Cerpen Santi Almufaroh (Republika, 25 September 2011)
EMBUN meluruh riuh. Lelaki bermata teduh itu masih menabuh thethek. Langkahnya patah patah. Kampungnya, Ngethuk, seperti mati. Tidak ada tetabuhan thethek yang saling menyahut. Apalagi, suara orang mengaji. Tabuhannya semakin ia perkeras. Suaranya serak, tapi cukup bising untuk membangunkan orang-orang di setiap rumah yang ia lewati.
Ia hanya mengenakan kaus oblong lusuh dan celana kolor hitam. Sarung ia serampangkan di leher untuk mengurangi dingin. Udaranya begitu beda. Dinginnya keterlaluan. Angin menyisir hidungnya, memaksanya untuk setiap saat bersin.
Langkahnya kian lamban. Telah setengah kampung ia kelilingi. Belum ada lampu rumah yang menyala. Tiga tahun silam listrik memasuki kampungnya. Kini, ia tidak perlu kerepotan lagi. Menabuh thethek dengan memegang obor. Suasana seperti siang. Begitu terang. Karena listrik.
Dulu, thethek menjadi kegiatan favorit di kampungnya. Dari anak kecil sampai orang tua sekali pun berombongan untuk berthethek. Tidak jarang satu rombongan bertemu rombongan yang lain. Mereka berteriak riang untuk membangunkan warga. Saling memantikkan obor. Menabuh drum, kentungan, atau apa saja yang bisa menimbulkan suara keras. Tapi, itu dulu.
Lelaki itu berwajah surya. Teduh hati saya memandangnya. Saya sering mengintipnya di balik jendela rumah. Telah tiga Ramadhan ini saya mengaguminya. Saya mengandaikan untuk ikut berkeliling. Menabuh thethek. Kedinginan dan kecapaian. Saya yakin, suatu saat nanti saya bisa ikut lelaki itu.
Dulu, waktu ibu masih muda, lelaki itu pernah menjadi kepala kampung. Tapi, ia menyudahinya karena usianya menua. Ia memilih tinggal di pojok kampung tepat di belakang surau. Istrinya meninggal terbacok lima belas tahun silam. Saat ada penggarongan di rumah kepala kampung yang baru, ia sendirian. Beberapa kambing Jawa menemani di gubuknya. Peninggalan istri tercinta.
Lelaki itu tampak kecapaian. Ia beristirahat di amben di ruang depan. Sejenak. Sebentar lagi imsak. Tadi ia mendapat sebungkus nasi dan sepotong ayam dari salah satu rumah yang ia lewati. Kebetulan habis ada kenduri katanya. Alhamdulillah, ia tidak usah liwet untuk makan sahur.
Tembakau yang barusan dilinting, ia hisap pelan-pelan. Tampak begitu nikmat. Seakan seluruh nikmat ada di tembakau itu. Karena tembakau itu memang hasilnya. Hasil payahnya bertahun-tahun berkebun. Bangga dia.
Seperti biasa, hanya ia yang shalat di surau depan rumahnya. Ia tidak tahu, apa orang-orang kampung shalat di masjid megah yang baru selesai dibangun di depan rumah kepala kampung atau shalat di rumah masing-masing, atau bahkan tidak shalat. Ia yakin suara azannya masih bisa didengar orang seluruh kampung walau dengan suara serak dan toa lapuk. Tapi tak apa, ia senang melakoninya.
***
Saya mau ikut lelaki itu berkeliling kampung menabuh thethek. Membangunkan orang sahur. Tapi, saya juga takut kalau ia marah. Terlebih dengan penampilan saya. Saya juga sebal dengan ibu. Ia selalu menjepitkan serbet makan dengan peniti di baju saya. Katanya untuk mengelap liur saya jika menetes.
