Cerpen Muliadi Gf (Jawa Pos, 4 September 2011)
AKU akan bercerita tentang sebuah rumah sakit di kota Hudiman A.
Rumah sakit itu berdiri di daerah dataran tinggi. Kita masuk di gerbang rendah sejajar pos satpam yang dijaga anak kecil berpakaian biru-biru. Jika kau termasuk pasien baru yang butuh pertolongan segera, maka kau dituntun ke kanan menuju UGD, yang dijaga anak kecil berpakaian merah-merah. Jika menurut mereka kau membutuhkan infus, mereka segera menusuk-nusuk punggung tanganmu hingga 10 kali, berulang-ulang, mencoba-coba, mencari pembuluhmu. “Tidak apa-apa,” kata mereka tertawa-tawa, kau bisa melihat gigi taring di laring mereka.
Tak peduli keluhanmu. “Anda harus diopname,” kata dokter jaga, gadis kecil umur 10 tahun. Kau mendengar mereka, anak-anak kecil perawat itu, berbisik, “Kita butuh uang tuk bayar utang pada agen obat menyebalkan itu, kita harus banyak pasien. Uss… uss….”
Setelah mengurus administrasi, kau dibawa menembus lorong-lorong kotor dimana sampah-sampah pembungkus snack dan teh gelas berserakan. Di satu pintu rendah, brankarmu didorong oleh seorang perawat—anak laki-laki umur 11 tahun—berlari cepat menembus koridor-koridor terbuka rumah sakit. Jika kebetulan berpapasan dengan perawat lain yang mendorong kursi roda atau brankar yang sama, mereka berteriak ala seruan perang suku Indian, kemudian berlomba paling cepat sampai, sesekali mereka berakrobat di udara.
Kau melihat orang-orang bergerombol di teras paviliun rumah sakit, merokok, main ceki, menyewakan playstation, ada pula warnet, kadang mereka bawa papan nama, “RT sekian”, “penduduk kampung anu”, “penumpang trayek ini numpang nginap sementara waktu”, atau “tak punya rumah, baru turun dari kapal”, seperti itu.
Brankarmu akan didorong masuk ke sebuah paviliun, kebetulan kau masuk paviliun bunga Bangkai—nama-nama paviliun di rumah sakit itu dari nama-nama bunga. Kau disambut kucing-kucing menggerombol di pintu paviliun. Masuk lebih dalam, kau tahu koridor di dalam paviliun itu hampir seluruhnya dipenuhi kucing. Sesak, ramai, mereka mengeong tanpa urutan. “Kami penyayang kucing,” kata perawat di belakangmu. Brankar maju, kucing-kucing menepi, matanya berkilat-kilat seperti membayangkan makanan.
Perawat jaga UGD menyerahkan rujukan di loket perawat lalu segera meninggalkanmu, bersama kucing-kucing yang terus mengeong. “Tunggu sebentar, ruangannya sedang dibersihkan,” kata anak perempuan di loket perawat. Setelah beberapa lama, mereka mendorongmu ke satu kamar. Kamar VIP II. Kau membayangkan kulkas, TV, dan AC di dalam sana. Namun saat masuk, kau dapati bayangan kepalamu keliru. Selain AC, tak ada TV dan kulkas di sana.
Sebelumnya, perawat menggedor-gedor pintu dari luar. Pintu terkunci dari dalam, sementara gagang pintu luar hilang. Butuh agak lama hingga pintu terbuka. Bunyi berderak. Kau merasa seolah sebentar lagi memasuki sebuah gudang yang terkunci rapat selama bertahun-tahun.
