Cerpen Saroni Asikin (Jawa Pos, 2 Oktober 2011)
SEGALANYA bermula Jumat malam itu. AC di kamar apartemen Eva mendadak mati. Udara yang memang gerah malam itu membuat kamar serupa pendiangan penuh bara menyala. Eva baru menyadari itu ketika dari dahinya berleleran keringat dan jatuh menetes ke bagian bawah dasternya. Begitu juga, tubuhnya mendadak serasa terbakar.
Dia mengumpat-umpat dalam bahasa jorok dan segera menghentikan keasyikannya berchatting dengan seseorang yang menyebut dirinya Creeper. Dengan jengkel, dia membawa tubuhnya yang terpanggang ke jendela. Membukanya dalam satu sentakan yang keras. Padahal jarang benar dia membuka jendela kamarnya sejak dia tinggal di apartemen itu dua tahun lalu. Buat apa? Toh tak ada yang menarik pada lanskap yang terpampang dari sebuah jendela di apartemen bertingkat 17 itu. Dia sendiri tinggal di sebuah kamar pada lantai tujuh. Dan beberapa kali membuka jendelanya, di luar lanskap yang tersaji hanya jajaran kamar-kamar pada apartemen seberang jalan. Apalagi kamar-kamar itu hampir selalu tertutup.
Jendela sudah terbuka. Itu tetap tak bisa membuat Eva sedikit lebih nyaman. Tak banyak yang bisa diharapkan dari udara gerah yang masuk ke dalam kamar. Tubuh Eva semakin berkeringat dan mendadak ada keinginan mencopot saja pakaian yang dikenakannya. Lagi pula dia tengah berada di kamarnya sendiri dan pada apartemen seberang tak satu kamar pun yang memperlihatkan jendela yang terbuka selain cahaya buram yang tampak pada kaca-kaca jendela yang tertutup.
Kenapa tidak melakukan sesuatu yang iseng ketimbang harus mengutuki AC yang mati, pikirnya. Tak mungkin dia bisa memperbaiki alat pendingin kamar, itu di luar kemampuannya. Dan ini sudah malam. Paling cepat baru besok pagi dia bisa mencari teknisi yang akan memperbaikinya.
Berpikir tentang keisengan itu, dia benar-benar mencopot daster yang dikenakannya. Lalu, hanya memakai bra dan celana dalam, Eva bergerak ke arah audio set-nya. Keras-keras dia menyetel The Doors. Sebelah tangannya menyentak pintu kulkas dan mengambil sebotol bir hitam dari jajaran botol-botol minuman lainnya. Dalam satu gerakan, tutup botol bir telah terbuka dan buncahan busa yang terkocok oleh gerakan tangannya tadi sempat meleler ke lantai.
Dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya, Eva bergerak lagi ke jendela setelah satu tenggakan bir. Mulutnya sibuk menirukan suara Jim Morisson dengan suara yang berat. Sampai di dekat jendela, liukan tubuhnya seperti sudah tak bisa dia kendalikan lagi. Lagu demi lagu telah terputar dan tubuh Eva semakin basah oleh keringat. Bir telah tandas dan dalam satu lemparan, botol itu terjatuh di atas kasur.
Eva masih meliuk-liuk dengan mata terpejam. Ketika itu, dirinya merasa sangat gembira. Dia baru berhenti ketika musik telah berhenti dan dia harus membalik kaset. Dia membuka mata dan pandangannya menatap sebuah jendela yang terbuka di sebuah kamar pada apartemen seberang. Sesosok orang tak begitu jelas tertangkap matanya dari jarak sekitar 100 meter dan lamat-lamat terlihat seperti tengah mencangkungkan dua tangannya di jendela. Eva merasa tatapan mata sosok itu menuju ke jendela kamarnya.
