Cerpen Sam Edy Yuswanto (Republika, 18 September 2011)
KIAI muda yang memiliki nama lengkap Bahaudin al-Misriyyi dan lebih dikenal dengan julukan Kiai Baha itu, akhir-akhir ini tengah santer dibicarakan banyak orang. Beliau memang sosok Kiai muda kharismatik yang tengah naik daun serta dikagumi masyarakat di daerahnya.
Menurut cerita yang beredar, Kiai yang memiliki paras tampan, hidung bangir, berkumis tipis, serta memiliki sepasang cambang tipis-rapi itu masih keturunan Mesir. Husein Mu’inuddin al-Mubarak, Mbah buyutnya Kiai Baha, katanya berasal dan menetap di Luxor. Sebuah kota populer di Mesir, tepatnya berada di sisi timur sungai Nil.
Pesona Kiai Baha memang bukan bualan. Bukan hanya parasnya saja yang sepintas pandang—sungguh banyak yang bilang—mirip Maher Zain, penyanyi asal Lebanon-Pakistan itu. Tapi, beliau juga lihai dalam meramu kata-kata saat berceramah di depan publik. Cara penyampaiannya halus, tegas, tapi tidak mengesan saklek. Beliau tak pernah menyindir golongan tertentu atau mengucap kata-kata kasar yang membikin sakit hati jamaahnya.
Suaranya merdu bak buluh perindu saat melantunkan ayat-ayat suci Alquran hingga kerap membuat berpasang mata para jamaahnya tak kuasa menahan haru dan mengurai bebutir air mata. Belum lagi, banyolannya yang kerap membuat ibu-ibu terkikik seraya memegangi perutnya yang mendadak berasa kaku.
***
Namun, sejak karier Kiai Baha di panggung dakwah melesat tinggi bak selebriti papan atas ,warga dibuat kecewa, sebab tak bisa lagi melihat dan mendengar Kiai Baha berceramah di daerahnya sendiri. Terutama saat warga tengah menggelar acara walimahan, seperti pernikahan, khitanan, pemberangkatan haji, hingga pengajian dalam rangka haul, khataman, maulidan dan rajaban. Karena belum lama ini, Kiai Baha lebih memilih hijrah ke kota besar, tepatnya menetap di Jakarta. Setiap bakda Subuh beliau mempunyai jadwal tetap; mengisi pengajian di stasiun televisi swasta. Tak ayal, warga kini hanya bisa melihat kiai idolanya melalui layar kaca di rumah masing-masing.
Tak heran, jika setiap ada pengajian yang digelar warga di kota tempat Kiai Baha dulu tinggal, sudah tak heboh lagi. Tak semeriah sebelum-sebelumnya. Karena sekarang yang mengisi pengajian di berbagai walimahan adalah para kiai sepuh atau ada juga beberapa kiai muda, tapi menurut warga tetap tak bisa menyaingi pesona Kiai Baha yang pandai membumbui tausiahnya dengan ragam lelucon.
Di kota besar, karier Kiai Baha kian moncer persis Briptu Norman yang mendadak jadi selebriti itu. Mereka, mayoritas warga kota, seperti terhipnotis oleh ketampanan serta kewibawaan Kiai Baha yang serba bisa dan lihai mengambil hati masyarakat. Dan, kekecewaan warga—di daerah tempat Kiai Baha dulu tinggal—kian melunas, setiap kali menghubungi Kiai Baha lewat telepon agar meluang waktu beberapa hari untuk mengisi pengajian di daerah sendiri, beliau selalu menjawab tidak bisa. Katanya, jadwal lagi padat. Kalau toh ada hari senggang, ndilalah (kebetulan) tidak sinkron dengan jadwal pengajian yang telah ditetapkan warga.
“Mohon maaf, tapi jadwal mengaji saya sedang padat sekali. Insya Allah, di lain waktu mungkin saya bisa,” kata Kiai Baha pada suatu petang saat ia ditelepon warga yang memintanya mengisi acara pengajian dalam rangka silaturahim dan halal bihalal di salah satu masjid yang ada di daerahnya.
Dan, memang selalu begitu yang beliau katakan sebelum menutup telepon dari warga yang memohon agar Kiai Baha mau mengisi pengajian di daerahnya sendiri.
“Bi, apa nggak sebaiknya sekali-kali diterima saja permintaan warga,” ujar Sarah, istri Kiai Baha, yang biasa memanggil suaminya dengan sebutan Abi.
“Ya, sebenarnya gimana ya, Mi. Abi agak malas mesti bolak-balik ke luar kota, capek rasanya.” Kata Kiai Baha yang juga memanggil sang istri dengan sebutan Umi.
“Tapi, Bi, bagaimanapun juga, kita pernah tinggal di sana,” sahut Sarah.