Ah, ibu, memangnya saya masih seperti anak kecil apa? Saya sudah besar kok. Ibu selalu menyuapi saya. Melarang saya merangkak keluar kamar. Karena di kamar saya telah ada benda, kotak ajaib warna. Ada ikan, ayam, kupu-kupu, bahkan orang sebesar ibu pun bisa masuk ke dalam kotak ajaib itu. Ia disuruh ibu menemani saya. Mungkin agar saya semakin betah dengan kamar saya yang apek.
Tapi, saya nekat. Harus ikut lelaki itu. Saya suka memandanginya. Dengan merangkak-rangkak saya keluar kamar. Saya tahu caranya membuka kunci pintu. Telah saya pelajari diam-diam saat ibu mengunci pintu kamar saya. Saya merangkak pelan-pelan, takut ketahuan ibu. Liur saya menetes di lantai. Saya tidak sempat mengelapnya.
Suara thetheknya terdengar. Sebentar lagi sampai di sini. Saya merangkak ke jalan. Sakit rasanya telapak tangan dan lutut saya terkena jalan yang baru diaspal. Tak apalah saya tunggu dia di sini.
“A’a… au… iuu….”
“Apa anak manis?” ia mendekati saya. Menghentikan tabuhannya.
“Au iuuu….” tangan saya kibas-kibaskan agar ia mengerti.
“Mau ikut maksudnya?”
Saya mengangguk malu. Dan, ia juga mengangguk.
“Kau kugendong saja, takut tangan dan kakimu terluka, bagaimana?”
Saya mengangguk lagi. Meringis menahan sakit, yang penting bisa ikut dia. Mungkin ia agak susah, menggendong sambil menabuh. Mungkin saya terlalu berat untuknya. Ia tidak tega jika membiarkan saya merangkak-rangkak mengikutinya.
Saya diajak ke gubuknya. Ia makan sahur, saya juga ikut. Dengan lalap daun lima jari seluas telapak tangan dan sambal yang baunya mirip bau ayah. Pedas. Tidak pernah saya temukan makanan seperti itu di rumah.
Lalu ia ke surau. Baru kali ini saya melihat surau. Ia berazan dan shalat. Ia juga mengaji lama. Lelaki tua itu memang teduh. Saya takjub. Ah, saya sebal. Liur saya menetes lagi. Mengganggu.
“Namamu siapa, Nak?” tanyanya ramah.
“U… hi….”
“Dudi?”
Saya menggeleng.
“Rudi?”
Saya menggeleng lagi. Memang bukan itu nama saya.
“Lalu siapa? Budi?”
Saya mengangguk riang. Ibu selalu memanggil saya Budi, anakku sayang. Tapi, ayah tidak pernah memanggil saya Budi. Ia selalu memanggil saya Idiot. Kadang membentak-bentak. Entahlah, saya juga tidak tahu idiot itu apa.
“Kamu boleh memanggil saya Bapak.”
“A-ak?”
“Ya ya, boleh seperti itu. Apa kau bisa mengaji.”
Saya menggeleng entah yang ke berapa kali.
“Nanti kuajari mengaji juga shalat. Sekarang kau tidur dulu, bapak mau ke kebun.”
Ia menyelimuti saya dengan jarik kumal. Bukan dengan selimut tebal seperti di rumah. Ibu sedang apa ya, dia mencari saya apa tidak? Biarlah, daripada di rumah saya dibentak-bentak ayah, lebih baik saya di sini.
***
Lelaki tua yang bermata teduh itu membiarkan saya tinggal di gubuknya. Sekarang saya memanggilnya bapak. Ia senang ada kawan untuknya. Saya diajari mengaji alif ba ta. Melihat tulisan-tulisan yang melengkung lucu. Namanya huruf hijaiyah. Saya belum lancar membacanya.
Ia juga mengajari saya tentang shalat, di mana arah kiblat, juga azan. Saya sering-sering salah, tapi bapak tua tidak pernah membentak seperti ayah. Ia hanya tersenyum dan mengelus kepala saya. Saya menyukai senyumnya.