Dengan gemas dia mengumpat dan berpikir, orang itu pasti telah sempat menikmati tingkahnya tadi. Paling tidak sejak dia mulai memejamkan mata ketika menari hanya dengan bra dan celana dalam. Tapi dia buang segala kecanggungannya. Apa salahnya sesekali memberikan hiburan pada orang lain?
Eva bergerak lagi menuju audio set dan mulai berpikir untuk memberikan hiburan yang lebih fantantis lagi pada orang di seberang itu. Aku akan pelan-pelan mencopot bra dan celana dalamku seperti penari striptease, pikirnya. Kenapa tidak kulampiaskan saja kejengkelanku pada cuaca yang panas dengan membuat orang di seberang itu penasaran dan syukur kalau terhibur?
Eva mengambil lebih banyak botol bir hitam dari kulkas. Dia menarik ranjang dan mendekatkannya ke pinggir jendela. Dengan begitu, sekujur tubuhnya akan terlihat dalam bingkai jendela dibandingkan gerakannya barusan yang paling-paling hanya sebatas dada. The Doors segera dia ganti dengan instrumentalia musik latin yang menurutnya cocok untuk menari Salsa atau sejenis dengan itu.
Ketika semuanya sudah siap, dia memandang ke seberang dan sosok itu masih berdiri di dekat jendela dan terlihat tetap mencangkungkan dua lengannya. Eva tersenyum. Dia tahu pasti, pandangan mata orang itu tertuju ke jendela kamarnya. Ketika lebih seksama mengamatinya, dia yakin sosok itu seorang lelaki. Aha! Pikirnya, hiburan yang bakal dia sajikan serupa umpan untuk ikan yang lapar.
Maka menarilah Eva di atas kasur dalam bingkai jendela kamar di lantai tujuh sebuah apartemen. Awalnya dia meliuk-liuk perlahan sepelan tangannya yang menarik kait bra dan melukar kain tipis berenda itu sebelum dengan pelan-pelan melemparkannya ke luar jendela. Bra itu melayang turun. Biarlah esok paginya, seseorang akan menemukannya, hitung-hitung sebagai bonus hiburan bagi orang yang tak melihat aksinya malam itu. Dia mencoba membayangkan gerakan seerotis mungkin ketika mencopot celana dalam dan melemparkannya ke luar jendela.
Eva tak tahu berapa lama dia telah menari dengan gerakan-gerakan yang disangkanya sangat erotis itu. Di atas kasurnya, tujuh botol bir hitam tergeletak. Sisa-sisa bir yang tumpah membuat basah beberapa bagian atas sepreinya. Tubuh telanjangnya telah basah dan lelah sekali. Tapi sosok di seberang masih tetap dengan posisi yang sama. Seolah-olah lelaki di seberang itu sebuah patung yang sengaja diberdirikan menyandar jendela. Sebelum mengakhiri stripteasenya, Eva sempat menajamkan matanya mencoba mengamati secara lebih jelas. Dia tahu, tatapan sosok yang diyakininya seorang lelaki itu hampir selalu tertuju padanya. Tapi mengapa dia seolah-olah bergeming saja? Pertanyaan itu sempat mengganggunya sebelum dirinya yang tetap telanjang terlelap karena kelelahan di antara serakan botol-botol bir.
***
Setelah malam itu, setiap malam Eva hampir selalu tergoda untuk menari tanpa busana di dekat jendela kamarnya yang terbuka. Dirinya seolah-olah dihinggapi perasaan sangat bergairah ketika berpikir bahwa dengan menari telanjang di jendela kamar apartemennya dan dinikmati oleh orang tak dikenal di apartemen seberang, dia serupa seorang diva yang memesona. Ada perasaan puas memberikan hiburan pada orang lain.