Kau pun masuk. Ruangan 3 x 7 meter, menganga di depanmu. Di dalam sana, betul ada AC, ada pula WC, dua kursi, satu meja, satu lemari makan merangkap jemuran, dan wastafel buntu penuh stiker porno tahun 90-an, serta ranjang. Di dekat ranjang, ada tabung gas 3 kg untuk membantu pernapasan. Saat kau dipindahkan ke ranjang itu, seketika ranjang bergetar dan ribuan nyamuk beterbangan dari kolong. Serentak, para perawat itu melompat-lompat, tertawa-tawa, berlomba-lomba menepuk nyamuk. “Nyamuk, nyamuk!” sorak mereka. Ribuan nyamuk berkumpul di satu sudut kemudian menghilang ke satu arah. Perawat itu berlarian keluar, meninggalkanmu sendiri di kamar.
Tak ada bel di kamar itu, jika butuh sesuatu, kau harus mendatangi mereka di loket. Begitulah saat cairan infusmu habis. Kau bangkit, lalu berjalan kepayahan menuju loket. “Cairanku habis,” katamu. “Tunggu sebentar, kami sedang bicara,” kata anak berwajah muram di belakang meja. Maka dengan sabar, harus sabar, wajib sabar, kau mendengar mereka memperbincangkan artis yang baru menikah, mereka yang cerai muda, dan arisan Bu Zubaedah. Di sela-sela gosip, mereka tertawa dan menyimak televisi.
Setelah selesai, anak perempuan itu menulis resep untukmu. Asering, Ecosol, tertulis di sana. “Silahkan beli di apotek,” katanya tersenyum. Kau melangkah keluar, membelah barisan kucing, menenteng botol infusmu.
Seekor kelelawar berkelap-kelip menjajarimu di koridor. Seorang ibu muda memasak dengan kompor di teras paviliun, di samping tumpukan dua karung beras. Seseorang lagi mengulek sesuatu di cobek, tercium sambal terasi di udara.
Di apotek, hanya ada seorang apoteker, anak lelaki usia 14 tahun tapi kumisan. Orang-orang berjejal di depan loket hendak menebus resep. Apoteker itu menerima resep, bangkit mengambil obat dengan nampan, membungkus, menghitung harga, lalu meloloskan bungkusan obat di loket setelah dibayar. Dan kau di sana, menunggu, menunggu sangat lama hingga tertidur. Saat giliranmu, kau keluarkan asuransi kesehatan atas namamu, namun tiada di antara obatmu ditanggung asuransi. Kau pun membayar.
Kembali ke loket, mereka sedang makan malam, kau diminta menunggu di kamar. Saat tengah malam bangun, infusmu belum juga diganti, kau pun keluar menuju loket.
Loket sepi, di depan ada meja sebagai palang. Kau memanggil-manggil, “Suster! Suster!” Terdengar gerutu dari ruangan belakang loket. Lampu dipadamkan. Mereka sedang tidur.
Anak bermata kuyu membuka pintu, sambil menggerutu mengganti botol infusmu dengan yang baru, kemudian kau kembali ke kamarmu. Dari belakang, terdengar pintu ditutup dengan keras.
Kau tak dapat tidur lagi.
***
Menjelang pagi, kau baru tidur. Lupa membuka pintu, anak usia SMP yang bekerja sebagai tukang sapu tidak masuk mengepel kamarmu. Kau baru bangun saat mendengar pintumu digedor-gedor. Berturut-turut tiga orang masuk: pembawa makanan pagi, perawat, dan tukang sapu itu. Semuanya anak-anak. Pertama, pembawa sarapan pagi, “Kenapa pintunya tidak dibuka?!” bentaknya. Kedua, perawat, “Kenapa pintunya tidak dibuka?!” bentaknya. Ketiga, tukang sapu, “Kenapa pintunya tidak dibuka?!” bentaknya.
Pembawa makanan meletakkan nampan besar berisi makanan, perawat meletakkan obat, dan tukang sapu mengepel lantaimu dengan kasar, sambil bersungut-sungut.
Apa tahuku? Aku tidak tinggal di sini, aku baru masuk tadi malam, mana kutahu lantai dipel sepagi ini, batinmu. Tapi kau tidak mengatakannya, perutmu sakit, badanmu masih lemah, di samping itu, kau tidak mau buat masalah dengan anak-anak itu.
