Cerpen Gus tf Sakai (Koran Tempo, 4 September 2011)
ENTAH kapan. Ia tak sengaja memandang jendela kaca yang menghubungkan terasnya dengan teras sebelah, dan melihat mawar itu. Hanya setangkai, pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Tanpa cabang, tanpa ranting, tegak lurus bagai mencuat dari pot kecil ramping. Kemudian ia lupa.
Entah kapan. Ia kembali melihat mawar itu, juga tak sengaja, dan heran ketika sadar kakinya telah begitu saja melangkah mendekat ke jendela kaca. Ia berpikir, mencari alasan. Kesendirian, gumamnya. Mawar itu jadi menonjol karena hanya sekuntum, membuat keindahan tampak kentara. Lalu ia kembali lupa.
Entah kapan. Ia ingat mawar itu tiba-tiba, membuka pintu, melangkah ke teras, melayangkan pandang ke sana. Dan di sana, di balik jendela kaca, dalam pot kecil ramping di atas meja, mawar itu masih pekat merah, masih rekah, masih mendongak bagai tengadah. Hanya saja, saat itu, ada seraut wajah, sesosok lelaki yang tak lagi bisa dikatakan muda, setengah menunduk bagai menjenguk ke rekah bunga.
Tidak. Bukan menjenguk. Tepatnya, bukan hanya menjenguk. Lelaki itu bagai habis mencium, menghirup sesuatu dari kelopaknya. Dan tiba-tiba, ia merasa risi, merasa jengah, seolah menyaksikan sesuatu yang tak boleh dilihatnya. Tetapi, kenapa? Bukankah wajar, bukankah biasa, seseorang mencium, menghirup mereguk wangi bunga?
Sejak itu, entah kenapa, ia gelisah.
Sejak itu, ia betul-betul ingin lupa.
.
IA ingin lupa, tetapi yang kemudian terjadi justru sebaliknya. Semakin keras ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mawar itu melekap di kepalanya. Aneh, kenapa bisa? Bukankah itu cuma mawar? Dan bukankah pernah juga ia melihat mawar entah di mana?
Bahwa mawar itu hanya sekuntum, dan karenanya keindahan jadi kentara, ia bisa mafhum. Tetapi, ini, sampai membuatnya gelisah dan tak lupa-lupa? Sungguh ia tak mengerti. Tak habis pikir. Eh, sekuntum. Kenapa mawar itu hanya sekuntum, selalu saja hanya sekuntum, sejak pertama ia lihat? Mustahil, mustahil mawar itu tak gugur-gugur atau tak bertambah.
Kecurigaan bahwa mawar itu palsu, atau mungkin cuma bunga plastik, memaksa ia suatu pagi kembali mendekat ke jendela kaca. Ia tahan hatinya yang gelisah. Ia tahan dadanya yang gemuruh. Dan di sana, di atas meja kaca, seperti hari-hari lalu, mawar itu masih pekat merah, masih rekah, masih mendongak bagai tengadah. Dan di bawah, tak jauh dari kaki pot kecil ramping, tiga kelopak tergeletak bagai terhampar.
Itu… kelopak mawar. Guguran kelopak mawar.
Mawar itu asli, tak ia ragukan lagi.
.
IA tak ragu lagi, dan gelisahnya tak terbendung lagi. Sungguh, betapa ia tak mengerti. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Dirinya hilang arah pikirannya tak tentu. Tugas-tugasnya jadi terlantar pekerjaannya terganggu. Mawar. Mawar… pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Hanya sekuntum, sendiri, kelopaknya gugur tumbuh lagi tumbuh lagi… tak mati-mati. Apakah memang ada mawar seperti itu?
“Tidak,” jawab setiap penjual mawar di setiap toko mawar saat ia tak lagi tahan lalu mencari tahu tentang mawar itu. “Hanya sekuntum dan tak mati-mati? Mustahil!” jawab setiap kenalan di setiap pertemuan saat ia tak lagi tahan mengatasi hasrat, melawan gelora, perasaan ingin punya. Eh, perasaan ingin punya? Ia terkejut menyadari itu, tetapi juga tak ingin membantahnya.
Ah, kenapa lelaki itu bisa memiliki mawar seperti itu?
.
