Musyafak Timur Banua

Marbut

0
(0)

Cerpen Musyafak (Republika, 21 Agustus 2011)

SERUAN itu terdengar parau. Melolong melalui dua mesin pengeras suara yang terpasang di bawah sisi kubah. Suara yang kedengarannya tertahan di diafragma atau seperti menyangkut di tenggorokan itu, tak jemu-jemunya berdendang sumbang. Berharap suara itu menyusupi telinga orang-orang yang sedang lelap, menggelitikinya, mengganggunya hingga mereka mencerai mimpi dan lekas bangun.

Sobar meneguk segelas air putih. Di dini hari yang hening itu, ia kembali melantun puji-puji dan doa-doa untuk membangunkan orang-orang agar lekas sahur. Selang sepuluh menit sekali, pepuji dan dedoa itu diselingi peringatan agar orang-orang segera bersahur karena waktu sudah menunjukkan jam sekian atau sekian.

Tiga tahunan sudah Sobar jadi marbut di masjid di kompleks perumahan yang ia tinggali sejak ia memperistri seorang gadis, teman kuliahnya, dan tinggal di kontrakan kecil yang disewanya dengan harga murah. Pengetahuan agamanya yang mumpuni membikin orang-orang percaya kalau Sobar orang yang tepat untuk memelihara masjid, melantunkan azan begitu tiba waktu shalat, mengatur jadwal khatib atau imam shalat jumat. Ketika Ramadhan, tugasnya bertambah sebagai bilal shalat tarawih dan tarhim. Kedisiplinannya bertarhim membantu orang-orang tak melewatkan sahur. Yah, rasanya ia lebih rajin dan rutin ketimbang alarm handphone atau beker yang disiapkan orang-orang.

Perasaan naif itu sejak mula samar-samar membersit di sanubarinya. Dan, kini membisikinya makin jelas. Bagaimana bisa orang yang sepertinya bakal tidak sahur malah menyeru-nyeru orang-orang untuk bersahur? Begitu batinnya. Pikirannya tiba-tiba seolah bandul jam yang bergerak gontai ke kiri-kanan. Ia mulai meyakinkan diri kalau ia bakalan benar-benar tidak sahur, dini hari kemarin.

Sebelas menit lagi waktu sahur habis, tapi tak sesiapa datang membawa makanan untuknya. Di awal-awal Ramadhan lalu kerap kali ia dapat kiriman makanan buka atau sahur. Itu cukup membantu kekurangannya bersama sang istri. Tapi, melewati pertengahan Ramadhan makin jarang orang bersedekah hidangan. Sebenarnya sesisih perasaannya tak ingin bertamak hati mengharap pemberian orang. Namun, sebelah hatinya yang lain merasa membutuhkan pemberian hidangan untuk sahur itu.

Kesadaran Sobar tertuju pada istrinya. Pikirannya mencoba memastikan masih adakah sesuatu di rumahnya yang bisa dimasak istrinya. Diingatnya, persediaan mi instan masih satu bungkus, sisa menu bukanya petang tadi. Sobar gamang. Selebihnya ia memprotes diri mengapa tidak mampu menjamin istrinya dengan menu yang pantas. Protes itu berujung kutuk-rutuk pada dirinya sendiri.

Tasahharuu… fainna fi al-sahuuru barakah…

Sobar sungguh amat tahu arti kalimat-kalimat tarhim yang lantun dari mulutnya itu. Sahurlah kalian… karena sesungguhnya sahur itu berkah….

Irhamnaa yaa arhamar-raahimiin….

Ia juga benar-benar mengerti makna kalimat yang diulang-ulangnya itu. Bukan cuma puja-puji atas Tuhan Maha Penyayang dan Yang Maha Pengasih. Tetapi, kalimat itu juga memesankan agar manusia saling menyayangi dan mengasihi. Ia membatin, orang-orang yang mendengar kalimat itu ketika sahur patutnya memastikan apakah para tetangga bisa sahur atau tidak. Bagi Sobar, melakukan tarhim bukan cuma melantunkan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang bersahur, tapi juga menyerukan agar orang-orang senantiasa berkasih-sayang. Entahlah orang-orang di kompleks perumahan mafhum akan makna demikian.

“Imsak… imsak… imsak….”

“Imsak… imsak… imsak….”

