Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 21 Agustus 2011)
RUMAH itu menggigil. Perempuan tua itu tinggal dan tersesat di dalamnya. Jika malam tiba, rumah itu tampak seperti gadis kecil yang terkurung dalam kamar mandi, dengan keran air yang terus menyala, mengguyur kepala. Konon, dalam rumah itu, musim hujan memang tak pernah berhenti. Siutan angin menyambar-nyambar. Petir dan kilat bersahut-sahutan. Jika tengah malam tiba, suara-suara gemuruh dari dalam rumah itu kian menjadi. Konon lagi, hujan itu bermula pada sebuah malam celaka. Malam selepas pemakaman suaminya.
***
DIA hartaku satu-satunya, bagaimana aku tidak gila kehilangannya. Selepas anak semata wayang kami pergi ke luar negeri, mencari kerja katanya, dan puluhan tahun tidak kembali, aku tak punya apa-apa lagi kecuali dia. Barangkali dia tampak menyusahkan dan tidak istimewa sama sekali. Namun, dialah bejana emas yang selama ini menampung curah hujan yang terus menderas dalam kepalaku, mengguyur mataku, menguyupkan hatiku.
Semenjak divonis stroke, dia telah menjelma bayi. Setiap hari hanya terbaring di ranjang tidur yang kasurnya kian hari kian lepek dan menggumpal. Makan harus aku yang menyuapinya. Mandi harus aku yang memandikannya. Bahkan, buang air pun harus aku yang menimpal dan mencebokinya. Barangkali memang di situ mukimnya cinta. Tak ada keluh. Tak ada kesah. Semua kujalani dengan debaran yang masih sama. Debaran ketika pertama kali bertemu dengannya. Debaran ketika ia mendatangi abak-emakku untuk memintaku. Debaran ketika dia mulai mengenakanku menjadi pakaiannya. Semua masih sama. Hingga detik ini. Detik ketika dia terlihat sangat bodoh dan tidak berdaya.
***
SUAMINYA meninggal tepat ketika azan subuh berhenti. Pagi hari rumahnya ramai oleh handai tolan yang melawat dan mengikrarkan bela sungkawa. Menjelang siang, jenazah dimandikan dan dikafani, menjelang sore pemakaman baru usai. Petang merembang. Satu per satu tetangga dan handai tolan berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing. Petang itu mereka sempat menyaksikan mendung hitam yang sangat tebal, bergulung-gulung di pelupuk mata perempuan itu. Mendung hitam yang mereka yakini akan menjadi pertanda musim hujan yang panjang.
Tepat selepas isya para tetangga dikagetkan oleh raungan panjang dari dalam rumah itu. Raungan panjang yang sesekali diikuti geletar seperti suara petir. Juga desah napas yang terdengar seperti angin yang marah. Dari celah-celah pintu para tetangga juga sempat menilik lampu neon yang nyala-mati, yang mereka yakini sebagai kilat yang berkedip-kedip. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai mendengar titik gerimis yang bergemeletak menikam lantai, meja, dan kursi. Semakin lama titik gerimis itu bergemericik dan menderas. Beberapa orang yang penasaran, berjingkat mendekati rumah itu. Dan dari balik pintu yang terkunci, mereka bersumpah, bahwa mereka mendengar gemericik air yang sangat nyata. Seperti ricik hujan yang sangat deras. Sejak saat itu, rumah limas itu tampak muram. Pintunya tak pernah lagi terbuka.
***
AKU percaya, bahwa kehilangan adalah ibu dari semua duka. Bahkan aku tak bisa melukiskan bagaimana perasaanku ketika dia benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali. Sungguh, ditinggalkan selalu lebih miris daripada meninggalkan.
Malam itu, dia mengeluhkan udara yang sangat dingin. Dia mengatakan bahwa tulang-tulangnya seperti membeku dan diremukkan. Jahe hangat kuseduhkan, berlapis-lapis selimut kubalutkan. Dia masih saja menggigil. Matanya mendelik. Tubuhnya gemetar. Bibirnya yang kering mengelupas lapis demi lapis. Semalam suntuk aku mencari sesuatu yang bisa menghangatkannya. Di sebelahnya, kubuatkan perapian kecil dari kayu-kayu yang kucabut satu persatu dari papan dinding. Dia masih saja menggigil.
Kutanyakan padanya, apa yang sekarang dia rasakan? Dia tak menjawab. Tubuhnya masih gemetaran. Tiba-tiba aku sangat takut. Sangat khawatir. Maka, aku tak perlu melakukan yang lain. Kehangatan yang masih tersisa di tubuhku pun kuberikan. Aku memeluknya erat-erat. Seolah dia akan hilang. Malam terus merangkak. Sangat pelan. Sangat pekat. Sangat dingin.
Di akhir sepertiga malam, suara tartil memenuhi udara di luar sana. Dia masih menggigil. Diikuti suara tarhim yang melengking seperti tangisan yang sangat syahdu. Ia masih gemetar. Azan subuh pun memulai kalimat pertamanya. Ketika itu gemetar badanya sedikit sudah berkurang. Namun dari matanya, air terus mengucur seperti hujan. Tepat ketika azan subuh berhenti. Dia tidak menggigil lagi. Tidak gemetar. Tidak bergerak. Tubuhnya sangat dingin. Sedingin besi terendam hujan.
Aku turut kaku. Menatap lelehan yang masih tampak hangat di matanya. Menatap kedua matanya yang mendelik dan penuh kabut. Menatap mulutnya yang menganga, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak pernah sampai. Kurasakan, mendung hitam mulai berarak menutupi penglihatanku. Dari subuh hingga magrib. Menjelang isya mendung hitam itu kian merajalela, membutakan mataku. Aku tak bisa melihat kecuali dunia yang remang, dingin, dan sangat tidak ramah. Detik itu desah napasku gusar. Aku meraung panjang. Sekeras-kerasnya. Setelah itu, hujan mulai turun berdebam dalam kepalaku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku.
