Cerpen Fitri Yanti (Republika, 4 September 2011)
SENDIRIAN aku duduk di kursi tamu. Ruang itu ditata apik dengan interior yang kurasa rancangan seorang arsitek. Puas memandang sekeliling, kupandang beberapa foto keluarga terpanjang di dinding maupun di lemari pajangan. Keluarga bahagia, gumamku.
Seorang perempuan baya dengan sepasang suami-istri masih muda diapit tiga orang putra-putri yang wajahnya begitu segar dan ceria. Perempuan baya itu? Ibunya.
Kurasakan matanya memandang padaku penuh kesedihan juga harapan. Mungkin kemarahan penuh dendam. Ada luka di matanya. Kupalingkan wajahku dari foto keluarga itu.
Tak lama pembantu yang sebelumnya menerima kedatanganku kembali datang membawa dua gelas minuman, air putih dan orange juice. “Silakan, sebentar lagi ibu datang,” ujarnya ramah.
Kuanggukkan kepala tanda ucapan terima kasih.
Pembantu itu mungkin mengira aku tak puasa, karena wajah tuaku yang begitu lelah, seakan tak sanggup menahan lapar dan dahaga. Aku hanya menatap kedua gelas yang berisi air putih dan jus itu. Dahagaku luar biasa. Tapi kutahan. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 17.30. Hanya 30 menit lagi waktu azan Maghrib menjelang buka puasa.
Otakku berputar tak tentu arah mereka-reka wajah pemilik rumah. Seperti apa dia? Seperti ibunya? Atau, mirip ayahnya? Otakku kembali berputar membayangkan wajah perempuan pemilik rumah yang akan kutemui.
Kalimat apa harus kusampaikan sebagai ungkapan rasa bersalahku padanya. Maukah dia memaafkanku? Menerima? Mengakuiku? Menolongku?
Rasanya ingin aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa menemuinya. Harga diriku sudah tak ada lagi, walau pemilik rumah belum memperlihatkan dirinya. Benarkah dia ingin jumpa denganku atau iseng mengusikku yang sudah renta di usia senja ini, dengan mengirim sepucuk surat yang isinya menyatakan ingin sekali jumpa denganku. Benarkah dia mengirim surat itu?
Di mana dia tinggal dengan ibunya pun tak pernah kutahu sejak kehadirannya di dunia ini. Yang kutahu hanya memberikan sekadar belanja pada ibunya, dan kutahu persis jumlah yang kuberikan nilainya jauh lebih kecil dari gaji pembantu di rumahku yang besar.
Lebih dari lima orang pembantu, ditambah sopir, tukang kebun, dan satpam harus kubayar jutaan rupiah tiap bulan. Belum lagi biaya harian sekeluarga, biaya sekolah anak-anak di sekolah favorit, jalan-jalan dari mal ke mal, menginap dari hotel ke hotel, dan plesiran. Belum lagi pegawai di perusahaan kontraktor milikku. Gaya kehidupan metropolitan pun membelitku di keseharian.
Barang bermerek tak pernah lepas dari penampilanku. Bergabung dengan klub-klub mewah, termasuk di kalangan elite politik partai. Belum lagi kehidupan liarku bertualang dari pelukan perempuan ke perempuan. Semuanya menghabiskan biaya puluhan juta rupiah tiap bulan.
Sementara dia hanya kuberikan antara 250 ribu hingga 500 ribu rupiah per bulan, terkadang malah kurang dari itu. Pernah juga kuberikan agak lebih namun penuh keterpaksaan, karena kata ibunya untuk mengontrak rumah dan buka usaha kecil-kecilan. Tak sekali dua pemberianku pada ibunya kuiringi dengan 1001 nasihat, keluhan, juga makian, karena aku merasa begitu terbebani harus memberi belanja tiap bulan. Selalu aku berharap ibunya tak lagi menampakkan wajahnya di kantorku, atau berkirim surat maupun meneleponku. Pernah sekali ibunya minta biaya ulang tahunnya yang ke-10.
Baah …! Enak saja dia buang-buang uang untuk sebuah pesta, bagai anak orang kaya saja. Hanya ibunya pernah memperlihatkan fotonya padaku. Foto sejak dia bayi hingga usia belasan tahun. Belum pernah kusentuh tubuh kecilnya itu. Memangnya apanya aku ini? Bah… apa peduliku, seperti siapa raut wajahnya bukan urusanku.
