Cerpen Muhammad Amin (Suara Merdeka, 25 September 2011)
SEOLAH bebunyian itu muncul dari segala penjuru. Menyerupai suara gaib yang mengembara di padang-padang, menguncup di pepucuk tanaman, menyeberang di kelok sungai, meningkahi ricik air yang pecah di bebatuan. Kadang terdengar bagai dendang kesunyian, nyanyian yang menggeletar di kelopak mawar yang basah dan mekar. Kadang bagai anak kijang yang melesat di tengah luas padang savana, meloncat-loncat sampai ke kejauhan. Atau bagai burung yang melayang di atas punggung bukit-bukit, lalu menukik ke ceruk lembah-lembah.
Suara yang membuat burung-burung tercenung, menyimak di pokok dedahan. Suara yang menghentikan gerak cekat para peladang menderas tubuh damar. Atau pengantar kidung gadis-gadis turun ke sungai. Kadang saling berkejaran dengan anak-anak yang riang berlarian di halaman. Dan melepas setandan lelah dari punggung para peladang.
Suara itu mengalir dibawa embusan angin. Ia berkunjung untuk menumpang singgah di telinga orang-orang yang lelah.
“Suara apakah gerangan?”
“Seperti suara dadi yang dipetik dengan segenap penghayatan.”
Tak ada yang tahu dari mana datangnya. Suara itu seolah muncul begitu saja sejak musim kemarau beranjak menghilang. Saat kaki-kaki hujan mulai menjejak tanah-tanah yang kerontang. Sejak bunga-bunga berkelopak mekar, tanah-tanah subur menyembulkan bakal-bakal tanaman. Daun-daun merimbun, buah-buah meranum. Bertunas, berumpun, berjuntai, bertandan. Ladang-ladang menghijau bagai hamparan permadani yang terbentang hingga ke lereng-lereng bukit, hingga ke kaki-kali langit.
Orang-orang lebih memilih menikmati ketimbang peduli darimana asalnya. Suara itu selalu berkunjung ke sana tiap sore hari, saat burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Saat peladang hendak menyelesaikan pekerjaan. Saat gadis-gadis hendak turun mandi ke sungai. Saat anak-anak berlumur debu bermain-main di halaman. Demikianlah berulang-ulang, hingga mereka lupa bahwa suara itu tetap ada yang memainkan. Entah siapa.
Ia selalu berhenti di perbatasan, saat azan berkumandang, bunyi itu pun menghilang. Seperti di telan gelap malam. Atau bergegas pulang ke muasalnya di tengah padang kesunyian.
***
LELAKI-lelaki pencari damar membawa hasil getah yang telah mengering itu dikumpulkan ke bawah rumah-rumah panggung mereka untuk kemudian akan dijual kepada pengepul. Getah damar berwarna putih bening itu—dinamai damar kaca, memiliki nilai harga lebih tinggi ketimbang jenis damar yang lain. Para perempuan pencari kayu bakar mengumpulkan dan membawa pulang kayu-kayu kering dari dalam hutan untuk dijajakan ke tengah pasar keesokan paginya.
Lalu setiap kali warna senja akan menghilang, bunyi denting dadi seolah hendak mengajak sejenak orang-orang bercengkarama dalam sendu-merdunya. Bersama kesiur angin, gemerisik rumpun daun-daun bambu, dan renyah ricik air sungai melewati celah bebatuan yang jeram, melahirkan harmoni yang indah dan nikmat di pendengaran.
Hingga suatu hari, para peladang menemukan seseorang pemuda duduk di atas seonggok batu tepi kali sembari memetik senar-senar dadi yang terbuat dari tulang binatang itu. Para peladang itu menyapa si pemuda. Mereka bercakap-cakap dan mengajaknya singgah ke rumah. Meski semula pemuda itu menolak, setelah berusaha mereka membujuknya, akhirnya ia mengalah juga.
Maka dengan cepat menjalar kabar ke seluruh pelosok kampung, bahwa seorang pemetik dadi yang mereka rindui akan bertamu di kampung mereka. Ia dipersilakan tinggal bersama mereka, di mana saja tempat yang ia suka. Tak perlu sungkan, anggaplah sebagai rumah sendiri, kata mereka. Anggaplah kami sebagai saudara sendiri, sahut yang lain. Tak perlu lagi memetik dadi di tengah rimba sunyi, memetik sepi di bawah pohon-pohon besar di dalam hutan.
Orang-orang merasa senang menjamu si pemuda. Mereka menyukainya. Gadis-gadis cantik yang ranum itu bersemu merah rona mukanya bila bersitatap dengan si pemuda. Semua laki-laki merasa sempurna hidupnya apabila telah mendengarkan si pemuda memetik dadi.
