Cerpen Dodi Prananda (Media Indonesia, 2 Juni 2013)
HARI itu, ibu membawa seorang lelaki ke rumah. Tampan. Melihat raut wajahnya yang sangat muda, aku yakin, aku dan dia agaknya seusia….
Ibu hampir selalu lupa. Aku selalu mengamatinya dari kejauhan. Mengamati bagaimana rasa cemas bersarang di dadanya, ketika ia memasukkan anak kunci ke lubang pintu. Aku bahkan tidak meluputkan setiap kata yang meluncur dari mulut ibu, ketika lelakinya masih berdiam di depan pintu, sembari melongokkan kepala ke dalam rumah.
“Masuklah,” kata ibu. Dan, lelaki ibu pun masuk. Ia duduk di sofa.
Ibu di dapur, membuat minuman. Ia agak terkejut ketika ibu datang dari belakang dan, “Itu foto suamiku,” kata ibu. Lelaki itu mengangguk kecil dan menaruh kembali pigura itu. Ada aku, ayah, dan ibu di sana.
Ibu memberi senyum lelaki itu. Seolah membalasnya dengan kesan kedatangannya ke rumah, lelaki itu pun membalas senyum ibu. “Kalau yang ini putrimu?” Ia bertanya, menunjuk fotoku dengan pose di sebuah taman rekreasi, suatu hari bersama ayah dan ibu semasa kecil.
Ibu mengangguk, dan ia melanjutkan senyumnya ketika lelakinya berkata, “Dia cantik ya? Sepertimu.”
***
Kehadiran lelaki itu dalam hidup ibu membuat aku merasa kehilangan ibu. Aku merasakan sejak beberapa hari belakangan ibu jarang di rumah. Aku tidak pernah lagi mendapati ibu dengan kebiasaannya kotor-kotoran dengan celemek di tubuh yang penuh dengan bercak-bercak tepung karena seharian berada di dapur.
Aku juga merasa kehilangan tawa ibu ketika ia duduk di ruang tengah, menonton sinetron, maksudku menertawai sinetron dan berkata, “Sinting.” Juga, tidak ada suara bising dari mesin blender ketika ibu menyiapkan jus, minuman wajib sehabis makan siang. Pun, tidak ada lagi sosok yang duduk di depan beranda. Yang selalu menunggu aku pulang.
Anehnya, ketika ibu jarang di rumah, aku menjadi betah berada di rumah. Di ruang tengah, aku tidak lagi mengendus sisa bau alkohol. Aku ingin marah pada ibu, tapi aku tidak tahu bagaimana aku harus melakukannya. Jujur, aku tidak menyukai lelakinya. Juga tidak suka pada kebiasaan ibu yang baru akan pulang setelah berhari-hari tak pulang-pulang ke rumah tanpa kabar. Kini, aku yang ingin mengatai ibu dengan cara ia menertawai sinetron yang ia tonton, “Sinting.”
Aku benar-benar jarang keluar rumah. Aku jadi lebih senang dibiarkan sendiri di rumah. Dan hari itu, aku berhenti di depan kamar ibu. Dari sanalah aku mulai menyadari, semenjak aku dewasa, aku tak pernah lagi menginjakkan kaki di kamar ibu.
Tak sedikit pun aku tahu bagaimana bentuk dan isi kamar itu saat ini. Perubahan apakah yang terjadi di dalamnya setelah terakhir kali aku masuk ke kamar itu, di saat aku masih anak-anak.
Masuk ke kamar ibu, artinya haram. Itu yang kusimpulkan. Sejak ayah tiada, ibu tidak lagi terbuka denganku. Kamar baginya menjadi sesuatu yang rahasia. Tabu bila aku bicarakan. Kamar menjadi wilayah pribadi yang bila aku masuki, aku telah melanggar pantang.
Aku sekonyong-konyong teringat Mayunda, temanku yang ibunya juga single parent. Ia pernah bercerita, dulu, bahkan sebelum ayahnya bercerai dengan ibunya, ia masih sempat masuk ke kamar ibu. Duduk di kursi rias untuk memacak lipstik, calak, dan eyeliner. Bahkan, bila ayah tak pulang ke rumah karena lembur, ia yang menemani ibunya tidur di kamar.