Ibarat roda yang selalu berputar, bisnisku semakin hari tergilas oleh berbagai kendala gara-gara masalah elite politik dan persaingan bisnis yang ketat minta ampun dan akhirnya ambruk. Keangkuhanku selama ini tak pernah kusadari juga menggilas seluruh mentalku. Aku terpuruk.
Kondisiku secara ekonomi kini morat-marit, tambal sulam. Gali lubang tutup lubang. Tak ada lagi “pasukan tempur” yang siap membantu baik di rumah juga di kantor. Seluruh pembantu, tukang kebun, sopir apalagi satpam semuanya sudah mengundurkan diri tanpa kupecat. Tak sanggup aku menggajinya. Walau ekonomiku sudah ambruk, tapi aku masih bisa mempertahankan rumah besarku yang juga mulai suram digilas waktu. Aku hanya coba bertahan, jangan sampai keluargaku kehujanan atau kepanasan.
Aku dikejar utang kredit bank dengan bunga yang selalu membengkak. Perusahaan yang kubanggakan, memang kudirikan di atas utang bank yang kini balik membelitku. Jangankan membayar cicilan utang, bunga bank saja tak sanggup kubayar.
Satu per satu mobil mewah yang berderet di garasi kujual untuk menutupi utang bank. Gaya hidup hedonisme ala metropolitan yang selama ini membelit perilaku di keseharian lambat laun kutinggalkan, walau teramat sulit dan pahit. Juga malu dan rendah diri karena tersingkir.
Dalam kondisi morat-marit, entah mengapa, akhirnya aku mulai mencemaskannya. Aku merasa harus mengubah sikap. Seharusnya aku memberi dia perhatian walau tak pernah menemuinya. Apa pun keluhan ibunya tentang dia mulai mengusik nuraniku. Tapi, apa masih berguna baginya juga ibunya? Aku memperhatikan keluhan ibunya ketika dia sakit. Biasa, penyakit anak-anak seperti panas-dingin atau gejala tifus, meski aku tak pernah mau datang menemuinya, hanya melalui telepon belaka. Masih berat langkahku untuk mengunjunginya. Ah, yaa… ya… di mana dia tinggal dengan ibunya. Tak pernah kutahu.
Di tengah kesulitanku dikejar penagih utang bank, aku panik. Tak sesen pun deposito yang tersisa. Rumah tempatku berteduh pun terancam disita. Kebetulan ibunya datang, aku tahu seperti biasa minta uang. Ingin aku mengusirnya. Bagaimana tidak? Melihat kepanikanku, ibunya bertanya, “Ada apa denganmu, Mas?”
“Rumahku terancam disita,” sahutku tanpa menoleh.
“Memangnya berapa lagi sisa utang yang harus dibayar?”
“Masih banyak,” sahutku sekenanya.
(Bisa apa ibunya? Sok bertanya soal utangku. Mengerti apa dia soal utang-piutangku yang jumlahnya ratusan juta? Sementara dia berharap aku memberikan 250 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah, seperti biasa tiap bulan. Apa pernah ibunya memiliki uang jutaan, selain yang kuberikan?)
“Aku tanya berapa lagi yang harus dibayar?” Ibunya mengulangi pertanyaan seolah membuyarkan gejolak batinku.
“Sudah kubayar cicilannya sebagian tiap bulan. Tapi bulan ini aku tak ada pemasukkan. Aku dikejar-kejar penagih utang. Aku panik, tahu! Rasanya aku tak ada uang untukmu. Lain kali saja datang lagi,” malas aku menjelaskannya.
“Aku ada sedikit simpanan, kalau kau tak berkeberatan, aku rela meminjamkan,” sahutnya santai.
Aku tersentak. Terperangah. Bagaimana mungkin?
Tiap bulan ibunya selalu bolak-balik minta uang, dan aku selalu mengeluh terpaksa memenuhi permintaannya. Kini di tengah kesulitan menggilasku, ia mengulurkan bantuan. Di mana harga diriku. Pantaskah aku menerimanya. Atau ini hanya pura-pura? Rupanya tidak! Dia tidak pura-pura. Dikeluarkannya sejumlah uang. Aku terdesak. Tak punya pilihan.
