Cerpen M Harya Ramdhoni (Suara Merdeka, 7 Agustus 2011)
KITAB itu ternyata ada dan bukan isapan jempol belaka. Dan nenek moyangnya tak sepuritan yang ia kira.
“Tak ada ajaran kebatinan yang murni dan suci bersih di dunia kuno. Semua berawal dan berakhir dengan percampuran keyakinan dan gagasan, sinkretisme yang terbuka dan terang-terangan,” hujah Profesor Syukri Mohamad Yeoh empat tahun silam.
Kata-kata pembimbingnya di Program Master Manuskrip Melayu Kuno di Institut Peradaban Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia itu seolah mengejeknya.
Empat tahun lalu Dr. Erik Liber Sonata menolak tawaran lelaki keturunan China itu untuk meneruskan Ph.D Kajian Manuskrip Melayu Kuno di University of London. Kitab langka bernama Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air bakal menjadi kajian disertasinya. Sebuah bea siswa menggiurkan pun sedang menanti.
“Kitab itu masih duduk dengan anggunnya di Perpustakaan School of Oriental and Africa Studies University of London menunggu kebajikan hati anak kandung Sekala Brak sepertimu untuk meneliti.”
Erik tak peduli dengan semua omong kosong kegaiban Sekala Brak. Ia hendak tuntaskan ambisinya lamanya. Melanjutkan studi doktoral dalam Hukum Adat Lampung Sai Batin, peradaban muasal ibunya, di Universitas van Amsterdam. Sesuai pula dengan gelar sarjana hukum dan master hukum adat yang ia raih dari Universitas Indonesia.
Itu terjadi empat tahun yang lalu kala rasionalitasnya tengah masyuk bersekutu dengan egoisme intelektualnya. Empat tahun berlalu segalanya pun berubah dengan cepat. Segala logika rasional yang memadat kini malah larut dalam udara.
***
KITAB Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air mengandung lima unsur kunci yang dapat diringkaskan dalam sebuah kalimat: Kepasrahan kepada Allah Semata. Di kitab yang ditulis dengan menggunakan huruf Lampung kuno itu terlihat mantra-mantra percampuran ayat-ayat Alquran dan ajaran Sekala Brak lama.
Nenek moyangnya tak sepuritan yang ia duga.
“Seperti inikah dunia lama yang tak kupahami?” desis Erik sambil membacai fotokopi kitab itu yang dibawa dari London.
Kitab purba itu ditulis di atas kulit kayu. Ia begitu terpelihara di sana, persis seperti yang digambarkan Professor Syukri kepadanya. Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air disimpan dalam ruang berpendingin yang menjamin pemeliharaan atas dirinya. Agar kitab yang telah rapuh dimakan usia itu tak tersentuh tangan manusia, pihak Universitas London membuatnya dalam versi microfilm. Foto kopi dari versi itu yang kini tengah dibaca oleh Erik dengan teliti. Sementara kitab aslinya masih seperti 900 tahun yang lalu, mencandra bau kulit kayu yang begitu purba dan tak lazim.
“Mohon maaf bila perjalanan menuju Liwa kurang menyenangkan, Atin. [1] Jalan raya menuju Liwa rusak parah. Maklum, pilkada bupati masih setahun lagi. Biasanya bupati yang sedang berkuasa akan segera memperbaiki jalan yang rusak beberapa bulan menjelang pemilihan bupati dilakukan. Biasalah, kampanye terselubung.”
“Ah, ya tak apa Jamauddin….”
Erik dikagetkan oleh sapaan ramah sepupunya di belakang kemudi. Lelaki yang usianya hampir sebaya dengannya itu yang menjemputnya di Bandara Raden Intan tadi siang. Tanpa beristirahat mereka langsung tancap gas menuju dataran tinggi Liwa di Lampung Barat. Seolah tak ingin ditinggalkan waktu yang enggan berhenti. Setelah saling bertukar senyum dan berbasa-basi, Erik yang duduk di bangku tengah kembali tenggelam dalam lembar demi lembar fotokopi Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Ia seolah tak perduli dengan apa pun termasuk begitu buruknya jalan raya menuju kampung halaman ibunya di Liwa. Kedatangannya ke sana hanya untuk mencari pembenaran perihal kitab kuno itu dari mulut para tetua adat Sai Batin Paksi Buay Lapah di Way di Kembahang.