MEMANG, entah kapan, ada terlintas keinginan dalam kepalanya untuk menanyakan langsung kepada si lelaki. Tetapi, entah kenapa, ia tak berani. Sebenarnya ia heran kenapa tak berani. Tetapi, entah kenapa, ingatan saat lelaki itu menunduk, mencium, mereguk wangi dari sang mawar, membuncah seperti menghalangi. Ah, kenapa mesti menghalangi? Ia buang perasaan aneh itu, perasaan tak wajar itu, dengan lebih meyakini alasan ini: tak biasa mereka bertegur-sapa, menanyakan hal tak penting ini-itu, kepada tetangga.
Memang, seperti juga penghuni lain, ia hanya mengangguk, tersenyum tipis saat berpapasan. Kecuali kepada dua orang satpam yang tugas bergiliran di lantai dasar, tak seorang pun menyapa nama di apartemen ini. Itu pun, tentu saja, karena nama tertera di seragam si satpam. Selebihnya hanya “Eh,” atau “Maaf,” atau gumam sesal semacamnya bila tak sengaja bersentuhan di sesak lift atau bila kadang, karena terburu, nyaris bertubrukan di kelok koridor.
Memang, hanya di koridor atau di lift, atau di lantai dasar, mereka bisa bertemu. Teras mereka, seperti hal terasnya dengan si tetangga, dibatasi oleh tembok dengan jendela kaca sebagai ‘penghubung’-nya. Maka begitulah mereka jadi saling tak kenal dengan penghuni sebelah. Maka begitu pulalah ia merasa tak pantas menanyakan langsung kepada si lelaki, mengetuk pintu si lelaki hanya untuk menanyakan hal tak penting semacam mawar. Hal tak penting?
Hal tak penting… yang membuat hari-harinya tak lagi seperti biasa.
Hal tak penting yang, kemudian, membuatnya setiap hari ia lakukan browsing hanya untuk satu kata: mawar.
.
TETAPI, walau sudah setiap hari ia lakukan browsing, hasilnya sama saja. Sama sekali tak, tak ada mawar seperti itu.Yang ia cuma ketemu, dan membuatnya makin tahu, bahwa mawar telah ada sejak tiga puluh lima juta tahun lalu, memiliki silsilah keluarga paling rumit dibanding spesies bunga apa pun, dan bahwa, sampai kini, varietasnya telah mencapai lebih tiga puluh ribu.
Tentu pula ia juga bertemu dengan semacam asal-usul dan mitologi. Bahwa mawar diciptakan Chloris si dewi bunga, lalu Aphrodite, si dewi cinta, memberinya nama. Bahwa Dionysus si dewa anggur memberinya nektar; lalu Zephyr, si dewa angin barat, meniup awan sehingga Apollo si dewa matahari bisa menyinarinya. Maka mekarlah ia, mawar. Mawar yang dalam legenda Hindu kuno berwujud Laksmi, istri yang dipersembahkan Brahma bagi Wisnu. Mmm, bagaimana Laksmi bisa menjelma dari seratus delapan kelopak mawar besar dan seribu delapan kelopak mawar kecil?
Hanya hal-hal seperti itu yang ia temukan. Hal-hal yang sebenarnya juga membuatnya merasa takjub, tercengang, terkagum-kagum, tetapi yang ia butuhkan saat ini adalah ketakjuban yang nyata, sesuatu yang benar-benar ada. Mawar yang… ya, pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Hanya sekuntum, sendiri, kelopaknya gugur tumbuh lagi tumbuh lagi, tak mati-mati. Mawar yang… ya, dimiliki oleh lelaki itu. Ah betapa, betapa ia tak lagi bisa mengingkari bahwa ia memang ingin memiliki.
.
INGIN memiliki tetapi tak bisa, apa yang kemudian muncul adalah mimpi. Mulanya ia tak percaya bahwa itu mimpi. Semuanya sangat nyata, seolah benar-benar ada, bahkan saat ia sudah terjaga. Mawar itu datang kepadanya, berupa kelopak demi kelopak. Kelopak-kelopak itu mengambang, bagai berkumpul dua-tiga jengkal di depan wajahnya, sejenak, lalu melayang ke pintu, terus ke teras dan… astaga, satu demi satu, kelopak demi kelopak, menyusun diri jadi sekuntum mawar di ujung tangkai yang bagai telah lama ada, di sana, dalam pot kecil ramping di atas meja. Pot kecil ramping yang sudah sangat dikenalnya. Meja kaca yang juga sudah sangat dikenalnya.