Maka setiap malam, dengan selalu memakai kostum yang berbeda sebelum semua itu ditanggalkan dari tubuh pualamnya, Eva beraksi. Sudah bermalam-malam Eva melakukan itu. Dan meskipun, setelah sekian malam, aksinya selalu hanya ditonton satu orang saja di seberang, semua dilakukan dengan kesungguhan yang menakjubkan. Betapa tidak! Terobsesi menyajikan hiburan striptease yang bervariasi dan tentu saja sebisa mungkin memikat, dia telah meminjam banyak video yang berisi tarian erotis itu. Dia merasa telah mampu mempraktekkan hampir semua yang dilihatnya di video. Pelan tapi pasti, dia pun mulai dihinggapi perasaan bahwa dirinya seorang stripper andal.
Dan lelaki itu masih saja di jendela sana, mencangkung pada dua lengan dan tatapan mata tak bergeming ke arahnya. Dan meskipun ada pertanyaan yang menyesakkan dada Eva setiap kali melihat sikap lelaki di seberang yang bergeming itu, kelelahan di ujung tariannya selalu membuatnya terlelap tanpa impian, bahkan selalu pula tanpa sempat menyingkirkan botol-botol yang berserakan di kasurnya. Dia tertidur serupa mayat telungkup dengan satu tangan bertelekan pada jendela yang terbuka.
Hingga semuanya seolah bergerak menjadi sebuah rutinitas. Setiap malam, mati atau tidaknya AC, Eva akan membuka jendela kamar setelah menyetel musik keras-keras. Di kasur yang tak lagi dia tarik ke posisi sebelum di dekatkan ke jendela, beberapa minuman ringan dan keras telah diserakkan begitu saja di atasnya setelah diraup dari dalam kulkas. Lalu dia meliuk-liuk erotis di depan jendela setelah sekilas melihat sosok di seberang sudah mencangkung di jendela. Beberapa jam itu berlangsung hingga Eva didera kelelahan dan tidur tanpa impian.
Ketika bangun, dia sempat sebentar mengamati tubuh telanjangnya pada cermin di tempat riasnya. Dia tersenyum menyaksikan kemolekan tubuhnya sendiri meskipun sebenarnya perasaannya tak segembira dibandingkan saat menari dengan tubuh telanjang. Sebab, ketika menari telanjang itu, dirinya benar-benar merasa seperti seorang diva pencipta pesona. Semacam sebuah gairah untuk dipuja. Dan itu selalu ingin terus dilakukannya.
Dan gairah itu begitu menggubal dalam dirinya hingga Eva merasa dia begitu mencintai tubuhnya sendiri. Dia tergelak sendiri ketika menyadari dirinya tak lagi membutuhkan kencan dengan lelaki mana pun seperti yang acap dia lakukan. Bahkan, ketika bekerja di kantornya, dia seolah-olah abai pada godaan sejawat lelaki yang selama ini selalu ditanggapinya bagai seekor ayam betina yang tengah dirayu ayam jantan. Dia yakin, paling tidak meskipun dia hanya memiliki satu orang pengagum di seberang apartemennya, itu sudah mengalahkan gelora hatinya ketika berkencan dengan laki-laki mana pun.
***
Malam itu, tak seperti biasanya Eva menari tanpa gairah ketika dia tak melihat sosok yang biasa mencangkungkan lengan di jendela seberang itu. Jendelanya tertutup memperlihatkan kamar yang gelap. Tapi sebagai seorang yang telah merasa menjadi stripper sejati, Eva tak urung menari. Dia tetap memainkan gerakan meliuk-liuk sembari mencopoti semua yang dikenakannya.
Tapi itu tak berlangsung selama biasanya. Dia pun hanya sempat menenggak satu botol bir dan ingin segera tidur saja. Eva mencangkung di jendela dan mencoba menghibur dirinya sendiri. Barangkali lelaki itu memang belum pulang ke kamarnya. Atau mungkin juga dia telanjur kelelahan setelah seharian bekerja keras. Tapi dugaan semacam itu pun dielakkannya sendiri. Rasanya tak mungkin itu terjadi, sebab pasti lelaki itu akan berupaya mati-matian untuk bisa menikmati gerakan tariannya. Apalagi, sajian gratisnya seolah-olah telah terjadwal. Sudah pasti lelaki itu bisa mengagendakan jadwalnya sendiri agar bisa menikmati liukan tubuh polos di seberang apartemennya.
