Indrian Koto

Hari Terakhir Seekor Biawak

0
(0)

Cerpen Indrian Koto (Suara Merdeka, 18 September 2011)

IA tak lagi punya kuasa apa pun untuk melepaskanmu dari ancaman maut yang sedekat urat lehermu. Kau terbaring tanpa daya dengan tubuh terikat tali. Beberapa remaja siap menghantamkan apa saja ke tubuhmu jika kau melakukan gerakan sekecil apa pun.

Kau menatapnya dengan iba. Kau merasa ia telah mulai mengenalimu sebagai makhluk yang pernah berhubungan dengannya sebelum ini. Kau tak bisa membaca hati seseorang, tapi kau bisa merasakan lewat pandangan mata.

“Aku kenal dia. Doni, kau masih ingat lubang galian di samping rumah? Kau ingat bekas luka di punggungnya ini?” Ia berteriak nyaring memanggil temannya yang bertubuh kurus-bungkuk, sambil mengusap gores putih panjang di punggungmu. Bocah seumurannya itu mendekat, ikut memperhatikan bekas luka di tubuhmu. Beberapa anak lain ikut merubung memperhatikan.

“Ya aku ingat,” ucap bocah yang dipanggil Doni itu terperangah. Kau berdebar menahan nafas.

“Sayang memang,” desis Doni setengah menyesal. “Bekas luka ini membuat harga kulitnya jadi turun.”

Ia menatap si teman dengan perih. Semula ia berharap ada pembelaan dari kawannya itu. Kau benar-benar tak punya alasan untuk bisa bebas. Jika pun mampu, kau tak hendak melakukannya lagi. Ia pernah menyelamatkanmu, memberimu hidup yang jauh lebih panjang. Kalau pun kini hidupmu selesai, di tangan bocah yang kau kenali itu, kurasa inilah ujung kisah kalian: singkat dan tak banyak menyimpan kenangan.

Kau sudah memikirkan bagian-bagian tersulit dari kisah ini. Apa yang terjadi hari ini tidak akan menyimpan dendam di hatimu. Setelah ini, kau berharap, tak ada kelahiran lagi. Cukuplah hidup singkat ini sebagai penebus dosa dan sekadar melanjutkan usia yang sebenarnya masih tersisa.

***

KAU masuk ke kamarnya ketika dia sedang tiduran sambil membaca majalah bekas. Kau masuk dengan sangat hati-hati agar remaja yang ada di ruang depan tak bisa melihatmu. Kau sudah lama mengintai kesempatan ini, berdekatan lebih lama dengan dia. Sejak ibunya meninggal setahun lalu, rumahnya nyaris tanpa perempuan. Rumah dengan dua kamar itu dipenuhi anak lelaki yang menginap dan berkumpul di sana. Anak laki-laki tak pernah punya tempat sendiri. Mereka bergerombol tidur di rumah-rumah yang tak memiliki anak gadis.

Kau telah mengejutkannya. Majalah di tangannya terlepas dan seketika dia berteriak kaget. Kawan-kawannya yang berada di ruang depan, tidur-tidur ayam di siang yang terik, berlari masuk kamar dan terhenyak melihat bocah itu pucat di bibir ranjang.

Kamu juga kaget setengah mati, mencari celah untuk lari. Jendela terlalu tinggi untukmu melompat. Pintu kamar satu-satunya bukan lagi jalan keluar bagimu. Mereka mulai mengejarmu dengan geram. Kau melompat ke bawah kolong, sebagai perlindungan yang paling akhir. Mereka, setengah takut dan kaget menjulur-julurkan palang pintu dan sapu. Kau terkepung di pojok. Ranjang ditarik, kau berkelit dan satu kesempatan kau melompat ke ruang tengah. Remaja-remaja itu lebih lincah darimu. Mereka mengepungmu di ruang tamu yang terbuka dan lapang.

Lelaki tua gemuk itu, entah dari mana datangnya, berteriak-teriak sambil membetulkan sarung ketika mendengar teriakan para remaja itu.

“Tangkap… tangkap… kulitnya lumayan kalau dijual,” ia berteriak-teriak dari luar. Anak-anak yang setengah takut itu kembali mendesakmu.

“Tidak menggigit, dia tidak menggigit. Tangkap saja.”

Salah satu dari mereka menghajar punggungmu dengan palang pintu. Sekali, dua kali, dan tubuhmu tak kuat menahan sakit. Lelaki tua gemuk itu segera melerainya. “Nanti kulitnya rusak, tak laku kalau dijual,” dan itu cukup menghentikan amarah para remaja tanggung itu.

“Ikat, ikat saja,” kembali lelaki tua itu memberi perintah.