Dua puluh tahun sebelumnya, suara denting petikan dadi terakhir kali terdengar. Sejak orang-orang tua yang pandai melagu dan bubiti mulai memetik dadi tiap kali panen raya tiba, seolah menjadi candu dan sihir buat mereka. Suara dadi seolah menjadi cara mereka sendiri merayakan sesuatu. Sebagai ritual menyambung doa dan syukur kepada Sang Semesta. Di tanah lapang, mereka membuat unggunan api, diiringi musik petikan dadi mereka menyanyi, ber-adi-adi, ber-segata, berpantun simbatan. Atau menari Bedana berpasangan, memutari api unggun.
Setelah orang-orang tua yang pandai memetik dadi meninggalkan dunia yang fana, perayaan panen hasil ladang tak pernah terdengar lagi suara dadi. Segalanya berjalan sebagaimana biasanya, namun terasa hambar. Tak ada yang menghibur hati yang lelah setelah susah payah mengurus ladang sejak menuai benih hingga panen tiba. Begitu lama. Begitu terasa. Kadang jemu menggumuli hati mereka.
***
“MAINKANLAH, wahai Pemuda. Mainkanlah petikan dadimu untuk kami,” kata seorang di antara mereka yang paling tua. Ia bergelar Batin Utama.
Maka si pemuda memainkannya dengan sepenuh hati. Mereka menikmatinya, seolah sambil minum anggur perasan dari taman surgawi. Mereka berbahagia. Anak-anak menari-nari. Lelaki dan perempuan tertawatawa. Gadis belia tersipu-sipu.
Apabila panen raya tiba, sebagaimana sebelumnya, mereka membuat unggunan api di tengah tanah lapang, menyelenggarakan semacam ritual, dan diiringi petikan dadi. Mereka bernyanyi, beradi-adi, bersegata, berpantun simbatan, menari Bedana berpasangan. Mereka bergembira dan bersuka-cita. Hingga puncak malam tiba.
Setelah panen raya selesai, mereka mulai merencanakan sesuatu untuk si pemuda. Mereka menawarkan dan menyilakan si pemuda memilih anak perawan mereka yang paling cantik dan paling pantas untuk dijadikan istri. Kelak diharapkan anak-anak mereka dapat menebar benih di ladang-ladang yang subur serta mewarisi kepiawaian memetik dadi. Sebuah kehormatan besar bila si pemuda dapat memenuhi permintaan ini.
Setelah mendapat hasil panen yang makin melimpah, mereka akan mengadakan sebuah pesta besar-besaran, untuk merayakan perkawinan si pemuda dengan anak gadis siapa saja yang terpilih. Maka berdebarlah setiap hati kembang perawan desa itu. Dan berharap-harap cemaslah mereka semua, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pilihan itu jatuh kepadanya.
Si Pemuda, dengan berat hati, menyampaikan ketakkuasaannya memenuhi permintaan yang satu ini.
“Bagaimanakah hamba akan mengawini anak perawan kalian jika sebentar lagi hamba akan mati?” kata si pemuda. Orang-orang terperangah. Hampir-hampir tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar.
“Apa maksudmu, wahai Anak Muda?” ujar Batin Utama.
“Maafkan jika sekarang dan kelak hamba akan merepotkan kalian semua,” katanya. “Hamba tak bisa menjelaskan ini, tapi kalian akan melihat sebentar lagi hamba akan tertidur untuk selamanya, tepat pukul sepuluh malam nanti.”
“Janganlah bergurau, Anak Muda. Kamu masih muda dan segar, mana mungkin akan mati secepat itu.” Kata seorang lelaki tua.
“Hamba tak sedang bergurau atau bermain-main, Pak Tua. Namun apa yang hamba katakan ini benar adanya.”
“Kenapa kamu ingin mati di sini?” Tiba-tiba seseorang tak tercegah dari mulutnya melontarkan pertanyaan itu.
“Sekali lagi, maaf. Hamba memilih tempat ini karena tercium aroma kedamaian yang pekat dan khusyu’ menebar ke dalam kalbu. Tak butuh lagi kesunyian untuk mendapatkan sebuah kedamaian karena hamba telah merasakannya di sini, di tengah-tengah kalian.”
“Anak Muda, kamu tidak boleh pergi. Tetaplah bersama kami. Tetaplah memetik dadi untuk menghibur kami,” pinta mereka dengan setulus hati.
“Tidak bisa, hamba tidak bisa melakukan apa pun atas takdirku. Tak ada yang mampu menghalangi kematian hamba.”
Mendadak dunia terasa gelap pekat. Tak pernah terasa semuram ini. Bumi bertudung awan mendung. Jeritan gagak-gagak merobek langit. Dan waktu seperti merangkak, seolah memperlambat diri. Seperti langkah kucing hitam yang lamban, mengendusendus sesuatu yang abadi dari kejauhan.