Beberapa saat lamanya Eva berada dalam kecamuk hati seperti itu. Lalu dengan sebuah pikiran yang lebih banyak untuk menghiburnya dia mengatakan pada dirinya sendiri, “Boleh jadi lelaki itu belum pulang. Baiknya aku tunggu saja beberapa lama.”
Tapi hingga kantuknya menyerang, kamar di seberang tetap gelap. Dan ketika keesokan malamnya dan beberapa malam berikutnya, kamar di seberang itu tetap gelap ketika Eva hendak menyuguhkan stripteasenya, dia diserang frustrasi yang hebat. Jujur Eva akui, dirinya begitu membutuhkan lelaki yang tak dikenalnya itu untuk mengagumi dirinya. Dan ketika sosok itu lenyap seolah hantu terterpa cahaya fajar, dengan kesal Eva mengutuki dirinya dan membantingi botol-botol minuman yang telah dia persiapkan di atas kasur. Setelah itu, dia tidur dengan gelisah dan penuh mimpi buruk.
Sejak itu, Eva tak lagi menari. Buat apa, katanya, buat apa menari tanpa seorang pun terpesona karenanya. Setiap malamnya dia hanya membuka jendela dan berharap setidaknya ada cahaya pada kamar di seberang itu. Dan kalau bisa, jendelanya lalu terbuka dengan sebuah sosok yang mencangkungkan lengan dan menatap ke arah kamarnya. Tak pelak lagi, sejak tak menari, malam hanyalah teror bengis baginya.
Hingga suatu malam, Eva melihat ada cahaya pada kamar di seberang itu. Hatinya bertempik. Dengan cemas dia menunggu jendela kamar itu dibuka dan sosok yang diharapkannya akan muncul. Teriakan girangnya terlontar begitu saja dari mulutnya ketika dia melihat jendela pelan-pelan dibuka dan sosok itu muncul dari balik jendela yang terbuka.
“Yes!” teriak Eva sembari meloncat dari kasur untuk menyalakan musik. Ketika mulai menari, baru malam itu Eva merasakan kegembiraan yang tak pernah dirasakan selama malam-malam penuh gelora tarian telanjangnya. Bahkan ketika asyik meliuk-liukkan tubuh, tak henti-hentinya mulutnya menceracap, “Lihat! Inilah stripper sejati. Sang Diva! Lihat, betapa lelaki itu mengagumiku serupa remaja tanggung yang kali pertama melihat tubuh telanjang lawan jenisnya. Lihat, lihat!”
Ya, malam itu Eva menari seolah tanpa lelah. Dia begitu bahagia. Ketika dia harus mengganti musik pada jeda tariannya, dan sosok itu masih tetap setia mencangkung di jendela dengan tatapan seolah terpaku ke kamarnya, Eva sempat geli ketika pikirannya didera pertanyaan, jangan-jangan dia telah jatuh cinta pada sosok di seberang itu. Tapi itu ditepiskannya. Dia yakin, dia hanya membutuhkan kehadiran lelaki itu untuk melihatnya menari telanjang. Dia hanya membutuhkan orang itu untuk mengagumi tubuh dan semua gerakan yang tercipta olehnya. Tak lebih dari itu. Tapi mendadak pula dia diserang keinginan untuk setidaknya mengetahui siapa lelaki itu sebenarnya. Setidaknya nama dia.
Begitu saja dia ambil ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. Sambil berjalan kembali menuju kasur yang menjadi arena tariannya, dia mencari tahu nomor telepon apartemen seberang ke operator. Begitu diperoleh dia pencet beberapa nomor dan jawaban ramah dari seberang terdengar. Eva sangat yakin, itu suara salah seorang penjaga apartemen.