Baca juga  Sepotong Roti dan Gadis Pemerah Susu

Diam sejenak. Kau terkapar tanpa daya. Para remaja itu bersiaga di sekitarmu. Beberapa dari mereka mengambil tali plastik dan mengikatmu.

Ia mendekat, ingin rasanya kau mendekap. Sesaat ia tertegun memandang dirimu. Ia berusaha mengingat sesuatu tentang kalian. Kemudian ia terpekur di sampingmu, mengusap punggungmu yang memiliki bekas luka, meninggalkan goresan panjang berwarna putih di punggungmu. Sebentar, kalian saling bertatapan. Kerinduanmu tumpah padanya.

“Kupikir kita tak harus menjualnya dalam keadaan begini,” ia berucap setengah menyesal.

“Kupikir memang tidak,” Doni, teman si bocah itu yang menjawab. “Akan lebih baik kita saja yang mengupas kulitnya, dijemur dan harganya mungkin akan lebih mahal ketimbang kita jual hidup-hidup begini. Hanya saja, apakah teman-teman mau menunggu beberapa hari lagi dan bekerja agak berat, memotong hewan ini, mengupas kulitnya, menjemur dan….”

“Bukan itu maksudku,” ia cepat menyela. Kau sungguh terharu karenanya. “Kasihan. Apa tidak sebaiknya kita….”

Beberapa anak-anak saling pandang.

“Mau dilepas lagi, biar ayam-ayammu mati dimakan? Sudah berapa ekor ayammu yang hilang sebulan ini? Sudah berapa ayam yang lain jadi korban makhluk ini?” Budin, lelaki tua bertubuh tambun yang tadi memerintahkan mengikat dirimu berucap garang. “Sudah, Kudil dan Beben nanti cari karung dan motor, bawa biawak ini ke rumah Parakai. Dikilo saja, bilang aku yang menyuruh. Jangan lupa Lintang Enam dua bungkus untukku. Sisanya kalian bagi-bagilah dengan yang lain.”

Kau marah sekali mendengar mulut besar lelaki itu. Jika mampu, kau ingin menerkamnya sekarang ini, sebelum hidupmu benar-benar selesai. Kau berontak beberapa kali, marah sekaligus kecewa. Marah atas sikapnya menghasut para remaja belia ini, kecewa dengan dirimu yang tak bisa mengatakan kebenaran apa pun saat ini.

“Lihat, ia mulai berontak. Nanti ikatannya bisa putus. Kudil, cepat cari karung….” Kembali lelaki tua gemuk itu memberi perintah. Kudil, dibantu Beben bergegas keluar dari ruangan.

“Ada-ada saja kau ini Ntan, Ntan. Makluk pembunuh begitu kok mau dilepas,” ucap Budin sekali lagi, seakan mengejek tindakan bijak yang baru saja ia sampaikan.

Bocah itu tertunduk di sampingmu. Ingin rasanya kau memeluknya dan mengatakan, “Tak perlu menyesal, Nak. Tak ada yang perlu kau sesali.”

Ia menatapmu dengan rasa bersalah. Rasanya itu tak perlu lagi kini. Kau sudah berpikir kisahmu akan berakhir begini: tubuhmu dikuliti, kulitmu akan dijemur dan ditimbang, dagingmu akan menjadi rebutan anjing. Jika pun tidak sekarang, waktu itu pasti juga akan tiba.

Setelah kematianmu yang pertama, kau tak ingin dilahirkan lagi. Apalagi menjadi binatang pemakan daging, berkaki empat semacam ini. Kenapa tidak buaya atau harimau saja sekalian biar tunai segala benci?

“Aku tak bisa menyelamatkanmu lagi. Aku minta maaf, aku minta maaf,” parau suaranya semakin menguatkan bahwa tak ada lagi yang akan bisa menyelamatkanmu. “Kau mengagetkanku tadi sehingga teman-teman mengeroyokmu. Tubuhmu pasti sakit sekali.”

Mendengar itu kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak.

“Kalian tidak tahu dia pernah kuselamatkan dulu, di kolam samping sana. Dulu dia masih kecil, tubuhnya dilempar batu anak-anak kecil. Lihat, aku kenal bekas lukanya itu. Dia pasti datang untuk berterima kasih,” suaranya terdengar bergetar, penuh rasa sesal, tapi tawa teman-temannya terdengar semakin besar.

