Mahwi Air Tawar

Anak Pesisir

5
(1)

Cerpen Mahwi Air Tawar (Suara Merdeka, 4 September 2011)

PERAHU-perahu terkapar, membujur seurut laut; bendera merah putih lusuh terpancang miring dekat anjungan. Terkadang tiang bendera itu bergerak ke kanan ke kiri mendesirkan bau anyir ikan kering, apek, ngengat. Dengung lalat mengerubungi bagian geladak penuh bercak, jala kumal, temali jangkar, patahan ranting bergelantungan pada bentangan bambu penggulung layar.

Sebuah gubuk tanpa sekat menghadap ke laut, beralas pasir putih, beratap anyaman daun lontar. Di gubuk itulah, setiap hari orang-orang kampung nelayan tak pernah bosan duduk-duduk, entah untuk kepentingan apa saja, lebih-lebih bagi nelayan sebelum berangkat maupun sepulang dari melaut. Biasanya, nelayan yang baru saja datang dan hendak masuk, berkumpul dengan para nelayan lainnya, akan mengeringkan tubuhnya, berguling-guling di atas pasir, kemudian setelah cukup kering barulah ia turut serta dalam percakapan.

Ya, biasanya, mereka yang baru tiba dari melaut akan bercerita tentang cuaca di tengah laut, ombak, angin, jaring dan hasil tangkapan ikan yang tak menguntungkan. Jauh dari harapan. “Ah, coma lima ekor. Bayar solar tak kelar.” Keluhan yang tak pernah jemu mereka lontarkan dan acap berujung dengan harapan. “Semoga besok pendapatan dapat melunasi utang tempo hari,” harapnya sembari meletakkan bungkusan tembakau yang di dalamnya dilapisi kulit jagung kering.

Bagi mereka, gubuk itu tidak hanya menjadi tempat paling nyaman melepas penat, menikmati silir angin pantai meski amis ikan kering, bau gundukan berak di sepanjang tepi pantai, sampah atau mengubur separuh tubuhnya pada pasir, tetapi gubuk itu juga menjadi tempat pertemuan para nelayan; berurun rembuk perihal acara-acara rokat tasek, tatenggun, ludruk.

Di luar gubuk, sebelah tiang penyangga kiri dan kanan, istri para nelayan tak mau ketinggalan, bergunjing. Ada yang duduk bersimpuh, rebahan, posisi tubuh sedikit miring. Ada pula yang duduk memanjang ke belakang, menisik rambut, mencari kutu.

Tak jauh dari tempat mereka berkumpul, persisnya di tepi pantai, ada laki-laki dan perempuan duduk berjongkok berjejer menghadap laut sedang berak sambil bercakap-cakap dengan seseorang di sampingnya yang juga berak, sementara yang laki-laki menelungkupkan telapak tangan kirinya pada penisnya sedang yang perempuan cukup melilitkan ujung sarungnya hingga menyentuh tanah. Anak-anak seusia belasan tahun asyik bermain. Ada yang saling berkejaran sambil sesekali menceburkan tubuhnya ke hulu. Salah seorang di antara anak-anak itu adalah Julantip, berikut ceritanya:

Julantip, sebagaimana juga anak-anak seusianya, menjelang siang selalu berada di hulu, mencari tiram. Terkadang, dengan riang menyelam hingga tubuhnya tak tertangkap pandang, bila buih membuncah ia dengan sigap segera menyelam, berenang, sepasang kakinya berkelepak hingga menimbulkan kecipak menanggalkan gelembung-gelembung kecil di permukaan ombak, beberapa saat berselang ia melompat dengan mata terpejam, dikibaskannya kepalanya ke kanan-ke kiri sembari mengacungkan kepalan tangan, memperlihatkan tiram yang didapat lalu melemparnya ke atas sampan.

Baca juga  Sehelai Kain Kafan

“Yang dapat paling banyak boleh ikut aku.” Julantip menantang teman-temannya.

“Dua puluh?” teriak Mahbi dari atas sampan setelah menghitung tiram. “Ya, hanya dua puluh,” imbuhnya setelah berdekatan dengan Julantip. “Enam tiram lagi. Kamu dua, Sukri dua, aku dua. Masing-masing akan kubeli.”

***

JULANTIP menyelinap dan bersembunyi di balik gundukan pasir, menghindari teman-temannya yang masih asyik bermain. Tidak, tidak, mereka bukannya tidak tahu apa yang akan dilakukannya di balik gundukan pasir dan membawa sekarung kecil tiram. Ya, mereka tahu, pastilah ia akan membuat ulah sebagaimana sering dilakukan pada hari-hari sebelumnya atau kalau tidak, menunggu Munati, gadis kecil yang sering ikut serta ibunya, Markoya, menyunggi tapih dari anyaman kulit bambu, menjajakan nasinya secara berkeliling.