Maka dengan tetap meliuk-liukkan tubuh, Eva menanyakan nama lelaki yang kini masih tetap setia menatap ke arah kamarnya. Suara di seberang berubah sedikit tak sabar ketika Eva tak bisa menjawab nomor kamar lelaki yang dimaksud seperti yang dikehendaki penjaga itu.
“Lho, bagaimana saya tahu nama penghuninya kalau Anda tak tahu nomor kamarnya?”
Eva tak kurang akal. Masih dengan meliuk-liuk, dia mengatakan, “Begini saja, Pak. Orang itu masih berdiri mencangkung di jendela kamarnya. Tepatnya pada lantai tujuh. Dan kalau Anda sedikit berkenan melihatnya, dengan mudah Anda akan mengenali. Sebab, setahu saya di apartemen Anda, sekarang ini hanya dia seorang yang membuka jendela dan berdiri di jendela.”
Eva menunggu dengan sabar. Ponselnya masih terus diaktifkan. Beberapa saat berikutnya, Eva melihat seorang lelaki keluar dari sebuah gerbang dan mendongakkan wajahnya ke arah sosok yang mencangkung itu. Eva sangat gembira melihat penjaga itu berlari masuk, lalu di ponselnya terdengar lagi suara si penjaga, “Hallo! Anda masih di situ? Begini, mungkin yang Anda maksud itu Manon. Tapi kamar yang disewa itu atas nama istrinya. Kalau orang buta itu yang Anda maksud, Manon namanya.”
Kalimat terakhir penjaga itu serupa sengatan lebah paling berbisa buat Eva. Seolah tak percaya dengan informasi itu, Eva berteriak, “Dia buta, Pak?”
“Ya! Kami semua mengenalnya karena dia satu-satunya yang buta di sini. Kabarnya dia memang suka menghirupi udara malam. Ada apa sebenarnya, Nona? Hallo?! Hallo, Anda masih mendengar?”
Ponsel Eva sudah jatuh ke luar jendela. Eva tak mendengar bunyi pecahnya yang menimpa aspal yang keras. Tapi dia seolah mendengar sesuatu yang pecah dalam dadanya sebelum tubuh telanjangnya lunglai tersandar ke jendela. (*)
.
.
Saroni Asikin, tinggal dan bekerja di Semarang. Cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media massa. Kontak: saroniasikin@yahoo.co.id
.
Giggs
cerita yang mengalir. kupikir, akan berakhir tragis: Si Eva meloncat ke luar jendela. eh ternyata, akunya tertipu, hahaha
saroni asikin
Terima kasih, Giggs.
Tadinya waktu menuliskannya, aku membiarkan Eva mau ngapain saja terserah dia. Tapi lalu aku tanya padanya, apa tidak ingin kenal pengagumnya karena biasanya yang ingin kenal itu pengagum, bukan yang dikagumi. Jadi sesekali berbalik peran. Eh, si Eva mau. Jadilah dia seperti itu, hahaha.
candra
mas saroni… kok bisa ya?? tulisan ini asik bget dibacanya. ringan tapi mantep…. aku boleh ambil ndak buat di baca eh salah dikoleksi..?? hee
saroni asikin
@Candra: Begitu terpublikasi, apalagi diunggah di internet (trims Kak Setta), cerpen itu bisa ikut dimiliki siapa pun. Terima kasih bahkan kalau Candra mau mengoleksinya. Biar semakin antik dan asyik. Kalau nggak asyik, ya di Asikin saja, hahaha.
Untuk Kak Setta, boleh ya nitip link ini: http://epilude99.wordpress.com.
Elisa pearl
yeeah … simple but awesome
good job
🙂
Ariesusduabelas
tak kira hantu. hahaha.