Di rumah sakit itu, makanan ditentukan dari jenis kamar, bukan jenis penyakit. Karena kamarmu VIP II, kau dapat jatah makanan nampan besar isi makanan lezat, manis-manis, dan berlemak, dalam porsi besar. Sementara pasien di bangsal kelas I sampai III, dapat jenis yang sama hanya saja dalam wadah plastik kecil dalam porsi kecil pula. “Yang bertentangan penyakit Anda, beri saja penjaga Anda,” dalih pembawa makanan, sementara seperti ia lihat sendiri, di kamar itu kau hanya sendiri.
Belum selesai, perawat menyodorkan obat. “Makan segera obatnya!”
“Tapi belum makan?” katamu.
“Tidak apa, biar cepat. Aku mau lihat Anda makan, mumpung masih di sini.”
Saat kau makan obat itu, ia antusias mengamati. Tanganmu, tenggorokmu, minummu, gerak jakunmu, ditatapnya lahap. “Hore! Hore!” soraknya dengan mata berbinar. “Aku juga! Aku juga!” diraihnya sebiji tabletmu lalu ditenggaknya dengan wajah puas. Mereka bertepuk tangan, sebelum meninggalkanmu.
Jatah makananmu di nampan, sebagian besar bertentangan dengan riwayat penyakitmu. Buburnya bumbung hingga tepian mangkok, kau makan setengahnya saja, selebihnya dibuang di tempat sampah. Beberapa hari kemudian kau sadar telah membuang banyak makanan lezat di tempat sampah. Kucing dan tikus merubunginya. Di rumah sakit ini, kucing dan tikus hidup akur, tak ada cerita seperti di Tom & Jerry, bahkan kucing menghindar melihat tikus. Makanan mereka terjamin. Orang-orang buang sampah di mana pun mereka berdiri, di mana pun mereka makan, di mana pun mereka tidur.
Lalu kau tertidur sangat lama. Kau bangun mendengar suara-suara. “Nasi kuning! Sokko’! Buras!” – “Kue pastel! Putu cangkir! Roti!”, lalu penjual jagung beraksi, “Jagung panas! Jagung panas!” Silih berganti masuk koridor, berteriak-teriak depan pintu, “Jagung panas! Jagung panas!” berulang-ulang, hingga berjam-jam kemudian, “Jagung panas! Jagung panas!” meski sedari tadi jagungnya sudah dingin.
Di loket, perawat memutar musik volume keras. Lagu pop melayu easy-listening. Mereka berjoget sambil menyortir obat, dokter tetap mengayunkan jarinya, dan kucing-kucing menggoyangkan kepalanya. Entah di mana seorang bayi meraung-raung.
Kau menyebut nama Tuhan, kau merasa sedang berada di terminal. Tak lama kemudian dokter masuk. Anak lelaki gemuk pendek, masker di mulutnya. Jas putih yang dikenakannya, menyala sulaman benang hijau tulisan dr. Pounding. Ia hendak memasang stetoskop dan memeriksa dadamu, tapi tidak jadi, sebagai ganti ia memasang headset di telinganya lalu menepuk-nepuk perutmu seirama alunan lagu. Sebentar saja, tiga tepukan, ia berbalik menuju pintu. “Tapi dok… dokter!” kau tergagap-gagap. Ia tidak mendengarmu. Di balik pintu, ia menggumam, “Positif hepatoma”, para perawat mengikutinya dengan tertawa-tawa nakal. “Asiiiik! Asiiiik!”