“Benarkah kitab itu betul-betul ditulis oleh Umpu Lapah di Way? Ataukah jangan-jangan ia hanya buatan oknum pujangga pada masa lalu?” Itulah persoalan besar yang menggelayuti pikiran sehat sang doktor muda. Hingga tiba pada halaman terakhir yang meringkaskan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala, Erik pun tersentak. Kitab itu tak tuntas diselamatkan. Ada halaman lain yang tak sempat dibawa pergi oleh pemerintah kolonial Inggris ke London.
“Masih ada bagian-bagian lain yang hilang atau sengaja dihilangkan?”
Belum habis Erik terkejut dengan ucapannya sendiri, sebuah BMW X6 Sport berwarna merah marun menyalip mobil Xenia yang mereka tumpangi.
“Mobil itu membawa petaka…,” kata lirih Erik pada diri sendiri.
Sebuah firasat aneh menyerbunya secara tiba-tiba.
Sepersekian detik kemudian sebuah Toyota Land Cruiser hitam secara semena-mena menghantam bagian belakang Daihatsu Xenia, tepat di depan rest area Sumber Jaya. Mobil minibus itu pun terlempar ke depan nyaris masuk jurang. Saat Erik dan Jamauddin masih diliputi kebingungan, sebuah mobil Audi Q7 berwarna perak telah mengepung mereka dari sisi kanan. Praktis, tak ada jalan untuk melarikan diri. Kecuali melalui pintu sebelah kiri yang disambut jurang menganga di bawah sana.
“Keluar! Serahkan salinan Kitab Lapah di Way yang kau bawa itu!” tetak sebuah suara nan angkuh dari balik jendela Audi Q7.
“Siapa kau?” Erik tak mau kalah.
Sudut mata kirinya tak sengaja melihat Jamauddin menggigil ketakutan di belakang kemudi.
Tak ada jawaban yang diterima Erik. Malah selusin lelaki berpakaian parlente muncul dari dalam ketiga mobil itu dan kemudian mengepungnya dengan senjata api di tangan.
“Siapa kalian?”
“Nenek moyangmu penyamun berkepala batu. Begitu juga dengan dirimu. Serahkan kitab itu!” pekik lelaki bertampang Mongol dari balik jendela Audi Q7.
“Takkan kuserahkan!”
“Akan kubenamkan jasadmu di Danau Ranau, lelaki jalang!”
***
KETIKA sadar dari pingsannya, Erik merasakan sakit kepala yang luar biasa hebat. Di manakah ia kini? Masih hidupkah dirinya? Ingatannya terakhir kali adalah pukulan senjata genggam di tengkuknya yang membuatnya hilang ingatan. Setelah itu ia tak ingat apa pun. Bahkan kemana perginya Jamauddin sepupunya ia pun tak tahu. Lamat-lamat di dengarnya seperti suara debur ombak lautan. Tetapi bukan. Ia dapati dirinya tengah berada di pinggir sebuah danau.
“Masih hidup rupanya dirimu. Sebentar lagi tubuhmu akan diikat, mulutmu disumpal dan kami akan tenggelamkan jasad mudamu ke dalam sunyinya Danau Ranau. Menurut hikayat kuno Sekala Brak, ada sebuah kuali raksasa di dalam Danau Ranau yang siap sedia menghisap setiap benda yang berada dalam jarak hisapnya. Tubuhmu adalah salah satunya.”
“Siapa kau? Tega nian kau berbuat begini kepadaku?”
Lelaki bermata sipit tak menjawab pertanyaannya. Ia malah keluarkan salinan Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air dan membakarnya tanpa perasaan.
“Jangan…,” Erik terpekik mengingat betapa naskah itu telah menjadi bagian dari hidupnya setahun terakhir ini.
“Masih ada satu lembar lagi. Kau mencari ini bukan? Halaman terakhir Kitab Lapah di Way….”
“Di mana kau dapatkan halaman terakhir kitab itu?”