Kemudian Batin Utama yang lamat-lamat mulai mengerti dan seolah mencium aroma kedamaian yang pekat itu pelan-pelan mendekat, ia menyuruh istrinya menyiapkan segala sesuatunya. Tak boleh terlambat.
“Cepat siapkan perjamuan terakhir buat pemuda itu. Siapkan juga pakaiaan, kain, seprai paling baik yang pernah kita miliki. Siapkan dan rapikan tempat pembaringannya nanti.”
Meski bingung, si istri melaksanakan perintah suaminya. Setelah selesai menyiapkan segalanya, mereka menyilakan si pemuda makan malam terlebih dahulu. Si pemuda menghadapi hidangan sambil berdoa.
Lalu malam itu, menjelang detik-detik yang mendebarkan, banyak orang yang berdatangan. Mereka melayat sebelum yang dilayat menjadi sekujur mayat. Tak pernah terjadi semacam ini. Mereka menangisi orang yang sebelumnya tak pernah mereka kenali, namun amat mereka cintai.
Dan detik-detik sakral itu pun hampir tiba. Setiap orang merasakan suasana muram yang tak biasa. Terasa denyut-denyut itu menjalar dan aroma asing memenuhi ruangan. Si pemuda mulai berbaring. Waktu terasa kian melambat, seperti siput yang enggan beranjak.
Dan ketika sempurna maut menjelang nyawa si pemuda, tubuh itu seketika jadi hening. Kosong, tak ada apa-apa di sana. Hanya tubuh yang terbujur kaku, tak bergerak. Seperti batu hitam yang dingin. Angin mendesir. Aroma duka makin terasa. Makin pekat. Setiap makhluk terasa bersungkawa. Burung-burung hinggap, menunduk dan berkabung. Di langit awan berarak murung. Pepucuk tanaman menguncup, terasa takzim seluruh makhluk dalam hening-cipta. Sebuah kepergian yang tak biasa.
Dan ruangan itu sesak oleh duka dan banjir air mata. Perempuan-perempuan meraung, seolah kehilangan sesuatu yang paling berharga melebihi sanak keluarga sendiri. Gadis-gadis yang tak tahan oleh kesedihan, berlari ke rumah dan menghempaskan diri di pembaringan sambil beruraian air mata. Lelaki dan orang-orang tua pun tak kuasa membendung kesedihan. Malam itu mereka tak ada yang terpejam matanya. Hingga pagi tiba.
***
LALU siapakah yang memainkan petikan dadi yang menggeletarkan hati jika pemuda pemetik dadi telah lama mati? Begitulah pertanyaan yang ada di dalam benak orang-orang.
Mereka selalu berusaha mencari tahu. Namun misteri tentang si pemetik dadi tetap menjadi rahasia yang terkubur di selubung hutan yang terdalam, dijaga oleh sekelok sungai, akar-akar pohon yang bergerak di kedalaman tanah yang lembab, desis ular yang berdiang di ceruk jurang, para liliput dan lelembut, tersimpan di alam orang bunian.
“Jadi, kau benar-benar tak tahu siapa sebenarnya si pemuda pemetik dadi itu, Kisanak?” tanya salah seorang pengunjung kedai tuak.
Lelaki muda itu hanya tersenyum, seolah senyumannya merupakan jawaban dari pertanyaan yang barusan terlontarkan. Setelah membayar makanan dan minuman yang telah ia pesan, ia beranjak begitu saja.
Pemuda itu berjalan semakin menjauh, tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Ia tergesa-gesa. Samar-samar mereka seolah melihat bonggol dadi di punggung pemuda tadi. Ya, mereka melihatnya. Namun, hanya samar-samar sebelum ia menghilang di tikungan jalan. (*)
.
.
Kotaagung, Januari-Mei 2011
.
Catatan:
Dadi: sejenis gambus kecil.
Bubiti: mengungkapkan rasa sedih
Adi-adi: pantun
Segata: nyanyian gembira
Pantun Simbatan: pantun bersahutan
Tari Bedana: tari khas Lampung yang biasa digunakan saat pesta adat.
.
.
Muhammad Amin, lahir di Kotaagung, Lampung, 31 Juli 1990. Menulis sejak di bangku SMA dengan berapresiasi di berbagai lomba. 2008, mendapat juara Sayembara Cerpen Tingkat Nasional Festival Bulan Bahasa Indonesia (Falasido) yang ditaja oleh Universitas Indonesia (UI). 2009, mendapat juara sayembara cerpen remaja yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL). Karyanya tersebar di beberapa media massa. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Memburu Matahari (Bisnis2030, Jakarta 2011). Kini tinggal di Tangerang.
.
Leave a Reply