“Aku… eh… anu… bagaimana… yaa… apa benar kau punya uang. Bolehlah, kalau tak keberatan. Kupinjam dulu yaa…. Nanti kubayar,” kelu lidahku menerima ulurannya.
“Pakailah, terserah kapan kau ada uang untuk membayarnya. Aku bukan bank yang harus menentukan tanggal jatuh tempo bayar utang,” ibunya mengulurkan sejumlah uang padaku.
“Sebenarnya aku datang bukan minta uang, hanya memberi tahu aku akan menikahkan anakku. Terserah kau mau datang atau tidak,” katanya lagi.
Aku tercekat. Berapa umurnya sekarang? Sebesar apa dia? Pantaskah aku datang menghadiri pernikahannya.
Siapa wali hakimnya. Seharusnya ayah kandungnya, tapi bagaimana caranya. Pantaskah ayah kandungnya menjadi wali hakimnya? Ke mana saja ayah kandungnya selama ini. Tak terpikirkan olehku bahwa suatu saat anak itu akan menikah dan harus ada walinya.
Melihat raut wajahku penuh tanya, ibunya menukas seolah bisa membaca isi kepalaku, “Yang menjadi wali hakim, suami kakakku yang selama ini diakuinya sebagai ayah. Aku harus menerimanya, juga ayah kandungnya. Tak perlu aku pun dia minta izin pada ayah kandungnya.”
Tanpa menunggu komentarku, ibunya pamit.
Pantas saja ibunya punya uang, mungkin uang antaran dari besan. Betapa bersalahnya aku, mengira kedatangan ibunya hanya untuk minta uang, tapi justru jadi berbalik, akulah yang mendapat pinjaman uang dari ibunya.
Sepeninggal ibunya, aku merenung. Ingin aku datang, tapi apa statusku, sebagai apanya aku ini? Aku lalu putuskan tak datang di perkawinannya, karena aku tak tahu apakah kedatanganku diharapkan atau tidak. Aku merasa tak pantas. Walau jauh di lubuk hati aku berharap kedatang anku sangat ditunggu.
Bertahun-tahun berlalu sudah, ibunya tak pernah lagi menemuiku, aku pun tak tahu kabar rimbanya. Di lain pihak kehidupanku semakin sulit. Aku tidak tahu lagi harus ke mana.
Suatu hari, di bulan Ramadhan, sepucuk surat di tangan kubaca berulang kali. Dari dia! Beruntung aku masih tinggal di rumah yang lama, sehingga surat-surat selalu sampai ke tanganku. Isi surat menyampaikan kabar bahwa ibunya sudah tiada pekan silam. Dia ingin jumpa denganku, tapi tak pernah ada keberanian, karena dia tahu aku tak sudi menemuinya, sekalipun di hari perkawinannya dulu. Tahukah dia, kalau aku pun sebenarnya ingin jumpa dengannya?
Di hari tuaku, di dalam kesendirian, di dalam kesulitan yang membelit hidup, aku coba mengingatnya. Tapi bagaimana mungkin, raut wajahnya saja tak pernah terekam di benakku. Seperti siapa dia. Ibunya atau ayahnya? Entahlah. Mengapa aku tak coba sekalian menemuinya. Mengapa aku terus bertahan sampai saat ini. Harga diri? Malu? Entahlah ….
Rumah besarku sudah kujual sebagian, untuk membayar sisa utang yang terus menguntit usiaku. Walau penyakit mendera, aku masih kuat mengurus diri sendiri, ditemani seekor kucing kurus dan juga seekor anjing kampung bertubuh ringkih yang menjaga rumahku dari satronan maling kampung. Hanya sebuah sepeda tua yang setia menemaniku berputar-putar di sekitar rumah. Tak ada lagi yang kubanggakan. Aku hanya menunggu dipanggil Sang Khalik.
Anak-anakku semua, tak ada yang bisa membantu. Masa kecil mereka yang begitu berlimpah kemewahan, tak menghasilkan apa pun seperti yang kuharapkan. Mereka hidup luntang-lantung, sulit menerima kenyataan. Beruntung pada akhirnya mereka semua sadar dan bekerja walau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Aku pun lelah menyalahkan diri sendiri. Aku hanya berharap sebelum maut menjemput aku ingin ketemu dia. Maukah dia menerimaku. Apanyakah aku ini sebenarnya? Tak berani aku berandai-andai.