“Aku? Cukup mudah bagiku mendapatkannya. Perpustakaan milik Henry Sang Navigator. Kau tahu di mana letaknya?”
“Portugal…,” desis Erik.
“Anak pintar! Tak percuma kau memiliki dua gelar master dari UI dan UKM untuk kajian Hukum Adat dan kajian Manuskrip Melayu Kuno. Juga Ph.D Hukum Adat Lampung dari University van Amsterdam. You are brilliant, son of bitch!”
“Kau mengetahui begitu banyak tentang aku. Siapa kau sebenarnya?”
“Aku? Baiklah kujawab siapa diriku agar kau tak mati penasaran. Aku keturunan langsung Pangeran Kekuk Suik, pewaris sah Sekala Brak. Lelaki yang terusir dari kampung halaman nenek moyangnya sendiri. Lelaki yang dihinakan oleh nenek moyang kalian para perompak dari Utara. Dasar keturunan samun!”
Bulu kuduk Erik meremang demi mendengar nama yang begitu purba dari masa tak tergapai, Pangeran Kekuk Suik. Tamong Batinnya di Kembahang pernah mendongeng tentang kepengecutan Kekuk Suik, pangeran terakhir Sekala Brak yang lari terbirit-birit dikejar balatentara Maulana Bersaudara.
“Ketahuilah keturunan Umpu Lapah di Way alias Maulana Bahruni, bahwa kitab ini telah kuburu sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan sebelum kau sadar kitab semacam ini memang pernah ada di dunia.”
“Apa pentingnya kitab itu buatmu? Tiada dosa dan kesalahannya padamu.”
“Kitab seperti inilah yang telah merenggut kesetiaan rakyat dari bawah duli kekuasaan Puyang Dalom Ratu Sekeghumong. Disebabkan kelihaian ilmu mistik nenek moyangmu seperti yang termaktub dalam Kitab Lapah di Way [2], maka ribuan rakyat Sekala Brak berpaling dan mendurhakai ajaran nenek moyang mereka sendiri.”
“Betapa kejam dirimu!”
“Nenek moyangmu lebih kejam dan brutal!”
“Sebelum kau membunuhku, bolehkah aku tahu apa isi lembar terakhir kitab itu?” Erik alihkan pembicaraan.
“Hmm…. Masih penasaran kau rupanya anak muda? Halaman penghabisan dari Kitab Lapah di Way adalah berhubungan dengan rahasia berjalan di air. Bagaimana caranya seorang manusia menyatu dengan Tuhannya agar mampu melakukan hal-hal yang musykil, termasuk di antaranya berjalan di atas permukaan laut. Sungguh sakti nenek moyangmu si penyamun tua itu hahahahaha….”
Erik tak hiraukan ocehan dan hinaan lelaki bermata sipit di depannya. Pikirannya telah bulat untuk melawan dan merebut halaman terakhir Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air yang belum dibakar.
“Lari, Atin!” sebuah suara muncul seketika dari balik pepohonan.
Jamauddin muncul bagai dewa penyelamat kesiangan.
“Dari mana saja kau?”
“Saya mengikuti diam-diam rombongan para penculik yang membawa Atin.”
“Dengan mobilmu yang rusak itu?” Jamauddin mengangguk mengiyakan.
“Tangkap dua bedebah ini, dan buang ke Danau Ranau! Kenapa tak kalian bereskan lebih dulu si sopir keparat ini?” suara lelaki bertampang Mongol terdengar murka.
Serentak saja lima lelaki bertubuh tegap menangkap keduanya. Kemudian mereka mengikat Erik dan sepupunya dengan tali tambang. Mulut keduanya disumpal pula dengan kain gombal. Lengkap sudah derita dua sepupu ini.
“Lempar! Sekarang!” perintah lelaki bertampang Mongol.
Ketika tubuh keduanya dilemparkan ke Danau Ranau terjadi kejadian yang tak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Sesosok tubuh berpakaian dan bersorban putih muncul dari arah barat Danau Ranau. Ia berlari di atas air! Sosok misterius itu dengan ringannya menangkap tubuh Erik dan Jamauddin kemudian menaruh mereka di pinggir danau. Erik tercengang, juga sepupunya tak kalah cengang. Sementara para penculik telah lebih dahulu menggigil ketakutan melihat kejadian itu. Termasuk lelaki bertampang Mongol pun dibuat ketakutan bukan kepalang.
