Parwin Faiz Zadah Malal

Anjing

0
(0)

Cerpen Parwin Faiz Zadah Malal (Koran Tempo, 18 September 2011)

“PAS empat kilo.”

Mendengar kata-kata itu, seulas senyum mengembang di bibir perempuan itu dan dia menatap anak lelakinya.

Penjaga toko itu berkata lagi, “Ini uangnya. Delapan rupee.”

Perempuan itu menjulurkan tangan dari balik jubahnya dan meraih uang itu dari tangan si penjaga toko. Dalam sinaran mentari senja, dia bergegas pulang. Dia berjalan tergesa seraya mencengkeram erat lengan anaknya. Cengkeramannya begitu kuat sehingga bocah lelaki itu tiba-tiba berkata, “Ibu, tanganku sakit.”

“Ini demi kebaikanmu, Nak. Nah, sudah kulonggarkan,” ujar sang ibu dengan suara lembut dan penuh kasih.

Setahun telah lewat sejak dia meninggalkan tanah airnya. Kini dia hidup sengsara di negeri orang, siang dan malam. Pagi-pagi buta dia dan anaknya meninggalkan tenda mereka untuk mengumpulkan kertas bekas di pasar-pasar dan lorong-lorong hingga sore tiba. Menjelang malam, mereka mampir di sebuah toko untuk menjual kertas-kertas yang berhasil mereka kumpulkan seharian. Biasanya mereka dibayar empat atau lima rupee, tapi hari ini dia sedang amat bersemangat sehingga mereka bisa mendapatkan delapan rupee. Namun, ada kalanya dia mengakhiri hari dengan tangan hampa.

Hari ini dia pulang ke tenda mereka dengan hati ringan. Di jalan pulang dia membeli roti, teh, dan sedikit gula. Itu pun uangnya masih bersisa dua rupee. Dia berjalan melintasi tenda-tenda berwarna cokelat dan hitam menuju tendanya. Saat dia menyingkap permadani usang yang tergantung di depan tenda dan melangkah masuk, didengarnya azan magrib berkumandang. Dia segera berwudu dan mengerjakan salat, lalu mengambil lampu minyak. Menyadari bahwa tak ada lagi minyak tersisa, dia menoleh kepada anaknya dan berkata, “Nak, minyaknya habis. Ambil uang dan botol ini. Beli minyak di toko. Lekaslah pergi sebelum benar-benar gelap.”

Baca juga  Kawashima Yui setelah Pertemuan di Hari Senin

Bocah itu bangkit, mengambil uang dan botol minyak, lalu pergi.

Sepeninggal anaknya, perempuan itu duduk dekat perapian dan mencoba menyalakan api. Ketika api akhirnya menyala, pikirannya mengembara dan kenangan menyiksanya serupa mimpi buruk. Air mata membasahi sepasang matanya dan lidah api menjilat udara seakan-akan itu api nestapa pengasingan yang selalu membakar hatinya yang luka dan membuatnya rindu pulang ke kampung halaman….

Siang malam, di tenda yang temaram, dia mencemaskan masa depan yang tak menentu. Dia mengingat masa lalu, masa yang tak terlalu jauh, hanya setahun ke belakang, mengenang segala yang dimilikinya saat itu: suami penyayang, rumah, pekerjaan terhormat dan, yang terpenting, sebuah negara. Namun, kini ia tak punya apa pun, kecuali anaknya. Dia tak tahu apa yang menimpa sanak saudaranya yang lain: di mana mereka berada, masih hidup ataukah sudah mati. Dan ia sedih karena anaknya tak bisa bersekolah. Dia terkenang hari-hari saat ia mengajar di sebuah sekolah dasar. Sementara, kini anaknya tak bersekolah. Dia berupaya mengajari sendiri anaknya berbagai hal seraya terus berharap suatu hari dia bisa bersekolah….