***

SETELAH semalaman kau tak pulang, orang-orang menemukan tubuhmu terbenam di lumpur sawah. Kabar langsung beredar, bahwa kau mati entah karena kelelahan bekerja seharian, entah karena tersapa jilawik dan ubilih yang selalu keluar di malam hari. Semua orang tahu, kau janda dengan satu anak, terlalu keras dalam bekerja. Di musim bersawah, musim di mana kau ditemukan mati, kau sedang melunyah lumpur sawah sendirian. Setelah bekerja seharian di sawah orang, kau menyelesaikan pekerjaan di sawahmu. Untunglah kau punya sejenjang sawah warisan yang bisa ditanami. Meski hanya dua piring, tapi cukuplah. Ada banyak keluarga yang hanya menjadi buruh di musim sawah. Dengan sawah dua piring itu, setahun sekali teronggok juga enam sampai delapan karung padi di rumahmu. Di musim panen, kau, ibumu dan anakmu bisa pula menikmati beras baru.

Baca juga  Rumah Makan

Kau menggarap sawah itu sendirian, mulai dari menaikkan pematang, membalik lumpur, menyebar benih, menanam dan menyiangi. Kau selalu lakukan seusai bekerja di sawah orang. Bagi perempuan yang tak memiliki laki, tentu mesti bisa mengerjakan. Ibumu, ikut membantu mencabut benih, bertanam, dan bersiang.

Dulu kau sering membantu suamimu bekerja di sawah. Meski dia sering melarangmu ikut melunyah dan membaduk, kau selalu keras kepala. Ternyata ada hikmahnya. Dua tahun lalu laki-laki itu pergi dari rumah setelah menceraikanmu. Ia terpikat perempuan di lain kampung. Sejak itulah kau menggarap sawah sendirian. Kau butuh satu-dua kawan perempuan ketika musim bertanam dan tiga orang lelaki ketika musim panen tiba. Si kecil juga sudah bisa membantu mengangkut benih. Kau baru pulang dari sawah ketika Maghrib nyaris berganti Isya.

Sawahmu tak terlalu jauh dari perkampungan. Banyak yang kasihan padamu, tentu banyak pula yang menyayangkan sikapmu itu. Waktu maghrib adalah masa-masa ubilih lewat, setan-setan bergentayangan. Lagi pula sungguh tak bagus bagi perempuan tak bersuami bekerja di malam buta.

Kematianmu menjadi pembicaraan banyak orang. Tak ada yang pernah berpikir bahwa sebenarnya kau dibunuh seseorang. Setelah itu, sebagaimana kematian yang lainnya, kau tenggelam di antara banyak kesibukan dan beban hidup tak tertanggungkan.

Lelaki tua gemuk itulah yang melakukannya. Seminggu kau bekerja di sawahnya dengan janji kau akan dibayar jika masa bertanam di sawahmu akan tiba.

Senja itu, kalian bertemu di sawahnya, ketika lelaki itu hendak pulang. Ia baru saja memeriksa air sawah, dan kau hendak melepaskan pakok banda agar air mengalir ke sawahmu barang sedikit. Ia semakin marah ketika kau menagih utang, mengingat dua hari lagi benihmu akan dicabut dan akan segera sawahmu ditanam padi.

Dia merayumu. Kau membalas dengan makian. Kalian beradu mulut. Ia lelaki yang suka memanjat istri orang. Janda sepertimu tentulah santapan yang bagus pula untuknya. Keras hatimu telah membuatnya menaruh dendam diam-diam. Dan petang itu, ketika sawah sudah sepi, ia semakin berani menggodamu. Ketika ia mendekat, kau menendang tajangnya dengan kencang. Ia terpekik memegang selangkang.

Maghrib mengapung dari masjid kampung. Orang-orang sejak beberapa jenak yang lalu sudah meninggalkan sawah masing-masing. Kau kembali ke sawahmu, mengambil cangkul dan bersiap pulang. Ia datang dengan mata nyalang. Tanpa banyak bicara ia langsung membekap mulutmu, meremas apa yang bisa ia remas. Kau terus melawan, mencakarnya sebisa mungkin. Di petang hari, di masa pertukaran waktu ada banyak setan berkeliaran. Dan lelaki itu seperti dirasuki sesuatu. Ia membenamkan kepalamu ke dalam lumpur. Begitulah cara yang pantas menurutnya membalasmu.

“Mati kau, mati kau, mati kau…,” geramnya dengan gigi gemeretuk sambil menekan kepalamu dengan kakinya.

Puas begitu, dia meninggalkanmu begitu saja. Dia tak tahu jika itu membuatmu benar-benar mati. Tapi begitulah, semalaman kau tak pulang. Laki-laki itu pula yang dengan cemas mengabarkan ke orang kampung soal ketidakpulanganmu itu.

Pagi itu, tubuhmu yang terbenam lumpur diarak ke perkuburan, dengan tanpa luka sedikit pun.

***

KAU merasa ia telah mengenalimu, mengenali sedikit kenangan tentang kalian. Kau merasa cukup bahagia meski pun kau tahu, ia tak akan pernah menyadari dirimu sebagai jelmaan ibunya yang dulu mati tenggelam di tengah sawah.