Lihatlah, dari kejauhan Munati menjinjing keranjang berjalan beriring di belakang ibunya. Caranya berjalan sepadan penari tandak, berlenggang. Terkadang, langkah kedua perempuan itu lebih cepat, ujung jemarinya menjinjing ujung sarung lorek hingga di atas lutut. Bau asin tubuh dua perempuan itu bercampur semerbak siwalan, menyeruak, tingkah genitnya membuat mata orang-orang kampung bersegera melayangkan pandang, lebih-lebih saat keduanya istirahat dan menceburkan diri di hulu dengan tubuh hanya terbalut kain sarung.

Oh. Lihatlah, lihat wajah sumringah itu, rambut bergerai, lekuk-lekuk tubuh. Ikh, bau asin garam bercampur lelehan keringat setelah menempuh perjalanan jauh sebagai penjual nasi keliling tetap saja tak membuat orang-orang yang duduk membujur seurut laut memalingkan pandang. Demikian juga dengan Markoya yang membiarkan tubuhnya ditatap lekat para lelaki. Sebaliknya, sambil berendam ia menembang.

***

DI balik gundukan pasir, Julantip menyembulkan kepala, mengintip. Munati melirik. Dua mata beradu pandang. Ketika gadis kecil itu berpaling, melangkah, buru-buru ia melempar tiram, dan tiram tersebut menggelinding setelah tersentuh lengan gadis anak penjual nasi keliling. Sontak Munati menoleh sebelum akhirnya kembali melangkah, angin menyingkap roknya hingga di atas lutut. Tetapi kemerisik langkah dan sebentuk bayang rentangan tangan seperti hendak menghalang, menghentikannya berjalan.

“Untukmu,” kata Julantip memberikan sekarung tiram.

“Simpan dan jaga, di sini, di balik gundukan pasir itu,” bisik Munati sambil melekatkan bibirnya. “Puah! Kulitmu asin,” meludah, “Tunggu aku. Selepas mengantar ibu aku segera kembali.”

Julantip mengangguk senang. “Aku akan mengajarimu berenang,” bisik Julantip.

Munati mengangguk, melangkah pelan. Berdendang riang. Keranjang dari anyaman bambu di tangannya terayun ke kanan-ke kiri, lalu menungging, sepasang kakinya direntangkan sambil menyelundupkan kepala lewat selangkangannya, gerai rambutnya terjuntai pada rok yang tersingkap.

“Ti… Munati….”

Lekas Munati menyusul ibunya yang berdiri tak jauh di depan orang-orang kampung nelayan. “Ikh!” Markoya mendeham, geram.

Baca juga  Bulu Perkutut Majapahit

Kepada laki-laki yang duduk di luar gubuk, Markoya menawarkan barang dalam bungkusan kresek kecil. Tidak, tidak, bukan bumbu cabe atau kunyit yang ia tawarkan melainkan remah-remah kayu, buliran bedak, obat kuat, dan laki-laki yang ia tawari itu mengangguk.

“Murah,” kata Markoya, dadanya dibusungkan.

“Bisa dicoba?” tanya laki-laki itu berkelakar. Markoya mengulum senyum. Laki-laki itu menyelipkan uang ke balik kutang Markoya. “Nanti siang di gundukan pasir itu,” imbuhnya.

***

MARKOYA mengambil jalan setapak menuju kampung nelayan. Begitu selalu, sebelum ia menjual nasinya di gubuk tepi pantai, terlebih dahulu ia berkeliling dari rumah-ke rumah kampung nelayan. Menawarkan nasi.

Rumah-rumah orang kampung nelayan rata-rata menghadap ke utara, berhalaman pasir putih dengan halaman tanpa pagar pembatas antara halaman rumah satu dengan rumah lainnya, sesanak-kerabat bersatu dalam satu rumah. Pada halaman yang panjang beralas pasir, sebelah barat ujung rumah, sebuah langgar dari anyaman bambu menghadap ke timur, samping langgar ada satu dapur menghadap ke selatan bersebelahan dengan sumur. Persis dekat undakan serentang kain dalam bingkai kayu sedang dijemur.

Ke rumah itulah kini Markoya menuju, meniti harap menyunggi tapih, menawarkan nasi, nasi yang masih utuh. Pasir-pasir beserpihan saat telapak kakinya menapak dan tumit terangkat dalam langkah. Ia akan berhenti di teras rumah atau di tengah halaman beralas pasir sambil berteriak menawarkan nasinya. Bila di rumah hanya ada seorang laki-laki, tanpa merasa segan ia akan berkata, “Sepi, Kak. Belum makan, kan? Nasi masih hangat,” membujuk dengan tingkah menggoda, “dijamin hangat.” Durakkap kala itu lagi sendiri. Tidak ada Julantip, anaknya, juga Sitti, istrinya.