Tempat busuk. Kau mulai berpikir untuk kabur. Satu kesempatan, kau meloloskan diri lewat pintu belakang menuju halaman rumput tempat jemuran dipasang, di belakang sana ada pintu kecil yang biasa kita sebut “lubang tikus”. Kau menuju ke sana. Dekat lagi sampai, kawanan kambing menyerbu masuk—hampir tiap hari warga sekitar menternakkan kambingnya di halaman rumah sakit, berbagi makan dengan kucing dan tikus. Puluhan ekor kambing melewatimu, menubrukmu, menanduk lututmu. Kau terjatuh, mereka menanduk kepalamu. Dahimu berdarah, pandanganmu berkunang-kunang…. Saat sebentar lagi pingsan, kau melihat kambing-kambing sebesar sapi, kucing-kucing sebesar kambing, dan tikus-tikus sebesar perut kucing.
Seorang anak lelaki berseragam, bersepatu bot, memakai baret, menemukanmu hendak lari. Ia menyeretmu kembali ke ranjang.
Saat membuka mata, kau melihat senyum isterimu, ia baru saja datang dari luar kota langsung ke kamar kau dirawat. Sejumput perasaan tenang merayapi dadamu. Aku mau keluar dari sini, katamu. Perawat mendengarnya, “Bapak belum bisa keluar,” katanya. “Iya, tinggallah dulu di sini sampai sembuh,” bujuk isterimu tak tahu apa-apa. Lalu perawat menyuntik obat penenang di infusmu, tak lama kemudian kau kembali tertidur.
Terdengar desis-desis halus, “Sudah tepatkah dosisnya?”, “Kita lihat saja”, “Bagaimana reaksinya kalau begini”, “Kalau begini?”, “Nah, kalau begini?”, di sekelilingmu. Kepala kucing mendongak satu demi satu. Kau bermimpi. Segala yang terlihat berubah aneh seperti objek-objek lukisan Joan Miro. Sosok-sosok kecil bertutup masker berdiri di atasmu. Lampu menyorot tajam, wajah mereka tak jelas. Mereka membuka perutmu, mengaduk-aduknya, menjentik-jentiknya, lalu memetik organ hatimu layaknya memetik mangga, ia menyodorkannya pada seekor kucing dan serta-merta kucing itu membersihkan dengan lidahnya. Di sampingmu, mereka membedah seekor kucing hidup-hidup, mengeluarkan hatinya yang gemeletar, lalu melemparkannya ke dalam perutmu seperti cucian basah. Aiiiih, Aiiiih, joroknyaaa, pekik mereka jijik. Lalu mereka menutup perutmu, dan meninggalkanmu. Di sela-sela tawa, kau mendengar mereka bercakap-cakap, “Bapak yang satu itu sombong sekali, tatapannya dingin, angkuh. Tuan di VIP I saja tidak begitu, pengusaha, banyak uangnya. Sementara dia, hanya mengandalkan status pegawai golongan rendahnya.”
Mereka terkikik-kikik, diimbuhi tawa kucing-kucing. Mereka memakan hatimu di koridor.
***
Masuk hari keempat, kucing-kucing mulai mencuri-curi kesempatan masuk kamar. Kau bangun dari tidur panjang dan melihat mereka telah memenuhi kamar. Ada banyak kucing, aneh, ruangan terlihat lapang. Saat kau mengamati sekeliling, kau mulai sadar kursi tak ada, meja tak ada, lemari makan menghilang, bahkan isterimu, tak ada. Hanya ada kucing-kucing, seluruhnya mendongak ke ranjangmu. Kau teringat perutmu. Perutmu masih terasa sakit, saat bersendawa terdengar seekor kucing mengeong.
Kau ketakutan. Mana isteriku? Mana isteriku? Kau bertanya-tanya. Kau teringat ponselmu, tapi ponselmu juga tak ada. Aneh, seperti bila ruangan ini bukan yang kutempati tempo hari, pikirmu. Kau ingin menanyakan perihal isterimu pada perawat, maka kau pun coba bangkit. Tapi tangan-kakimu tak bisa digerakkan, kau merasa kehabisan tenaga, seolah tangan-kakimu tidak terhubung dengan kepalamu, melainkan menempel dengan ranjang. Satu-satunya tindakan yang bisa kini hanya memanggil perawat.