Sobar merasa sangat aneh pada diri sendiri ketika mendengar seruan imsak dari mulutnya. Semacam kejanggalan yang sebenarnya telah dirasakannya beberapa kali. Dan, lagi-lagi ia merasa kalah. Karena sampai batas waktu sahur habis ia betul-betul memiliki kesempatan untuk memenuhi lambungnya dengan air putih. Dan, ia merasa sangat terhina oleh seruan imsak dari mulutnya sendiri. Dirasanya seruan imsak itu sebagai cemoohan telak terhadap diri sendiri.

***

Qona menatap kosong pada meja yang sepi. Suara yang beberapa menit tadi menyeru imsak kini berganti menggemakan azan. Suara yang dirasakannya makin parau dan tua. Qona merasa tahu benar apa yang terjadi pada diri suaminya dari suara yang kurang tegas dan tatak itu. Andai suaminya mendapat kiriman sahur dari seseorang, pastilah lelaki itu pulang sebentar ke rumah untuk membagi makan sahur itu kepadanya.

Imsak pun tiba, seperti malam-malam lalu. Ketika terdengar suara iqamat, segera saja Qona bangkit berjalan menuju masjid. Usai jamaah Shubuh ia berjalan beriringan dengan Sobar. Keduanya berjalan beriringan. Lelaki itu keki dan belum sempat bicara sesuatu pun pada Qona.

“Maaf, Qon….” Kata-kata itu terasa mendadak membersit dari bibir Sobar, tapi putus begitu saja.

Qona sayu memandangnya. Sorot matanya seolah menyatakan segala pemakluman.

“Maaf kau tidak sahur lagi malam ini, Qon.”

“Ah, Kang… aku tidak begitu lapar.” Qona memaksa bibirnya menyungging.

Sobar tergeming. Rasanya bibirnya tak kuasa berkata apa-apa lagi. Perasaan menyesal berkecamuk di dadanya. Langkahnya terasa melemah, seolah terkena lepra. Pun Qona bergeming saja. Pikirannya tengah bergelut dengan perasaan sendiri.

Gelagat mata Sobar menampak wajah istrinya seperti mata sedang mencuri pandang. Kini ciut nyalinya untuk memandang istrinya secara terang-terangan. Ia membatin pelas, mengapa wanita secantik itu tabah saja hidup telantar di kehidupannya. Terbit rasa syukur di sebelah hati kecilnya memiliki istri cantik yang penerima itu. Sekali-kali Qona tidak pernah menuntutnya lebih. Meski begitu, Sobar ingin sekali memberikan sesuatu yang lebih kepadanya. Semacam pemanjaan yang sederhana dan wajar. Ia ingin sekali menjadi lelaki yang penuh kesanggupan.

Qona sibuk dengan perasaan sendiri. Mendadak berkecamuk pelbagai perasaan di dalam dadanya. Sebisa-bisanya Qona memeramnya. Yang dibiarkan berkembang di dalam perasaannya adalah keinginan untuk selalu merasa cukup dengan hanya memiliki Sobar. Qona meyakinkan diri saat ini Tuhan hanya sedang mengujinya. Harapan terbesarnya kini adalah Sobar sembuh sempurna dari penyakit hepatitis yang sudah dua tahun dilawan suaminya itu. Kata dokter, ini masa-masa terakhir penyembuhan Sobar. Qona tentu berharap Sobar bisa kembali bekerja, meski serabutan belaka, seperti sebermula mereka menikah tiga tahun silam, sambil menjadi marbut yang meski tak tentu upahnya.

***

Belakangan Sobar bimbang untuk melangkahkan kaki ke masjid. Pikiran dan hatinya selalu bersitegang. Sukar diterimanya tugasnya yang melayani orang-orang, tapi terasa mengejek diri sendiri. Malam ini ia berada di ambang ragu pada apa yang hendak dilakukannya. Hidup seolah jalan buntu, tak nampak jalan keluarnya. Terbesit bimbang di lubuknya akan doa-doanya pada Tuhan.

“Kurang taat apa aku kepada-Mu? Kurang cobaan apa lagi, sementara aku masih menanggung sakit yang Kau timpakan? Kurang sabarkah aku terhadap takdir-Mu?” Begitu pertanyaan-pertanyaan yang malah menyerang dirinya sendiri. Ia lantas meragukan ketaatannya sendiri. Barangkali ketaatannya belum benar, masih jauh dari kesempurnaan. Barangkali pula ia masih sangat berjarak dari kesabaran. Barangkali doa-doanya belum benar pula hingga tidak pernah sampai pada Tuhan.