“Mau kalau penjualnya,” goda Durakkap.

“Nasinya lebih enak daripada penjualnya, Kak.” Markoya berlenggang. Melirik ke beranda rumah Durakkap yang berdebu.

“Mumpung sepi.”

Markoya berpaling, langkahnya pelan, diangkatnya ujung sarung hingga betisnya terlihat jelas. “Nantilah, Kak. Beli nasi saya dulu,” ujar Markoya.

Lekas Durakkap bergegas, tetapi Markoya segera bersiasat memanggil seorang perempuan, dan seketika itu pula tawanya pecah sehingga membuat seseorang yang kebetulan lewat dalam heran berucap aneh: Senok!

***

SEUSAI berkeliling menjajakan nasinya di rumah-rumah kampung nelayan, Markoya segera pergi ke pantai menggelar jualannya di antara kerumunan para nelayan yang duduk bertekuk lutut berselempang sarung. Tak jauh dari tempatnya berjualan, persis di tepi pantai, laki-laki dan perempuan dalam posisi berjongkok berjejer sedang berak.

Belasan perahu yang tertambat di tepian berayun-ayun pelan seperti bayi-bayi dalam buaian. Ombak tak putus-putus membentur buritan dan menimbulkan suara dentaman yang terus-menerus terdengar. Angin, yang menderu kencang ke arah laut, mematahkan juga ranting-ranting cemara udang yang kemudian berguguran ke atap sebuah gubuk tempat beristirahat para nelayan. Hamparan pasir berhamburan. Melesat ke udara tanah pesisir yang gersang; rinjing tempat ikan pindang, alas tempat menjemur ikan dari rajutan janur kering berterbangan, anyir ikan yang sengaja dikeringkan menyeruak, dan sampah yang berserak melesak, tersangkut tiang bambu perahu yang terkapar di antara rindang pohon cemara udang.

Baca juga  Toya

Markoya tampak sibuk melayani pembeli. Ada yang dimakan langsung, ada juga minta dibungkus. Begitu selalu, bila ikan lagi musim, jualannya akan habis di tempat seketika, lalu ia akan berlenggang pulang dengan seringai senyum sebelum hari beranjak petang.

Ya, kini ia berlenggang senang menuju pulang. Ingin ia segera tiba di rumahnya. Ihk, dehamnya sambil menebarkan pandang, menoleh ke belakang. “Ti… Munati…,” teriaknya. Ya, sudah sejak di gubuk ia tak melihat anak gadisnya. Lelehan keringat tampak mengalir di sela jidatnya yang berkerut.

Dari kejauhan seorang lelaki berjalan lekas. Markoya menurunkan tapih-nya, baju dibuka, dan kini, di tubuhnya hanya tinggal sarung yang diikat persis di atas dadanya, lalu dengan agak kesal ia pergi ke tepi pantai.

Maklumlah, matahari yang kelewat terik memaksanya berendam meski sejenak, dan ini biasa ia lakukan baik sebelum mengelilingi kampung nelayan maupun ketika akan pulang.

Beberapa langkah setelah ia meletakkan pakaiannya di atas tapih, dari balik gundukan pasir terdengar suara rengek perempuan, senyum pun terkulum, ia ingat tadi dengan janji lelaki yang membeli jamunya. Markoya menghela napas, sejentik harap menguak; tempat yang dijanjikan laki-laki tadi sudah ditempati orang lain. “Ia pasti malu. Tak mungkin melakukan. Mungkin besok, saya tidak jualan,” gumamnya sambil melipat baju, kutang.

Suara laki-laki dan perempuan dari balik gundukan pasir itu semakin keras: tawa, lenguhan kesakitan. Sejenak Markoya melangkah lebih dekat. Suara itu tidak asing, bisiknya. Ia semakin mendekat, dan suara itu juga semakin jelas, dan ketika sepasang matanya menangkap dua tubuh sedang bertindihan ia tak percaya.

“Munati? Julantip?” sontak ia memanggil, geram.

Sementara dari balik pohon cemara udang seorang lelaki bersiul, memandang Markoya, penuh hasrat. (*)

 .

.

Paseser, 2010

Mahwi Air Tawar, lahir di Pesisir Sumenep, Madura. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di pelbagai surat kabar. Cerpen dan puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya Mata Blater (2010). Kini, di samping sebagai editor lepas, ia mengelola komunitas sastra poetika dan rumahlebah.

 .

Kirimkan cerpen, puisi, esai sastra, biodata, dan foto close up Anda ke [email protected].

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!