“Suster! Susteerr!! Susteeerrr!!!” teriakmu sekuat tenaga supaya mereka mendengar dari loket.
Terdengar sandal berceplak-ceplak di koridor.
“Tidak usah teriak! Kami mengerjakan sesuatu! Kami juga manusia, kami tidak mungkin melakukan semuanya sekaligus! Kami juga manusia! Manusia!” ia histeris.
“Mana isteriku?” katamu.
“Kami suruh pulang,” jawab perawat yang satu, dengan nada suara melenggak-lenggok, ketus.
“Sudah, tidurlah lagi,” ia mengelus-elus rambutmu. “Tidur, tiduuur,” tapi kau tidak tidur, kau hanya menutup mata, pura-pura tidur, ingin segera lepas dari mimpi buruk ini.
Menjelang siang, seorang teman menjengukmu. “Kau diperbolehkan masuk?” tanyamu.
“Oleh siapa?” ia balik bertanya. Tak ada orang di luar, tak ada perawat, tak ada dokter, bahkan kucing-kucing juga. Mereka sedang berkumpul di halaman, acara pelepasan dan serah-terima direktur rumah sakit itu. Temanmu memperhatikan sekeliling, heran pada kotornya kamar itu. Saat ia mengungkapkannya, kau hanya berkata, “Entahlah.” Kau belum tahu, si tukang sapu magelli [*] masuk kamarmu sejak tempo hari.
Bagaimana perawatan di sini? Tanya temanmu. Kau mengeluhkan beberapa hal. Mengapa tidak sampaikan ke perawat? Tanya temanmu lagi.
“Perawat di sini tampak senang dianggap penguasa. Jadi meski tak biasa menunduk-nunduk, setidaknya aku berusaha tidak buat masalah dengan mereka, itu artinya sama dengan tidak bicara,” katamu.
“Hmm…. Memang,” temanmu menimpali. “Pelayan publik, apa pun jenisnya, kadang seperti itu. Karena berat tugas dan besar tanggung jawab, kadang mereka diserang penyakit sok kuasa.”
“Bukan, bukan itu,” kau memotong. “Ini karena mereka anak-anak.”
“Hmm…,” temanmu mengangguk-angguk. “Susahnya bila anak kecil… tak mau dikalah, tentu, maunya sebagai raja saja terus,” katanya lagi.
Lalu katamu, “Tapi… mungkin memang begitu. Tidak boleh egois, menang sendiri, di sini rumah sakit, bukan bursa saham.”
Kau ucapkan perlahan, seperti merenung, lalu tak lama kau sudah tenggelam dalam renungan, lalu jatuh tertidur, dan tak sadar temanmu meninggalkanmu.
Saat ia keluar, para perawat sudah kembali, begitu pula kucing, dan para penjual kue dan es kelapa.
Semua pegawai rumah sakit di kota Hudiman A itu anak-anak, kecuali dua orang: kepala perawat dan direktur rumah sakit. Temanmu merasa harus menyampaikan keluhanmu. Ia menghadap kepala perawat, kepala perawat menghadap direktur, dan direktur menitip jawaban pada kepala perawat, begini: “Anda harus mengerti, kami di sini juga manusia! Kami tidak mungkin mengerjakan semuanya! Anda harus mengerti, apalagi mereka juga masih anak-anak!”
Kalian dibutuhkan sebagai perawat, bukan sebagai manusia!—batin temanmu mengkal, ia keluar tanpa mengubah apa-apa.