Selanjutnya, Kiai Baha memilih untuk diam. Tak lagi menanggapi ucapan sang istri. Ia hanya malas berdebat. Sebenarnya, jauh di dasar lubuk hati, bukan itu yang menjadi alasan mengapa ia malas berceramah di daerah tempat tinggalnya dulu. Tapi, ada sesuatu yang belum lama ini merongrong lubuk hatinya. Seringnya mengisi ceramah di berbagai stasiun televisi serta majelis-majelis taklim di kota besar, membuat Kiai Baha jadi kerap membandingkan isi amplop yang sangat jauh berbeda dengan yang dulu-dulu.
Betapa Kiai Baha tak pernah lupa. Dulu, ia tak pernah mematok isi amplop kepada panitia. Ia tak pernah mempermasalahkan jika hanya disangoni seikhlasnya saja—setiap mengisi ceramah biasanya mendapat amplop seratus lima puluh hingga tiga ratus ribu rupiah. Tapi, di kota besar ini, satu kali mengisi ceramah di majelis taklim bisa mencapai satu jutaan. Belum honor kontraknya di berbagai stasiun televisi swasta yang bisa mencapai puluhan juta setiap tampil.
Itu yang sebenarnya menjadi dilema Kiai Baha saat ini. Beliau lebih memprioritaskan honor ceramah dan lebih mengandalkan suara merdu dan banyolan khasnya yang bisa membikin penonton terpingkal hingga berlinang air mata.
***
“Aaaaa!! Tolooong!!” Jerit Kiai Baha seraya berusaha melepas jubah yang membungkus tubuhnya. Mendadak, jubah yang beliau kenakan menguarkan hawa panas luar biasa. Anehnya, jubah yang melekati tubuh Kiai Baha tak bisa dilepas, seperti dilem, serasa rekat dan menyatu dengan kulit.
“To… tolong saya bantu melepas jubah ini, Pak! Saya mohon!” Kiai Baha merintih-rintih, memohon pertolongan orang-orang yang berada di sekelilingnya seraya menarik-narik jubah yang melekati tubuh. Namun, yang membuat Kiai Baha terkesima, tak ada satu orang pun yang sudi menolong. Bahkan, mereka hanya melempar lirik sinis dengan bibir penuh seringai.
“Itulah balasan bagi orang-orang yang suka menjual agamanya dengan uang!” ucap ketus seorang lelaki jangkung berjubah putih dan berjenggot panjang persis di depan muka Kiai Baha. Selanjutnya, mereka tertawa serempak hingga terkakak-kakak saat menyaksikan tubuh Kiai Baha berguling-guling di tanah seraya menjerit-jerit tak kuasa menahan panasnya jubah yang beberapa menit kemudian berubah menjadi kobaran api yang membakar sekujur tubuh Kiai Baha.
“Aaaa!! Ummii, toloooong!!”
Kiai Baha tergeragap. Dilemparkannya selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Bebulir keringat sebiji jagung berleleran di wajah. Dada Kiai Baha berdegupan hingga kedua kupingnya mampu menangkap detak jantungnya sendiri. O, Tuhan. Untung cuma mimpi. Batin Kiai Baha bersyukur seraya mengelus-elus dadanya dan menggumam istigfar berulang kali.
Dengan gerak lekas, Kiai Baha melompat dari ranjang. Tubuhnya berasa gerah luar biasa. Ia ingin mendinginkan tubuh dengan berendam di dalam bathtub.
“Umii, buruan, Abi mau mandi, nih!” seru Kiai Baha begitu hendak membuka pintu kamar mandi ternyata terkunci dari dalam. Rupanya Sarah tengah berada di kamar mandi.
“Bentar lagi, Bi,” sahut Sarah dari dalam.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara kunci diputar. Namun, Sarah langsung menjerit histeris begitu pintu telah terkuak.
“Heh! Kamu kenapa sih, Mi!” seru Abi keheranan.
“Wa… wajah Abi mengapa merah-merah begitu?” pekik Sarah dengan mata melotot seraya membekap mulut dengan telapak tangan kanannya.
“Ap…apaa?” Abi terpekik seraya meraba seluruh wajahnya dengan gusar dan langsung menghambur menghadap cermin yang menempel di almari pakaian yang berada persis di sebelah kiri ranjang.
Betapa terperangahnya Kiai Baha saat melihat wajah dan sekujur badannya memerah seperi habis terkena luka bakar. (*)
.
.
Puring Kebumen, 2011
Cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media: Seputar Indonesia, Republika, Kompas.Com, Radar Banyumas, Koran Merapi, Minggu Pagi, Pontianak Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Cempaka, Potret, Story, Suara Medeka (cerpen anak), Kedaulatan Rakyat (cerpen anak), Lampung Post (cerpen anak), dan Annida-Online. Satu cerpennya menjadi pemenang Karya Favorit dalam LMCR (Lomba Menulis Cerpen Remaja) LIP ICE Selsun Golden Award 2010. Satu cerpennya menjadi Juara Harapan 2 dalam Lomba Cerpen Tema Ramadhan yang diadakan oleh Annida-Online dan SMG Publishing, 2011.
.
Arthi Ashari
wah asyikya jadi orang tekenal
emakimut
Bagus sekali! Amanatnya ngena.