Cerpen Aris Kurniawan (Media Indonesia, 26 Mei 2013)
LELAKI tua itu masuk ke dalam rumahnya dengan langkah tergesa.
Dibantingnya daun pintu. Dari balik kaca jendela ia kemudian memandang penuh benci kepada lelaki muda yang duduk sambil merokok dan menikmati kopi di balkon seberang rumahnya. Cuih. Ia yakin perempuan tua itu yang menyuruh lelaki muda duduk di sana, supaya terlihat olehnya dan merasakan hidupnya semakin hancur.
Ia tahu, perempuan tua itu tengah bersolek di kamarnya. Sebentar lagi mereka akan pergi bersenang-senang entah ke mana. Mungkin ke sebuah vila atau di kamar hotel pinggiran kota. Dasar sundal, gumamnya. Lelaki tua duduk menyandarkan punggungnya di kursi. Rambut tipisnya yang berantakan membuat ia makin tampak letih. Sakit di tengkuk dan lututnya belakangan makin sering datang dan menyiksanya.
Di rumah ini ia tinggal sendiri. Pembantunya hanya datang pagi untuk menyapu, mengepel, mencuci baju, dan mengganti air di jambangan bunga. Selebihnya tinggal dan menjaga di rumah perempuan tua itu. Rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah lelaki tua hanya dipisahkan halaman dan rumpun bambu kuning sebagai pagar pembatas dan membagi taman menjadi dua, meski sisi kanan kedua bangunan kembali disatukan oleh pintu gerbang yang sama. Tak ada yang menyita pikirannya sekarang, kecuali putri bungsu kesayangannya dan perempuan tua itu.
Rumah yang ditempati lelaki tua memang bagian dari rumah perempuan tua itu. Keduanya dulu pasangan suami istri yang serasi, sama-sama sukses mengelola usaha penerbitan majalah.
Namun justru karena itulah keduanya tak pernah berada di rumah dalam waktu bersamaan. Hal yang kemudian diikuti anak-anak mereka. Jim si sulung dan Margareth si tengah sudah keluar dari rumah ini, membawa keluarga masing-masing ke kota lain, mungkin juga negara lain. Sebagaimana Jim, hanya sekali Margareth berkunjung setelah pernikahan mereka yang digelar dengan megah. Waktu itu hubungannya dengan perempuan tua belum seburuk sekarang.
Sejak pernikahan kedua kakaknya, si bungsu Ciara, yang tiba-tiba datang membawa masalah, ikut-ikutan meninggalkan rumah. Tak pulang-pulang kecuali sekadar mengambil buku dan baju. Jim dan Margareth kabarnya telah memberinya cucu. Lelaki tua menghela napas berat. Ia tak ingin menyalahkan mereka yang abai pada dirinya. Sejak awal ia berpikir bahwa anak-anak memiliki hidup mereka sendiri. Mestinya termasuk garis hidup yang kini dilakoni Ciara. Tapi ternyata tidak mudah.
***
Lelaki tua segera menghapus lamunannya dan kembali menunggu adegan yang dipertontonkan perempuan tua dan lelaki muda itu berikutnya. Benar saja, tak lama kemudian perempuan tua muncul di balkon dan menghampiri lelaki muda, meminta komentarnya tentang gaun yang dikenakan dengan lagak manja gadis remaja seperti yang sudah dihafal lelaki tua itu.
Perempuan tua berputar layaknya model di panggung peragaan busana, sembari cekikikan. Sementara lelaki muda memandanginya serius, lantas memberi komentar. Perempuan tua mengenakan gaun warna biru dengan belahan dada rendah, sepatu hak tinggi berwarna senada.
Adegan itu sangat menghancurkan perasaan lelaki tua. Namun anehnya ia terus memperhatikan setiap gerak-gerik mereka seakan rasa nyeri yang ditimbulkannya memberi kenikmatan tersendiri. Sekarang lelaki muda bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam untuk kemudian muncul kembali membawa cawan anggur untuk perempuan tua yang terlihat terus sibuk mematut-matut diri. Ia meraih cawan yang disodorkan lelaki muda, sebelum meminumnya bersama-sama mereka melakukan toast, diiringi suara tawa yang makin terdengar menusuk di telinga lelaki tua.
“Tingkah mereka keterlaluan,“ dengus lelaki tua. Ia bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir seperti orang linglung. Kepalanya berdenyut menahan ledakan kemarahan. Sejak dari sanggar tadi ia berniat mendatangi perempuan tua itu untuk mengajaknya bicara perihal putri bungsu kesayangan mereka yang telah membuat pengakuan, dan membuatnya terpukul dan sedih. Sejak mendengar pengakuan putrinya, ia berencana segera mengajak bicara perempuan tua itu. Ia merasa tidak dapat menyimpan kesedihan sendirian. Tak mungkin rasanya ia membagi kesedihan yang satu ini dengan kawan-kawan terdekatnya sekalipun. Mereka hanya bisa diajak bicara tentang seni, politik, filsafat, dan omong kosong lainnya, tapi tidak tentang putri bungsunya.