Saya tidak bisa berdiri. Kaki saya terlampau kecil. Saya hanya bisa duduk dan merangkak. Bapak tua masih tetap menggendong saya untuk berkeliling menabuh thethek. Membangunkan orang-orang sahur. Kadang saya yang menabuhnya. Bapak tua juga ikut senang jika melihat saya tertawa, yang mengakibatkan liur saya semakin deras. Kadang menetes di bajunya. Ia tidak juga marah, hanya tersenyum dan mengelapnya.
Setiap melewati rumah saya, saya selalu berteriak memanggil ibu. Tapi, tidak ada sahutan dari dalam. Saya rindu ibu. Di gubuk tidak ada ibu, juga tidak ada kotak warna ajaib. Ibu tidak mencari saya.
***
Bapak tua menyuruh saya latihan azan lagi. Walaupun sudah bisa sedikit-sedikit, suara saya masih cadel. Liur saya menyisir lantai.
Allahu akbal allahu akbal
Asyhadualaaillahaillah
Asyhaduannamuhammad
Allosulullah
Khayya’alasholaa
Khayya’alalfalaa
Allahu akbal
Laailaahaillallah ….
Bapak tua menangis dan memeluk saya. Saya takut. Setiap ayah membentak pasti ibu menangis dan memeluk saya. Saya tidak berani melihat wajah bapak tua. Saya tidak ingin jika wajah bapak tua seperti wajah ayah saya. Mata ayah saya merah dan melotot. Seperti beruk yang ada di kotak warna ajaib saya. Saya benar-benar takut.
Ia tersenyum teduh. Saya menangis.
***
Saya dilatih mengucapkan kalimat syahadat. Kata bapak tua, kalimat syahadat diucapkan untuk masuk agama Islam. Saya memang sudah Islam sejak lahir karena ayah dan ibu saya Islam (saya pernah melihat ibu shalat). Tapi, baru sekarang saya mengucapkan kalimat syahadat.
Kata bapak tua, saya tidak idiot. Saya anak pintar. Anaknya yang pintar. Bapak tua bangga punya anak seperti saya. Saya juga bangga punya bapak, bapak tua.
Malam ini kami tidak menabuh thethek lagi. Ini malam takbiran, malam Lebaran. Besok Lebaran. Listrik di gubuk bapak matikan. Kami menyalakan obor sebagai gantinya. Bapak tua memasangnya di pojok-pojok gubuk. Bapak tua membelikan saya baju, celana, dan serbet baru. Saya gembira.
Kami bertakbir di surau. Hanya ada kami berdua. Kampung kami sepi. Orang-orang kampung pergi ke alun-alun kota kecamatan. Katanya bertakbir di sana, sambil menyalakan kembang api. Saya juga ingin melihat kembang api. Katanya bagus. Bapak tua tidak membelikan saya kembang api. Uangnya kurang.
Bapak tua mengizinkan saya bertakbir memakai toa surau. Kegembiraan saya bertambah. Saya bertakbir riang. Bapak tua juga senang. Ia tertidur sambil bersedekap menghadap kiblat. Ia tersenyum. Wajahnya masih tetap teduh dan saya merasa damai memandangnya. Harum tubuhnya menguar ke udara. Menyisir seluruh ruangan hingga menggantung di hidung saya. (*)
.
.
Pandean Lamper, 070811
Karya penulis bernama lengkap Santi Almufaroh sudah banyak mengisi sejumlah media. Penulis pernah menjadi juara favorit LMCR 2010, Jakarta. Karya-karyanya, antara lain, Antologi Cerpen “Teater Semut”, Kendal, Antologi Puisi “Adalah Debu” UKM KIAS IKIP PGRI Semarang, Antologi Puisi “Pendidikan Indonesia dalam Bola Ping Pong”. Penulis juga pernah menjadi juara 1 Tulis Opini LPM VOKAL IKIP PGRI Semarang.
.
Aisyah fucu
Keren,
heri nurwanto
hikz..mengharukan..