Baca juga  Kenangan Hari Raya

Orang naik, begitu biasanya orang menyebut kehidupanmu. Orang-orang yang mati sebelum ajal akan kembali dilahirkan ke dunia. Kematian itu berupa kecelakaan dalam bentuk apa pun. Mereka percaya orang naik mengenal semua lekuk kehidupannya yang dahulu. Bisa saja dulu dia pernah punya anak, punya suami atau istri. Bisa saja mereka adalah para dara dan anak bujang. Anak-anak yang dianggap orang naik biasanya akan dilimaukan agar ingatannya pada masa lalu segera dihapuskan. Dengan begitu ia akan tumbuh menjadi anak-anak normal, tak terganggu ingatan dan kerinduan pada hidup yang lampau. Konon, kemati an semacam ini akan berulang sampai tujuh kali, biasanya berwujud macammacam hewan. Kelahiran pertama biasanya berwujud makhluk kecil, macam lalat, nyamuk atau ulat, yang segera mencari perempuan hamil untuk menumpang di rahimnya. Bisa saja menjadi ayam, burung, katak, ular, kupu-kupu, jangkrik, lalat dan semacamnya. Hanya sekali kesempatan menjadi manusia.

Tapi kelahiran pertamamu berwujud seekor biawak. Biawak betina yang terseok-seok mencari rumah yang lama, dengan rindu yang menggebu.

Ah, ia tentu ingat ketika pertama kali ia menemukanmu yang masih kecil dan lemah itu. Kau terperosok ke dalam lubang galian tetanggamu untuk menguruk rumahnya itu.

Berhari-hari kau terkurung. Beberapa bocah kecil menemukan mainan. Mereka melemparimu dengan batu dan menusuk-nusuk dengan bambu. Kau sudah tak berdaya dan tak kuasa lagi menghindar. Kau terpojok di sudut lubang yang serupa kolam dan siap menunggu ajal yang datang pelan-pelan. Sekarat, kelelahan, lapar dan kehidupan yang segera padam.

Mendengar keriuhan anak-anak ia keluar dari kamarnya, ia mendekat dan menemukan dirimu yang terjepit. Untuk pertama kalinya kalian saling pandang. Seketika ia mengambil keputusan yang membuatmu semakin mencintainya dan tidak lagi menyesali takdir. Ia mengusir anak-anak dan memanggil Doni, temannya yang ikut bertumpuk di keramaian untuk mengambil jaring dan ia segera masuk ke dalam lubang galian.

“Tenang ya, biawak kecil. Kami akan membebaskanmu.”

Kau ingin menyerah dalam pelukannya. Tapi bocah sepertinya akan gampang kaget dan akan melakukan tindakan-tindakan spontan jika kau bersikap gegabah. Kau diam saja ketika ia mendekatkan jaring itu ke arahmu. Kau melangkah tertatih masuk ke dalamnya. “Lihat,” teriaknya pada Doni yang termangu-mangu dari atas sana. “Cerdas sekali biawak ini. Dia mengerti keinginanku. Boleh tidak ya aku memeliharanya?”

Ia mengangkat jaring yang berisi tubuhmu dengan hati-hati. Ia menaikanmu ke rumput-rumput. Kau bisa melihat jendela kamarnya yang terbuka.

“Kenapa kau diam saja? Pergilah, kau sudah bebas sekarang….”

Kau menatapnya penuh haru.

“Sepertinya dia sangat lelah,” ia bergumam sendirian. Sementara Doni mencakmencak atas tindakannya mengembalikanmu ke dunia luas ini. “Lihat, punggungnya luka….”

Berhadapan dengan anak sendiri, membuatmu semakin tak kuat menahan debar.

***

JIKA saja bisa bicara, ada banyak hal yang ingin kau katakan padanya. Jika saja bisa, ingin sekali kau mencekik leher lelaki tua yang kini di depanmu itu untuk membalas semua sakit hatimu.

“Ayam-ayammu yang hilang, biawak inilah yang memakannya,” Budin yang masih berdiri di situ seakan punya pembelaan. Bocah itu hanya diam sambil mengusap punggungmu. Mungkin ia percaya hasutan lelaki jahat itu, mungkin juga tidak. Kau berlinang air mata.

Beberapa bocah datang membawa karung. Tubuhmu diseret dengan kencang. Rasanya, inilah terakhir kali kalian bisa saling memandang. (*)

 .

.

Rumahlebah 2009-2011

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Aisyah fucu

    Aduh, sampe nangis bacanya..

  2. syamsul bahri harahap

    Saya Tunggu kelanjutan cerita ini

Leave a Reply

error: Content is protected !!