saja.”
“Siapa yang mengutusmu?”
“Pikiranmu.”
“Kau mau membunuhku?”
“Kau sudah mati.”
“Sejak kapan aku mati?”
“Sejak kau berpikir akan mati.”
Tiba-tiba lampu-lampu mati. Musik berhenti. Semuanya gelap. Orang-orang bertepuk tangan, mengira bahwa pertunjukan teater itu telah usai. Tapi lelaki itu masih bicara. Semuanya kembali senyap.
“Aku sudah mati?” ia diam sejenak. “Inikah alam kematian atau dalam pikiranku saja? Gelap. Aku tak melihat apa-apa. Mira! Mira! Aku sudah mati! Aku sudah mati! Gelap sekali! Aku takut! Mira, kau di mana? Mira!”
Mira menyalakan korek api. Cahaya remang meliputi wajahnya dan wajah lelaki itu.
“Aku mati karena rasa takut.”
Tak ada cahaya. Korek api ditiup padam. Tirai ditutup. (*)
.
.
—Untuk Arifin C. Noer
Langgeng Prima Anggradinata lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Bergiat di Komunitas Seni Rumah Akasia, Arena Studi Apresiasi Sastra, dan Black Rose Theatre di kampusnya.
.
Leave a Reply