“Pergilah keturunan Sekeghumong. Jangan ganggu keturunanku. Mereka tak ada sangkut pautnya dengan kalian dan kekalahan moyang kalian pada masa lampau. Pergilah.”
Kemudian lelaki berpakaian serbaputih membuka kedua telapak tangannya. Air Danau Ranau bergulung-gulung beterbangan bagai peluru kendali mencari mangsa. Sekejap saja gumpalan-gumpalan air itu telah memorak-porandakan tanah di depannya. Mobil-mobil dijungkirbalikkan. Lelaki Mongol dan pengawalnya dilemparkan bagai anai-anai beterbangan. Hilang terlempar jauh entah ke mana.
Tak lama kemudian suasana sunyi sepi. Wilayah pinggiran Danau Ranau bagai perkampungan mati tak berpenghuni. Erik dan Jamauddin tertegun saksikan semua itu. “Siapakah Kakek?” Erik beranikan diri bertanya dengan nada suara masih gemetar.
“Salam sejahtera untukmu keturunanku. Aku Maulana Bahruni Ibn Maulana Yamiza Rahmat, puyangmu,” jawab lelaki tua berpakaian serbaputih. Suaranya begitu teduh menenteramkan hati.
“Puyang Dalom Umpu Lapah di Way?” Erik dan Jamauddin bersuara nyaris bersamaan diiringi ketakutan yang menghebat.
Lelaki tua berperawakan Timur Tengah itu mengangguk pamerkan senyumnya yang memancarkan pesona ketulusan dan keikhlasan.
“Mari kuajarkan kalian ilmu Lapah di Way. Bagaimana caranya, dengan kebesaran Allah semata, kita bisa berjalan dengan riangnya di atas permukaan air. Mari cucu-cucuku, kemarilah, agar kalian sadar betapa luasnya ilmu Allah,” ajak Umpu Lapah di Way.
“Tidak! Aku masih ingin hidup waras!” Jamauddin lari tunggang langgang mengiringi jeritannya yang terdengar histeris ketakutan.
Umpu Lapah di Way biarkan lelaki muda yang juga masih keturunannya itu meninggalkan mereka berdua.
“Dulu aku sering berlari dan bersilat di atas Danau Ranau untuk memikat hati penduduk sepanjang danau ini agar tak segan-segan memeluk agama Islam. Mereka pun terpikat dan akhirnya memeluk Islam dengan sepenuh hati. Segala Puji bagi Allah Penguasa Alam Semesta,” berkata Umpu Lapah di Way sambil menggandeng Erik turun ke Danau Ranau.
Erik menggigil ketakutan.
“Adakah ini mimpi?” desahnya dalam hati.
“Begitu jauh zaman kita berpaut. Sembilan ratus tahun lalu danau ini belum seperti ini. Rumah-rumah penduduk tak hanya berjajar di pinggir danau, tetapi juga masih ada yang sengaja dibuat di atas pohon, seperti monyet.”
Erik tersenyum menahan tawa dan takut mendengar perkataan puyangnya.
“Ulangi ucapanku. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala Puji hanya bagi-Nya Allah Penguasa Alam Semesta.”
Erik mengulangi perkataan puyangnya. Sementara tangannya pelan-pelan mulai dilepaskan dari gandengan sang puyang. Ajaib! Ia rasakan kakinya menapak di atas air. Tak terendam barang sejengkal pun. Erik coba melangkah dengan tertatih-tatih. Dan ia memang tak tenggelam. Takjub! Itulah yang mulai menggerayangi akal sehatnya.
“Berjalan lebih cepat,” perintah sang puyang.
Erik lakukan perintah puyangnya. Ia berjalan cepat dan cepat. Kemudian ia berlari dari ujung selatan ke ujung timur Danau Ranau dengan sekali tempuh. Dengan perasaan pongah Erik berlari lebih cepat sambil sesekali menatap sombong pada Gunung Seminung yang berdiri gagah tak jauh dari tempatnya berada.