Hanya dengan perempuan tua itu ia harus bicara, karena ia menganggap perempuan tua itu musabab seluruh kesedihan ini. Namun, lelaki tua tidak tahu bagaimana cara mengajak perempuan tua itu bicara. Bahkan untuk meneleponnya, ia seolah kehilangan cara. Ia takut harga dirinya jatuh dan perempuan tua itu makin merasa di atas angin. Lelaki tua mengingat-ingat kapan terakhir kali ia melakukannya. Ah, mungkin sepuluh tahun lalu.
Perempuan tua dan lelaki muda itu masih duduk di balkon. Meneruskan minum anggur sembari ngobrol ngalor ngidul tanpa topik yang jelas. Tentu saja tak perlu topik karena mereka mengobrol bukan untuk keperluan apa pun selain menyakiti lelaki tua itu. Sekali waktu perempuan tua mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki muda seperti mau menciumnya, berbisik-bisik entah apa, lalu tertawa. Sesekali ekor matanya melirik ke rumah lelaki tua yang pintunya tertutup rapat.
Lelaki tua masih menahan diri. Ia telah berpikir keras, namun semuanya buntu. Harapan bahwa perempuan tua itu lebih dulu mendatangi dan mengajaknya bicara sama sekali tak ada. Ia bergerak ke ruang tengah, menjangkau sebotol wiski dari minibar untuk melumuri tenggorokannya yang kering. Ia minum perlahan-lahan seraya berharap keajaiban datang. Saat berpikir seperti itu, dilihatnya perempuan tua dan lelaki muda beranjak dari balkon. Mereka turun menuju garasi mobil.
“Kenapa kamu memilih warna ungu?“ ujar lelaki muda seraya meraih kunci mobil dari genggaman perempuan tua. Lelaki muda membuka pintu mobil dan menyalakan mesin, sementara perempuan tua masih merapikan rambut dan memeriksa tas tangannya. Pada saat itulah lelaki tua keluar dari rumah, berjalan menyeberangi taman menuju pintu gerbang utama, lantas menutup kembali pintu gerbang yang telah dibuka oleh pembantunya, menguncinya dengan gembok berbeda.
Perempuan tua memalingkan wajahnya ke arah lelaki tua, seakan melihat sesuatu yang memuakkan.
“Morgan, apa yang kamu lakukan?“
“Kau pikir apa yang kulakukan?“ sahut lelaki tua itu.
“Hei, ada apa denganmu? Kamu sedang mabuk?“
“Marce, aku ingin bicara,“ kata lelaki tua.
Perempuan tua tersenyum sinis. Memalingkan wajahnya ke rumpun bambu kuning yang daun-daunnya berkesiur ditiup angin sore.
“Morgan, buka pintunya! Bukankah kita sudah sepakat tidak saling mencampuri urusan masing-masing?“ tukas perempuan tua.
“Marce, suruh pulang pelacur itu, kita harus bicara,“ suara lelaki tua terdengar bergetar.
“Morgan, apa yang kamu inginkan?“
“Kita harus bicara.“
“Morgan, ada apa denganmu? Kita sudah tak lagi punya urusan apa-apa!“
“Ini bukan tentang urusan kita, tapi tentang Ciara.“
“Kamu terkejut dan malu dengan pengakuan Ciara?“
Lelaki tua memandang tajam mata perempuan tua. Tapi yang dipandang tetap terlihat tenang dengan senyum sinis yang tak surut dari bibirnya. Lelaki itu tahu betapa dirinya kini kalah telak. Ia betul-betul terlihat tolol seperti badut di taman hiburan. Harga dirinya terempas dan mustahil dapat dikembalikan. Namun, lelaki tua masih berupaya bertahan dengan susah payah supaya tidak benar-benar jatuh tersungkur dan diinjak-injak perempuan tua itu.
“Tak perlu sentimentil seperti itu, Morgan,“ kata perempuan tua kalem dan meremehkan, “Urus saja hidupmu yang tak berguna itu.“
“Kamu pikir hidupmu lebih berguna dari tikus-tikus got itu?“
“Apa pedulimu dengan hidupku? Lekas serahkan kuncinya,“ tukas perempuan tua dengan sikap pongah yang makin tak terduga oleh lelaki tua, “Aku tak punya waktu berdebat dan membicarakan apa pun denganmu.“
Lelaki tua bergeming. Ketika perempuan tua hendak merenggut kunci dari tangannya, dengan cepat ia melemparnya ke kolam, lantas bergegas meninggalkan perempuan tua dengan harga diri turut terpelanting ke dasar kolam. Lelaki tua tak bernyali lagi memandang perempuan tua itu, ia berdiri tegak penuh kemenangan. Menggandeng laki-laki muda, perempuan tua kemudian keluar lewat pintu lain, dan menelepon taksi.
***
Saat lelaki tua hendak membanting tubuhnya ke sofa, telepon selulernya bergetar. Dari Ciara. Tapi keberaniannya telah raib. Menjelang tengah malam, barulah ia menekan tombol kotak suara: “Papi, kami besok ke Belanda. Kami akan menikah di sana. Minta restunya.“
Sejujurnya lelaki tua mungkin tak benar-benar merasa terpukul dan mau memberikan restu jika saja pasangan putri bungsunya itu bukan mantan kekasih yang masih ia cintai.
Kebon Sirih, 2013.
Aris Kurniawan, tinggal di Jakarta. Bukunya Lagu Cinta untuk Tuhan (2005)
Leave a Reply