Ajaib. Tetapi, dalam mimpi itu, semua seperti biasa. Keajaiban itu seolah wajar belaka. Dan semua kewajaran itu menjelma dalam wujud yang benar-benar nyata. Sampai saat ia terjaga. Sampai saat ia berdiri dan melangkah. Sampai saat ia berada di teras dan… mawar itu masih di sana: di balik jendela kaca, dalam pot kecil ramping di atas meja, di teras tetangga.
Ia telah bermimpi?
Ahh… ia telah bermimpi.
.
IA telah bermimpi, dan mimpi itu datang berulang. Mimpi yang selalu sama: kelopak-kelopak mengambang, sejenak berkumpul di depannya lalu melayang, menyusun diri menjelma mawar. Bagaimanapun, ia senang. Karena mimpi itu sangat nyata. Karena menjelma mawar yang sama: pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Sampai suatu kali, tiba-tiba, mimpi itu berubah.
Kelopak-kelopak itu tetap datang, tetap mengambang dua-tiga jengkal di depan wajahnya. Tetapi kelopak-kelopak itu tak lagi melayang menyusun diri menjelma mawar, melainkan membesar, melebar, terus melebar, dan kemudian jatuh menyungkupnya.Tidak. Bukan jatuh. Kelopak-kelopak yang terus melebar (sampai seluas kamar?) itu memang sengaja menyungkup, sengaja menyergap. Satu kelopak, dua kelopak, tiga… napasnya sesak.
Empat kelopak, lima kelopak, enam… situasinya kini berbeda. Ia kini tahu ia bermimpi, tetapi ia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Tujuh kelopak, delapan kelopak… ia tak bisa bernapas lagi. Paru-parunya serasa pecah.Tubuhnya serasa meledak. Dan seiring dengan hunjaman nyeri dan rasa sakit luar biasa, ia akhirnya lalu terlepas, dengan peluh yang merembes hebat dari pori-porinya.
Begitulah semua berawal. Dan begitulah hidupnya lalu berubah.
.
MULANYA, tentu, seperti mimpi lalu, ia menyangka mimpi itu akan berakhir dan berganti dengan mimpi lain. Tetapi ternyata tidak, ia keliru. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Suatu pagi, saat ia meyakinkan diri bahwa segalanya pasti berlalu, apartemennya diketuk, dan ia terkejut mendapati sosok yang berdiri di balik pintu.
Lelaki itu. Si pemilik mawar itu.
Ia masih terpana ketika lelaki itu berkata, “Anda telah mengambil mawar saya.”
Mengambil? Ia masih mencerna ketika lelaki itu melanjutkan, “Anda tahu? Lama sekali saya menunggu.”
Lama? Menunggu? Ia masih tak mengerti, dan tambah tak mengerti ekspresi wajah si lelaki. Bibir itu. Tersenyum. Seperti lega.
“Sa-saya… tak mengambil,” ucapnya terbata.
“Saya tahu Anda bakal menyangkal. Tetapi lihatlah teras Anda.”
Teras? Tanpa sadar ia membalikkan tubuh dan melangkah.
“Tunggu.”
Ia terhenti. Berbalik. Kembali menatap lelaki itu.
“Terima kasih. Saya sungguh berterima kasih.”
Terima kasih? Ia makin tak mengerti, tambah tak mengerti saat lelaki itu menjulurkan tangan menyalami. Ia masih tegak di pintu, masih bingung akan apa yang sebenarnya terjadi. Saat punggung lelaki itu lenyap ditelan pintunya sendiri, saat lorong koridor kembali menjelma sepi, barulah ia tersadar dan buru-buru menutup pintu, berbalik, dan bergegas melangkah ke teras.
Dan, begitulah semua berawal. Dan begitulah hidupnya berubah. Di teras itu, di lantai terasnya, kelopak-kelopak mawar tergeletak bagai terhampar, berbaris, dari mulut pintu sampai ke jendela kaca.
Ia menggigil, gemetar, ingat tiba-tiba mimpi celaka.
Ia tiba-tiba tahu, dan sadar, kenapa si lelaki tersenyum lega. (*)
.
.
Payakumbuh, 1 September 2011
Gus tf Sakai lahir 13 Agustus 1965 di Payakumbuh, Sumatera Barat, menetap di kota kelahirannya. Kumpulan cerita pendeknya yang terakhir adalah Perantau (Gramedia Pustaka Utama, 2007).
.
fatih
manis sekali, kadang kita perlu melupakan sesuatu untuk mencapai sesuatu itu sendiri. Manis!