“Ataukah Kau sedang tidak berlaku adil padaku?”

Sobar terpekur di tepi ranjang. Istrinya masih pulas. Ia lantas bangkit menuju dapur. Dipandangnya meja makan, cuma mangkuk bekas kolak pisang yang dibawanya pulang dari masjid petang tadi. Ia telan sendiri ludahnya. Getir. Seakan sabut kelapa menjejal di kerongkongnnya. Entah, ia mendadak ingin melupakan segalanya. Melupakan kekesalan pada dirinya yang terus menghiba. Entah berapa lama ia tidak mewaspadai diri hingga disadarinya tubuhnya sudah berjalan ke arah masjid. Ia rasakan langkahnya ringan. Kakinya terasa melayang-layang kecil. Dirasakan pula gerak-gerak kecil yang membelit perutnya. Perih dinding lambungnya.

Tiba-tiba ia ingat kebohongannya petang tadi. Ia mengaku pada istrinya kalau ia sudah berbuka di masjid duluan. Padahal sebenarnya jatah kiriman buka di masjid sore tadi cumalah seporsi nasi dan semangkuk kolak yang dibawa pulang untuk istrinya. Sebelum naik ke masjid, Sobar sempat membersitkan doa agar istrinya tetap tidur lelap. Terasa aneh memang, namun itu dirasanya lebih baik ketimbang istrinya bangun tapi tidak memiliki apa-apa untuk disantap sahur.

Suaranya kembali melolong dari mesin pengeras suara. Menelusupi telinga orang-orang hingga satu per satu di antara mereka bangun. Lolongan keras dan panjang. Panjang-panjang. Suara garau yang dominan dengan getar-getar parau. Orang-orang yang mendengarnya merasakan keanehan. Mereka mengira Sobar terlalu bersemangat hingga tarhim diserukannya dengan teriak-teriak.

Lama-kelamaan suaranya tersimak acak dan kacau. Seperti menceracau. Makinlah suaranya terdengar aneh penuh desah-desah napas yang menyengguk dan menyengal. Ia tak merasakan apa-apa kecuali terperangkap dalam tegangan ekstase yang seolah berada di luar kendalinya. Matanya lebih kerap memejam daripada mengawasi sekelilingnya, seraya terus diteriakkannya puja-puji dan doa-doa.

Lalu, kembalilah ia menatap kenyataan. Menatap dinding-dinding bercat krem cerah. Menatap kaligrafi warna tembaga yang menuliskan nama-nama Tuhannya dan ayat-ayat suci-Nya. Lalu, kembalilah ia menatap kenyataan. Merasakan perutnya yang kian dililit perih yang sakit. Seperti ada mulut jahat yang mengisap dinding-dinding lambungnya. Tak disadarinya akan suaranya yang makin keras. Teriak-teriak seperti seruan orang sedang marah.

Lalu ia mendongak, melihat langit-langit kubah yang kemilau cerah. Matanya mengabur. Tapi, silau itu masih beberapa saat tertawan di bola matanya sebelum benar-benar meredup menjelma lembar pekat kekuning-kuningan. Semacam kertas kosong yang senyap dan mengerikan. Tapi, di sanalah ia melihat keindahan. Dilihatnyalah sorga di sebuah ketinggian yang entah. Taman penuh telaga dan bunga-bunga. Buah-buahan yang bisa dipetik sekehendak hati. Juga aneka makanan yang bisa diminta sesuka hati.

Sesaat kemudian, Sobar merasa terbang menuju langit-langit kubah itu. Menuju sorga yang kosong itu. Suaranya mendadak patah dan berhenti setelah ia terjengkang dari duduknya. Di luar sana, di luar masjid itu, orang-orang belum mengerti kalau Sobar lapar sekali. (*)

 .

.

Semarang, Agustus 2010

Musyafak, penulis kelahiran Demak ini masih berstatus mahasiswa. Aktif di Kampoeng Sastra Soeket Teki Semarang dan menjadi pengelola Open Mind Community Semarang. Sejumlah karyanya sudah dibukukan dalam berbagai antologi.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. jyun

    waduhh, ilusi saking laparnya ternyata, haha lucu sih.. tapi sedih

Leave a Reply

error: Content is protected !!