Setelah merenung cukup lama, bahkan sampai berhari-hari, aku putuskan untuk menemuinya, apa pun yang terjadi. Aku sudah siap dan pasrah. Aku harus menemuinya. Aku tahu, sejak kecil dia pasti ingin bertemu denganku.
Aku tersentak dari lamunan panjang. Kembali aku terhenyak dan memperbaiki posisi duduk kala mendengar suara kaki yang kurasa bukan hanya dari sepasang kaki, tapi banyak pasang kaki. Kuangkat kepalaku, sepasang suami istri dengan tiga orang putra-putrinya berdiri di hadapanku dengan wajah yang gembira begitu lepas.
“Tak usah berdiri, duduk saja, biar kami yang mendekat,” suara lembut seorang ibu muda mendekatiku dan menuntun tubuhku kembali duduk.
Kutatap wajahnya, suaranya semua persis ibunya.
“Boleh aku memanggil Papa?” Pintanya sambil mengulurkan tangan, ragu.
“Panggillah menurut maumu. Papa, Ayah, Bapak, Papi apa saja yang kau suka.” Suaraku lirih. Aku ragu membalas uluran tangannya.
Tapi dia bukan hanya mengulurkan tangan, dia juga memelukku! “Peluklah…. peluklah aku, Nak… sepuasmu dan biarkan aku juga memelukmu. Boleh aku memanggilmu anakku?” Tubuhku bergetar.
Dia anakku! Ibunya hanyalah salah satu dari sekian perempuan yang pernah singgah di kehidupan liarku di masa lalu. Di masa jayaku. Kini aku menderita… melebihi penderitaan yang dialaminya.
Ya Tuhan, betapa menderitanya dia selama ini. Aku bisa merasakan rasa rindu yang amat dalam dipendamnya selama puluhan tahun. Sedalam lautankah? Setinggi gunungkah? Kurasa lebih dari itu semua. Kubelai rambutnya perlahan, kuelus punggungnya. Kucium pipinya. Air matanya bergulir, apalagi aku. Air mata tuaku tersendat-sendat mengalir.
Kini, kehidupannya secara ekonomi cukup makmur, dibandingkan kondisi ekonomi anak-anakku yang morat-marit. Penghasilan mereka hanya bisa sekadar untuk memenuhi makan sehari-hari dan tinggal di rumah petak yang sering dilanda banjir. Membuat aku iri sekaligus malu. Betapa aku telah menyia-nyiakan dia selama ini.
Saat ini dia berada dalam pelukanku. Pelukan yang harusnya kuberikan di saat pertama kali dia menghirup napas kehidupan. Pantaskah aku mengaku-ngaku kepada dunia bahwa akulah ayah kandungnya. Ayah macam apa aku ini. Laki-laki macam apa aku ini? Teganya aku.
Kejam? Yaaa, luar biasa kejam! Biadab! Boleh jadi.
Ya Tuhan, bagaimana cara ibunya mendidik dia selama ini. Aku tak tahu dan tak pernah mau tahu, terlalu menyakitkan bila aku tahu. Aku terluka. Luka yang kubuat sendiri. Aku tak kuat menerima kenyataan ini. Dia anakku. Darah dagingku yang tak pernah kuakui.
Perempuan baya di foto itu ibunya, hanyalah salah satu dari sekian perempuan yang pernah singgah di kehidupan liarku. Aku sudah menghancurkan harga diri bahkan seluruh hidupnya. Tak sanggup aku minta maaf padanya, rasa bersalahku terlalu besar untuk dimaafkan.
Pantaskah aku menerima maafnya? Tak pernah kupikirkan suatu saat dia akan menjadi sandaran hidup di hari tua.
Sayup terdengar suara azan menggema dari televisi dan mushala yang kurasa tak jauh dari rumah ini. Aku diam saja tak menyentuh dua gelas air putih dan orange juice di meja tamu. Tapi mataku terus menatap kedua gelas itu. Kedua belah tangannya menjulur mengambil gelas berisi air putih dan diserahkannya padaku. Aku pun tergagap menerima gelas itu.
“Alhamdulillah terima kasih Nak,” ujarku. Tanganku dituntunnya agar berdiri dan kami pun menuju ruang makan.