Paginya, saat dia dan anaknya meninggalkan tenda mereka seperti biasa, angin dingin bertiup kencang. Di langit awan bergulung dan titik-titik hujan mulai jatuh membasahi bumi. Saat awan gelap kian menebal, rasa cemas dan galau menyergap perempuan itu. Jika hujan turun, mereka tak akan bisa pergi jauh dan hujan deras pasti akan membasahi kertas-kertas yang terserak. Mereka bergegas ke pasar besar. Saat mereka nyaris tiba, hujan menderas. Mereka berhenti di depan sebuah toko yang tutup. Si anak menggeser tubuh lekat ke tubuh ibunya dan mereka menunggu hujan reda. Lewat sejam kemudian, hujan usai dan mereka pun berjalan merambahi jalan-jalan dan lorong-lorong kota, berharap menemukan kertas kering. Namun, hingga menjelang sore mereka tak berhasil mendapatkannya, padahal mereka belum makan siang karena uang yang didapat sehari sebelumnya telah habis.

Baca juga  Pesta Kematian

Saat sore tiba anaknya mengeluh kelaparan. Betapa anehnya, setahun ini dia dan anaknya melewati begitu banyak hari dengan perut lapar. Kerap kali mereka tak punya sisa uang dari pendapatan hari sebelumnya. Dan anaknya terpaksa harus mengganjal perut hanya dengan sisa air teh hingga sore, bahkan terkadang sampai malam saat mereka pulang ke tenda dan mendapat sedikit makanan. Dia telah membiasakan anaknya dengan semua ini, tapi belakangan si anak kerap memprotes rutinitas ini dan terus mengeluh bahwa ia lapar. Dia berupaya menghiburnya, menjelaskan situasi yang mereka hadapi, tapi tak berhasil.

Dia tak tahu harus bagaimana. Kepada siapa dia bisa meminta pertolongan—ke toko tempat ia biasa menjual kertas atau orang-orang yang berlalu lalang? Untuk melakukan hal semacam itu diperlukan keberanian. Bahkan seorang pemberani pun belum tentu sanggup melakukannya. Sedangkan dia, membayangkan saja dia tak sanggup, apalagi melakukannya dalam kehidupan nyata. Tapi kini, anaknya makin rewel karena lapar. Beberapa kali dia mencuri pandang ke sebuah toko dan beberapa orang yang berlalu lalang—menimbang-nimbang untuk meminta bantuan. Namun, ia tak sanggup melakukannya. Pada saat itu, gagasan lain terlintas di kepalanya, dan dia berkata kepada diri sendiri, “Andai saja aku berani mengetuk pintu rumah seseorang.” Setelah dipikirkannya, dia merasa gagasan inilah yang paling mungkin sanggup dilakukannya.

Dengan memberanikan diri, dia mendekati sebuah rumah. Tangannya gemetar dan tubuhnya dibasahi keringat. Kembali dia ragu, jadi mengetuk pintu atau tidak. Hatinya terbelah antara kasih sayang seorang ibu dan rasa malu bercampur takut. Dia kebingungan dan merasakan jantungnya berdegup kencang. Lidahnya kelu. Akhirnya dia mengetuk pintu itu. Sejenak kemudian, pintu terbuka dan muncullah seorang perempuan tua. Dengan suara bergetar, dia berkata kepada perempuan tua itu, “Anak saya… anak saya kelaparan dan saya tak punya uang. Kalau boleh….”

Baca juga  Muslihat Membunuh Panglima Langit

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, perempuan tua itu telah berbalik dan seraya masuk kembali ke dalam rumah dia berkata, “Sebentar, masuklah.”

Melalui pintu yang separuh terbuka dilihatnya perempuan tua itu kembali. Sebelah tangannya memegang sebuah mangkuk, sedangkan tangannya yang lain memegang roti. Pada saat itulah dia mendengar suara seorang perempuan muda dari dalam rumah, “Ibu, aku sudah sering bilang, lebih baik lemparkan saja makanan itu pada anjing daripada diberikan kepada orang-orang Kabul itu….”

Ketika si perempuan tua sampai di depan pintu membawa semangkuk sup dan roti, dilihatnya perempuan dan anaknya itu telah pergi. Dia melangkah keluar melintasi pintu yang separuh terbuka, mencari-cari ke kedua arah. Dilihatnya mereka telah sampai di ujung lorong. (*)

 .

.

Parwin Faiz Zadah Malal adalah perempuan penyair dan penulis prosa dari Kandahar, Afghanistan. Kini menetap di Karachi, Pakistan. Ia menulis dalam bahasa Pashtun. Cerita di atas diterjemahkan Anton Kurnia dari versi Inggris Anders Wimark.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. syamsul bahri harahap

    Yaaa Raaabbb

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: