Cerpen Mona Sylviana (Koran Tempo, 2 Juni 2013)
DARA langsung menutup lagi pintu. Tapi asap putih dan bau knalpot telanjur menyerbu masuk kamar. Sambil menyisipkan kain penutup jendela di paku kusen, membuka kaca nako dan pintu triplek, tangannya mengibas-ngibaskan sarung.
Ah, kenapa knalpot Mas Anwar nyemburnya persis di depan kamar?
Jaka tersenyum melihat muka Dara memberengut dan melemparkan sarung sembarang ke dalam kamar. Tak lama, perempuan itu melenggang dengan membawa tumpukan pakaian.
Nah, nah, dia lupa lagi nutup pintu….
Jaka masuk membatalkan langkahnya masuk kamar. Terdengar kran air dibuka. Dari beranda lantai atas, laki-laki itu memerhatikan pintu kamar Dara yang menganga.
Kok enggak belajar dari pengalaman?
Dua minggu lalu kamar Pak Karyo yang persis di seberang kamar Dara dimasuki maling.
“Aku merasa salah banget, Jek. Aku inget muka orang itu. malah dia sempat tanya kamar kosong. Aku bilang ada satu lagi, itu yang di seberang, tapi tanya aja ke Pak Haji. Terus dia tanya rumah Pak Haji. Ya, aku kasih tau. Tapi perasaan memang enggak enak, Jek, makanya aku ngunci pintu sebelum ke kamar mandi. Kayaknya pas itu dia ke kamar Pak Karyo. Dan Pak Karyo lagi mau makan siang. Dia hanya sebentar ke kamar mandi. Aku denger dia nyanyi-nyanyi sambil nyuci sendok. Pintunya memang terbuka. Aduh, kasian ya. Itu kan uang hasil parkiran, hasil kerja dia dari pagi. Aduh, beneran, Jek. Aku merasa salah banget. Harusnya aku liatin tu orang.”
Setelah kejadian itu, hampir semua penghuni kamar mengingatkan Dara dan Pak Karyo, yang selalu teledor, untuk tidak lupa menutup pintu.
Masih aja lupa….
Dara mengaduk-aduk pakaian. Busa sabun meluapi ember. Perempuan itu mematikan kran. Matahari pukul 10 merayapi atap asbes, tali jemuran, dan sliweran kabel. Tetes air terlihat mengkilap di sepanjang lengan perempuan itu.
“Ehm… ehm….”
Dara tengadah, “Hai. Tumben belum mandi. Kok melotot?”
Jaka menunjuk pintu kamar dengan dagunya yang belum dicukur. “Berapa kali diingatkan…”
“Apaan sih?”
“Nada dasarnya ketinggian. Itu tu. Pintu kamarmu.”
“Eh iya. Lupa….” Dara mengerling. Menyembunyikan malu dengan menyapu rambut di dahi. Perempuan itu mengangkat kain pel. “Aku beberes dulu ya.”
Jaka tahu apa yang dikatakan Dara dengan beberes. Kain pel basah diletakkan di atas tempat sampah kecil di dekat pintu kamar. Ia menepuk-nepuk kasur kapuk, menekuknya jadi dua. Lalu melipat sarung, meletakkan di atas lekukan kasur, di samping bantal. Memindahkan tumpukan buku ke atas dus. Mengeluarkan piring dan gelas kotor. Memunguti rontokan rambut, semut-semut mati, serta abu rokok. Setelah itu, barulah ia yang selalu lupa membeli sapu itu mengepel kamar ukuran 2,5 x 3 meter. Sambil menunggu kering, biasanya Dara duduk di teras kamar sambil membersihkan daki di sela-sela jari kaki.
Tapi….
Perempuan berambut pendek itu menuju kamar samping kamar mandi.
“Kak Maria, aku boleh minta kresek bekas ya. Mana Kris? Pagi-pagi enggak denger dia sepeda-sepedaan. Biasanya kan jam segini udah hilir mudik depan kamarku….”
“Diajak papanya ke sekolah.”
“Oh….”
“Dari malem Kris sudah gelisah. Tadi jam 5 dia langsung minta mandi.”
Dara tertawa. “Kris mandi pagi? Tumben… Dia kan sama kayak aku, males mandi.”
“Itu juga yang papanya bilang. Enggak kuliah?”
“Nanti siang. Eh, makasih ya, Kak.”
“Ya….”
Mata Dara mengarah ke deretan kamar di lantai atas, “Hai, penggemar misterius. Ngapain masih di situ? Ngintip aku ya? Sana mandi….”
Jaka melotot. Menyeringai. Laki-laki itu menarik handuk dari pembatas setinggi perut di kamarnya.
Dara membalikkan tempat sampah plastiknya. Kertas buntelan rambut rontok, puntung rokok, plastik bungkus sayur, tisu, kapas, menggelosor dalam kresek. Serpihan sampah yang tidak tertampung disapu sembarang dengan samping kaki. Sambil mengikat ujung kresek Dara menyeret sandal jepit ke depan gang selebar dua rentangan tangan.
Berjarak tiga langkah kaki dari tempat sampah, Dara melempar. Buntelan kresek tersangkut di tanaman bunga kertas. Tiga orang laki-laki yang duduk di depan warung sudut gang menoleh. Mereka tersenyum. Mungkin ingat dua hari lalu dikejutkan jeritan Dara ketika melihat bangkai tikus di tempat sampah. Dara membalas senyum mereka dengan anggukan kepala.
Baru saja perempuan itu hendak melangkah, sebuah sepeda berhenti. Persis di samping tempat sampah, sebuah bak mandi bekas biru kusam. Tempat sampah untuk delapan kamar itu diletakkan di atas jejeran kayu. Yang menutupi selokan yang airnya hitam pekat seperti adonan dodol. Penuh jentik dan kecebong.
“Hai….” Si pengendara sepeda menyeka keringat di ujung hidungnya. “Saya kebetulan lewat. Dan di waktu yang tepat.”
Dara memutar torsonya.
Sekitar dua puluh langkah di belakang terlihat seorang ibu berkerudung menyeret anak laki-laki yang meronta. Dari dua lubang hidung anak kecil itu ingus masih meleler. Mata sipitnya bengkak. Sisa tangisan masih terdengar.
Laki-laki itu tegak di atas sepeda di hadapan Dara.
“Saya dari Sumatera. Kalau di kampung kami, ini namanya pucuk dicinta ulam tiba. Sesuatu yang diharapkan akhirnya datang juga. Saya percaya di setiap daerah di Nusantara ini pasti ada pepatah sejenis. Itu semacam kepercayaan dan kerendahhatian pada berkah, rejeki. Nah, kalau waktu kamu pulang malam-malam, itu bukan berkah. Kamu ingat kan? Tepat tanggal 10 minggu lalu. Kamu pakai jins dan kaos hijau. Rambutmu diikat ke belakang. Dan tanpa jaket. Padahal itu jam 11 malam. Saya ingat persis, karena saya sempat lihat jam di warung itu…. Kembali ke soal berkah. Nah, kalau dilihat kejadian malam itu, saya sedang dalam perjalanan pulang, sama seperti kamu. Itu artinya kita berjodoh. Tapi sayangnya waktu itu saya sedang bawa banyak barang. Baru selesai kegiatan dies di kampus dan koordinator logistik. Ah, lagi pula, ini yang terpenting, tidak elok rasanya ngobrol malam-malam. Ini yang kadang banyak dilupakan. Etika. Coba bayangkan, apa yang akan dipikirkan orang kalau saya menghampiri kamu, lalu kamu mengajak saya ngobrol, walau hanya di teras? Sangat tidak….”
Bibir si pengendara distop klakson. Sebuah kepala bertopi melongok dari jendela bajaj.
“Kurang, kurang…. Mepet sonoan dikit.”
“Iya, Bang.”
Laki-laki itu memundurkan sepedanya, memepetkan ke tembok.
“Yak. Ngepas. Tengkyu, fren….”
Dara menarik kresek yang tersangkut. Duri di batang bunga kertas melubanginya. Puntung rokok dan remasan kertas jatuh ke selokan. Dengan kayu dan serok dari samping tempat sampah, Dara mengambil yang terjatuh. Kertas seketika memburam. Puntung rokok malah menyatu dengan lumpur.
Bajaj lalu dengan knalpot bising dan kepulan asap tebal serupa selimut kapas.