“Luar biasa! Tentu aku satu-satunya manusia modern yang bisa melakukan hal ini!”
Tatkala pikirannya mulai dirasuki keangkuhan dan kesombongan, pelan-pelan kemampuannya berjalan diatas air mulai meredup. Perlahan-lahan kakinya mulai terendam air. Tak lama kemudian ia tak dapat lagi melangkahkan kaki di atas permukaan Danau Ranau. Kemudian separuh tubuhnya pelan-pelan mulai tenggelam diikuti lolongan ketakutan terdengar dari mulutnya. Celakanya Erik tak bisa berenang.
“Tolong saya Puyang Dalom Umpu Lapah di Way.”
Tak ada pertolongan yang tiba untuk menyelamatkannya. Ketika kepalanya mulai terendam air, Umpu Lapah di Way pun tak pula bergeming. Erik saksikan puyangnya itu masih berkacak pinggang memandangi dirinya tanpa sedikit pun belas kasihan.
“Ampuni hamba, ya Allah.”
Itulah pekik terakhir yang terucap dari mulut Erik. Tak lama kemudian mata, hidung dan telinganya mulai disesaki air. Ia betul-betul tenggelam sekarang. Tak guna bagi Erik menyumpahi puyangnya itu. Kini kematian harus ia terima dengan lapang dada. Beberapa detik kemudian napasnya mulai lindap diikuti kehilangan kesadaran yang semakin menghebat. Tiba-tiba dirasakannya sepasang tangan mengangkat dan menggendongnya ke pinggir danau. Sepasang tangan yang sama yang telah menyelamatkan dirinya dari percobaan pembunuhan oleh keturunan Pangeran Kekuk Suik dan kaki tangannya.
“Kau belum mampu menguasai ilmu ini, cucuku. Hati dan pikiranmu masih terlampau kotor dan berkiblat duniawi. Kepongahan dan keangkuhan merajalela dalam jiwamu. Kepasrahan total tak cukup, cucuku. Halaman terakhir kitabku belum lagi kau baca dan resapi baik-baik. Kebersihan jiwa setiap pengikut Jalan yang lurus adalah mutlak sebelum memasrahkan diri kepada Allah dan mengamalkan isi Kitab Lapah di Way, Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Camkan baik-baik keturunanku!”
Setelah itu tak ada lagi yang dapat diingat oleh Erik. Ia dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir Danau Ranau. Belasan jam kemudian ia dapati dirinya masih terbaring lemah di salah satu kamar VIP di Rumah Sakit Umum Liwa di Balik Bukit. Seorang nelayan baik hati menemukannya dan membawanya ke rumah sakit itu. Kelak, Erik akan selalu mengenang setiap penggal kejadian aneh di Danau Ranau dengan air mata berderai. Kekalahan telak akal sehatnya melawan kuasa alam metafisik. Semua itu bagai sekelumit kisah pahit masa kecil yang nyaris tumpas dimakan usia yang terus berlari. (*)
.
.
Hentian Kajang, Malaysia 21 Juli 2011
.
Catatan:
[1] Panggilan untuk abang dalam tuturan adat masyarakat Lampung Sai Batin.
[2] Lapah di Way bermakna berjalan di atas air (bahasa Lampung Sai Batin).
.
.
Muhammad Harya Ramdhoni lahir di Surakarta, 15 Juli 1981, merupakan kandidat Ph.D Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia dan pengajar FISIP Universitas Lampung. Ia menulis puisi, cerpen dan novel. Novel pertamanya Perempuan Penunggang Harimau.
.
andik saputra
bos. aku bisa terbang sama menghilang
Muhammad
Ilmu yg terasing,asing bagi aku dan kamu
andreas
Ilmu sina memang ada dan tidak mustahil bagi alloh jika berkehendak.ulun lampung tumbay memang sakti..atas ketulusan hati dan kemurnian jiwanya maka tuhan akan berada pada mereka yg meyakininya..salam sikam anjak marga pekon sai batin lampung selatan..adok sikam khadin layang agung.