Jam 9 malam, penjaga keamanan masuk ke kamar. Mereka, anak-anak yang mengenakan seragam, baret, sepatu bot—seluruhnya berwarna cokelat tahi kuda—mengintip-intip WC, melongok kolong ranjang, menyingkap seprai, dan mengibas gorden jendela. Dari belakang terdengar megafon: “Perhatian! Kepada pengunjung rumah sakit, baik yang berada di luar ruangan, maupun di dalam ruangan, jam besuk telah habis! Kami persilahkan keluar! Tiap-tiap pasien hanya boleh dijaga dua orang, bila kami menemukan lebih, kami tak segan-segan mengusirnya. Sekian dan terima kasih!”
Orang-orang, kebanyakan keluarga pasien, berduyun-duyun keluar kamar, tumpah di halaman, menggelar tikar, sebagian memasang tenda. Saat penjaga keamanan selesai patroli, sebagian orang-orang itu masuk kembali ke kamar. Mereka begitu bebas, pikirmu, tapi mengapa kau tidak boleh ditemani seorang pun, kau masih tidak tahu.
Kau akan merasa sangat kesepian. Ketakberdayaan menyusupi tubuhmu pelan-pelan, seperti busa menyerap air, atau seperti kawanan semut merayapi tubuhmu mulai dari kaki. Kau ingin memekik, namun tak ada suara dari mulutmu. Seterusnya, kau pandangi butir-butir air cairan infus jatuh perlahan, seperti tetes air mata yang tetap jatuh meski susah-payah ditahan.
Kau terus memandanginya sampai botol itu kosong.
***
Hari ke-10, kau diperbolehkan pulang. Bukan karena sembuh, bukan pula karena tahu kau takkan sembuh—mereka bahkan tak tahu apa-apa! Mereka tak peduli mencaritahu semua itu.
Mereka sudah bosan denganmu. Mereka bosan bermain peran denganmu. Mereka sudah mencoba, memainkan sosiodrama bertema “kasih sayang, pelayanan, jasa, keikhlasan, kesabaran” itu—dan mereka gagal. Mereka butuh orang lain mengisi peranmu.
Sementara itu, temanmu menghadap dewan kota, satu demi satu ia tanyai keberadaan rumah sakit aneh itu, satu demi satu pula menjawab: “Jangan tanya saya, tanya walikota!” kata mereka.
Temanmu menghadap walikota. Baru saja sampai ruangannya, pengadilan telah selesai di kepala walikota, ia siap menjatuhkan hukuman pada temanmu, “Jangan banyak tanya! Lihat di luar sana! Di mana-mana orang sakit. Kami keterbatasan sumber daya manusia, kami butuh anak-anak itu! Jadi untuk orang-orang seperti kalian, dewasalah!”
Sudah selesai bagi temanmu, dan orang-orang sepertimu. Belakangan baru temanmu tahu, walikota dan direktur rumah sakit itu saudara sepupu.
Kau pulang, temanmu ditangkap, sampai di sini cerita selesai… tapi tentu saja masih ada kelanjutannya. Tidak elok rasanya jika tidak menceritakan sedikit tentang nasibmu.
Setelah keluar, kau dibawa ke rumah sakit lain di ibukota provinsi. Rumah sakit yang nyaman dan tenang, tapi tak kunjung menenangkan penyakitmu. Berminggu-minggu kau hanya duduk memegangi perut, tak pernah bisa telentang. Psikiater rumah sakit mendiagnosa kau trauma. “Ia pegang perutnya untuk menjaga hatinya, demikian persepsi pasien itu,” katanya.
Sementara itu, di ICU, kau menggigil, berusaha tidak menutup mata. Jika kau tutup matamu, terdengar tawa anak-anak itu, kucing-kucing menggerombol di luar. Mereka menunggu-nunggu hatimu. (*)
Catatan:
[*] magelli = ngambek
.
.
Parepare, Juli 2011 / Bojo, Awal Agustus 2011
Muliadi Gf, lahir di Bojo/ Barru (Sulawesi Selatan), 29 Mei 1986, alumnus Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Penulis bisa dihubungi di email zapatista48@yahoo.com.
.
shanty
Karakterx cukup kuat
Umar Bin Mansyur
Sukses terus bro..