Laki-laki itu menyenderkan stang ke tembok. Kaki kanannya menahan sepeda. Matahari membuat kepala di bawah helm itu basah. Keringat meluncur dari pelipis ke pipi.
“Sebenarnya warga sini sudah sadar pentingnya hidup sehat. Gang sempit ditanami tanaman untuk mengisap polusi. Tapi belum cukup, belum maksimal. Contohnya sampah itu. Coba kalau dari sini, di hulu, sampah rumah tangga sudah dipisahkan. Sampah basah. Sampah kering. Minimal warga punya kompos. Selain berfungsi sebagai pupuk juga mengurangi volume sampah. Kamu tau berapa jumlah sampah rumah tangga di Jakarta? Enam ribu lima ratus ton per hari. Gila. Itu seukuran empat kali lapangan bola. Gila… Tapi, kembali ke soal waktu dan tempat. Kita memang harus memikirkannya secara serius. Karena waktu memang serius. Orang tua kita dulu, bahkan sampai sekarang, masih mencari waktu baik untuk melakukan sesuatu. Untuk menanam padi, untuk hajatan, bahkan untuk bepergian. Itu bukan takhayul atau mistik. Sangat, sangat rasional…. Kalau memang mau dirasionalisasi. Waktu itu berkaitan dengan putaran matahari, putaran bumi, pergerakan kosmos. Gerakan itu langsung atau tidak mempengaruhi para penghuni kosmos. Jadi jangan pernah rendahkan kepercayaan orang tua kita.”
Tangan kiri Dara memegang kayu. Tangan kanannya menepuk paha. Nyamuk gepeng melekat bersama darah.
“Eits, hati-hati dengan nyamuk. Selain jadi penanda pergantian musim dan kadar kebersihan, binatang itu sangat berbahaya. Malaria, demam berdarah, chikungunya… ribuan orang mati. Siapa sangka? Saya ada cerita soal makhluk-makhluk kecil lain yang mempengaruhi dunia. Tapi nantilah. Kita kembali soal waktu. Mungkin nanti sore atau di hari lain ya? Walau menurut saya… sore ini baik. Cuaca mendung tapi tidak akan turun hujan, udara tidak terlalu panas. Sama seperti udara waktu kita ketemu di jalan Murbai. Oya, saya hampir lupa. Waktu itu saya sudah mau nyebrang, mau bantu kamu bawa belanjaan, eh kamu malah masuk lagi. Pasti ada yang lupa dibeli. Kamu kan sering begitu. Susah payah saya nyeberang, tau sendiri kan jalan itu. Padat. Semrawut. Waktu saya sudah nyebrang, masuk ke toserba, eh kamu enggak ada. Aneh. Padahal kamu pakai kemeja coklat yang sejujurnya sangat saya, jadi harusnya saya bisa cari kamu…. Sore ini? Baik. Baik. Nantilah kita lihat. Sekarang kan kamu harus siap-siap kuliah…”
Laki-laki itu mengangkat sepedanya. Berbalik. Mengayuh sadel seirama kolecer yang dibawa lari lima anak berpakaian seragam sekolah. Menghilang di ujung gang.
“Hayo…. Bengong.” Perempuan itu tersentak. Ia tidak melihat kedatangan, terlebih kibasan jari Jaka di depan matanya. “Siapa tu si klimis?”
Dara menarik celananya yang kedodoran.
“Dara….”
“Apaan?”
“Pura-pura dalam perahu…. To be or not to be?”
“Jangan aneh deh, Jek. Aku baru aja disambangi makhluk super-aneh.”
“Super-aneh gimana?”
“Ya, itu. To be or not to be.”
“Aduh…. Bicara yang jelas.”
“Ini sudah pakai bahasa Indonesia. Masih kurang jelas?”
“Ya. Ya. Terus?” Jaka menguntit Dara.
“Kok terus…. Yang kautanyakan itu, mukanya aja baru kulihat barusan.”
Kaki Jaka berhenti.
“Aneh kan, Jek….”
Bayangan tubuh Dara di retakan semen jalan menuju kamar kontrakan menjauh. Laki-laki itu mematung, dikerubungi nyamuk-nyamuk. To be or not to be.
Mei 2013
Mona Sylviana giat di Institut Nalar Jatinangor, Sumedang. Buku cerita pendeknya adalah Wajah Terakhir (2011).
Leave a Reply