***
SETIAP kali menatap rumah itu, kami selalu merasa iba. Membayangkan perempuan tua itu duduk sendiri di sudut kamar. Memeluk lutut. Menggigil kedinginan. Perempuan tua itu memang terlampau larut dalam kesedihan. Tak pelak sesuatu dalam kepalanya rusak, terendam kesedihan yang sangat hitam dan kental. Kami tak pernah bisa menyelami kesedihan yang berkedung dalam kepalanya itu. Bagaimana mungkin kami bisa. Ia sendiri tak mau membagi kesedihan itu pada kami. Ia tak pernah mengizinkan kami masuk ke dalam rumahnya, ke dalam dunianya, lubuk kesedihannya.
Semenjak malam itu… malam ketika hujan pertama turun dalam rumah itu… pada malam selepas pemakaman suaminya. Perempuan tua itu memang tak pernah lagi keluar rumah, kecuali membuang sampah. Kami tak pernah tahu apa yang kemudian ia makan. Tubuhnya kian susut. Ia telah menyerahkan dirinya dalam kesedihan yang paripurna, hingga ia bagai tak punya waktu untuk memikirkan dirinya. Musabab itulah, sebagai tetangga, kami merasa perlu untuk pura-pura bertamu ke rumahnya, entah untuk mengantarkan sedikit makanan, entah bertanya keadaan. Kami rasa, sebagai tetangga, kami pantas melakukan itu. Ketika itu, kami berharap, ia mau membuka diri dan membagikan sedikit kesedihannya pada kami. Namun sungguh di luar dugaan, perempuan tua itu malah melempar kami dengan sandal sambil berteriak-teriak mengusir kami pergi.
Perempuan tua itu telah sempurna menjadi hantu. Rambutnya yang pecah memutih tak lagi ia gelung… ia urai seperti rambut nenek Lampir. Pakaian yang melekat di tubuhnya adalah pakaian terakhir yang ia kenakan, yang kami lihat ketika jenazah suaminya dikebumikan. Sangat kumal dan bau. Kami tahu, kami sudah tak bisa berbuat banyak. Perempuan tua itu telah menyerahkan dirinya pada kesedihan yang tak beranah tepi. Hingga ia tersesat di sana dan tak pernah bisa kembali.
***
HUJAN terus mengamuk dalam kepalaku. Tak kenal jeda. Tak kenal reda. Berkali-kali airnya merembes melalui sudut mataku. Terkadang meleleh dari lubang hidungku. Aku menggigil karena hujan itu. Hujan kelam yang terus menerus mengguyurku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku. Aku sendiri tak tahu bagaimana cara menghentikan hujan itu. Hujan itu hanya akan sejenak reda bilamana aku tertidur. Bilamana dunia kasat mata lenyap dari pandanganku. Dan digantikan mimpi-mimpi yang hangat dan beraneka rasa.
Tubuhku gemetar. Aku menggigil. Aku takkan mampu bertahan jika hujan ini terus mengamukku, mengguyurku sedemikian rupa. Tanpa jeda. Tanpa reda. Aku harus segera tidur. Tidur. Supaya hujan ini berhenti. Tidak membasahi hatiku. Tidak membecekkan mataku. Tidak menguyupkan rumahku. Ya, aku harus segera tidur. Tidur yang panjang. Meski dengan cara paling mengerikan.
***
PADA sebuah malam, kami terheran-heran ketika mendapati rumah itu tiba-tiba sunyi. Tidak ada raungan panjang seperti geletar suara petir. Tidak ada kilat yang berkedip-kedip. Tidak ada pula suara gemericik yang menikam lantai, meja, dan kursi. Kata para tukang ronda, suara gemuruh itu telah reda sejak malam lalu.
Maka, seperti kali pertama kami mengintip bagaimana hujan itu bermula, kami pun ingin tahu bagimana hujan itu reda. Kami berjingkat mendekati rumah itu. Rumah yang tidak lagi menggigil namun tampak lebih muram dan menyedihkan. Rumah itu hening. Sangat hening. Seperti penyusup, kami mengintai dari luar pintu yang bergeming dan kusam. Kami mencari celah lubang pintu untuk mengetahui rahasia rumah itu.
Kami mulai mengintip satu persatu. Dan kami tak mendapati apa-apa selain keheningan. Keheningan yang menyelimuti seonggok tubuh kaku yang berayun-ayun di balik pintu. Di antara mata yang mendelik dan lidah yang menjulur, kami masih melihat sisa-sisa hujan itu. Dan ketika kami menatap mata itu, tiba-tiba mendung hitam bergulung-gulung mendatangi kepala kami. (*)
.
.
Malang, Mei 2011
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Saat ini bergiat Komunitas Sastra Budaya Lembah Ibarat.
.
partnerinvain
bintang 5 untuk cerita ini
tono
menyedihkan, mencerminkan orang yang kosong dari keimanan, dari takdir Allah, walau dari segi positifnya ada yaitu kesetiaan yang abadi sama suaminya
Zian X-Fly
Keureeeen!
Cerpen2 Mashdar Zainal selalu saya tunggu2.
ragdi
Kok seperti judul cerpen saya, ya…
Hehee… tapi barangkali itu biasa dalam ranah kreativitas.
Mashdar
semoga ini tdk termasuk dalam kategori plagiat… beribu maaf mas ragdy… cerpen ini sudah beberapa kali mengalami perubahan judul, dan akhirnya mendekam betah dengan judul ini… senang anda sudah sudi mampir… salam kenal semua