Mataku nyaris terbelalak melihat aneka jenis makanan di atas meja, semuanya adalah makanan kesukaanku.
Ada rendang, ikan dan ayam bakar, sup jagung manis, minuman ringan, buah leci, kiwi, dan apel, cake black forrest. Benar-benar menggugah selera dan membuat liurku nyaris menetes.
“Silakan, Pa,” sapa putriku dengan ramah, disodorkannya sepiring nasi. Disendoknya sepotong ikan bakar dan semangkuk sup jagung manis. Ya Allah, sudah berapa lama aku tidak dilayani istri dan pembantu di meja makan.
Rasa laparku yang sebelumnya begitu menyeruak, sontak hilang dan aku sama sekali tak berselera. Hanya lima suap yang sanggup kukunyah dan kutelan. Kami semua makan dalam keheningan, hanya denting sendok beradu dengan piring yang terdengar.
“Tinggallah bersama kami, cucu Papa sangat mendambakan kehadiran Opanya,” pintanya dan pinta suaminya.
Aku tersedak dan cepat putriku mengambil segelas air putih lalu menyerahkannya padaku sambil menepuk-nepuk pungggungku perlahan. Aku memejamkan mata menikmati tepukan tangannya di punggungku.
“Opa… opa… tinggal di sini saja… nanti kita main bola yaaa…,” riuh ketiga cucuku memanggil. Begitu merdu terdengar di telingaku.
“Tidak, aku tidak bisa tinggal di sini bersama kalian,” jawabku gemetar menahan perasaan yang sulit kuungkapkan. Dadaku sesak sekali.
“Maksud Papa…?” tanya dia.
“Aku berkeberatan, tak perlu kujelaskan. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. Aku masih mampu. Terima kasih atas kemurahan hati kalian,” kupandang wajahnya yang penuh tanya juga kecewa sekaligus berharap.
Tak lama kemudian aku pamit, diiringi tatapan dan raut wajah antara harapan dan kekecewaan dia sekeluarga.
Aku pun menolak diantar oleh suaminya. Kutegarkan hatiku di hadapan mereka semua, anakku, menantuku, dan cucu-cucuku. Kumantapkan langkah beranjak ke luar pagar. Kutahan hatiku untuk tidak menoleh ke belakang.
Aku rasakan mereka sekeluarga berdiri di depan pintu menatap kepergianku.
Jauh di relung hati, ingin sekali aku menghabiskan masa tua dengannya dan juga dengan cucu-cucuku. Tapi, aku tak sanggup tinggal bersamanya. Dia dan ibunya adalah dosa masa lalu, dosa yang tak pernah kuakui.
Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan dosa masa lalu. Aku tak sanggup.
“Maafkan aku anakku. Suatu saat kau pasti mengerti akan penolakanku,” rintih batinku.
Tertatih-tatih langkah tuaku gemetar menempuh jalan pulang. Aku tidak tahu, sanggupkah langkah kaki tuaku yang gemetaran ini membawaku pulang sampai ke rumahku. Di sebuah mushala tak jauh dari rumah putriku, aku masuk dan menyapa jamaah yang sedang berbuka puasa. Aku pun dipersilakan berbuka puasa. Tapi aku tak lapar. Aku hanya ingin shalat Maghrib.
Aku berwudhu dan menunaikan ibadah shalat Maghrib bersama jamaah. Di antara sujud aku menangis tersedu-sedu. Aku tak sangup mengangkat kepalaku yang terasa begitu berat seolah dibebani ribuan ton batu. Tak sanggup aku bangkit untuk duduk. Aku biarkan kepalaku menyatu dengan sajadah. Kusebut nama Allah dengan lirih, kusebut nama putriku juga nama ibunya. Lidahku terasa kelu.
Usai shalat Maghrib jamaah di mushala pun heboh.
Sesosok tubuh jamaah seorang laki-laki yang diperkirakan berusia 70 tahun tak juga bangkit dari sujudnya.
Laki-laki itu menghembuskan nafasnya dengan posisi sedang bersujud. (*)
.
.
Muksalmina sabang
Alur ceritanya benar2 luar biasa.endingnya juga sangat menyentuh ‘kematian husnul khatimah’.karya2 mbak fitriyanti selanjutnya siap saya nantikan.