Mayunda mengaku kaget ketika suatu hari ia lancang masuk ke dalam kamar. Ia menyentuh benda itu di ranjang ibunya. “Kondom,” katanya kepadaku, dan ia terisak tiba-tiba ketika mengingat tangan ibunya mendarat di pipinya. Keras dan rasanya panas. Ia telah melanggar pantang yang selama ini ia jaga.
***
“Kamu baik-baik ya di rumah. Hari ini, ibu mau ke luar kota sama Om Rafa,” ujar ibu sambil melumuri permukaan roti tawar dengan margarin dan seres.
Aku beri ia anggukan. Selang 5 menit, bunyi klakson mobil Om Rafa menyalak keras. Ibu menaruh roti yang baru ia masukkan ke mulut tiga kali gigitan. Ia bergegas ke kamar, mengambil tas, menyemprotkan minyak wangi, memperbaiki rambutnya di depan cermin, mencium pipi kanan dan kiriku, lalu pergi.
Aku terdiam sejenak.
***
Di kepalaku, terlalu banyak pikiran menyeruak. Aku susul ibu menuju daun pintu ruang tamu. Ibu tampak buru-buru. Mobil itu telah melaju. Aku menutup pintu. Kulangkahkan kakiku perlahan. Telapak kakiku menyentuh lantai ubin warna putih yang dingin. Sejenak kuhentikan langkahku. Aku mendekat ke dinding dan menempelkan kupingku di sana. Betapa aku menyadari, ada suara yang agak samar. Terdengar seperti suara ribuan lelaki yang bersahutan dari dalam kamar. Warna suara yang aku simpulkan dari pita suara berbeda semakin meyakinkanku kalau tak hanya ada satu atau dua laki-laki di dalam.
Kugeser kain tirai di depan pintu kamar ibu ke samping. Aku masih mendapati foto ibu menempel di sana. Foto itu seperti meledekku; bagaimana kabarmu hari ini, apa sedang kesepian lagi?
Agak terkaget, kulihat anak kunci tergantung lemas di lubang pintu. Anak kunci yang terkulai bersama kunci-kunci duplikat lemari dan kamar mandi. Dengan ringan, tanganku memutarnya. Sebentar kemudian, terdengar bunyi tanda pintu sudah tak terkunci. Bergegas kubuka pintu kamar ibu. Aku lupa, aku baru saja melanggar pantang. Melanggar pantang yang selama ini kuyakini sebagai sesuatu yang ‘haram’.
Aku semakin penasaran, apa yang ada di kamar ini. Aku teringat bagaimana Mayunda menangis di hadapanku ketika tamparan panas di pipinya itu membuat ia bersedih, ketika hari itu ia mendapati kondom di kamar ibunya. Aku melupakan bagaimana kesedihan Mayunda setelah ia melanggar pantang dan aku terus berjalan pelan, masuk, masuk dan terus masuk ke dalam wilayah pribadi ibu.
Bantal-bantal berserakan di lantai. Kasur dan seprai nyaris terbongkar. Semua sudah sangat menjelaskan, betapa telah lamanya ibu tak membersihkan kamar ini. Karena tak ada seberkas pun cahaya, kunyalakan lampu. Tapi, tak mau juga menyala lampunya. Namun, semua kesadaranku terserap ketika aku menyadari, dari dinding berwarna cokelat gambar yang penuh debu, aku seperti mendengar suara jeritan dan sahutan lelaki.
Lampunya menyala. Bohlam 5 watt yang sekarat. Menyisakan cahaya redup terang redup terang. Aku melangkah kaki. Baru kuketahui, ternyata ibu hobi mengoleksi foto-foto lelaki yang sudah dibawa ke rumah. Termasuk foto Om Rafa, terlihat tampan di baris kesepuluh. Foto-foto itu ditempelkan di dinding kamar. Dan ketika kusentuh, foto itu seperti bersuara, seperti ingin bercerita dalam jeritan, tangisan, dan sahutan….
Pada sebuah foto, di barisan yang tak lagi terhitung, aku menemukan sebuah foto lelaki. Tampan dan masih muda. Aku tercenung. Wajahnya, sangat aku kenali. Bagai tak nyata, kudengar dari luar kamar, ibu hendak masuk kamar. Bukankah ibu sedang di perjalanan ke luar kota? Aku bersembunyi di samping lemari. Suara sepatu hak tinggi ibu terdengar ngilu. Ia tarik tangan lelaki yang berdiri di luar pintu. Lelaki itu hanya diam dan pasrah, ia turuti saja apa yang ibu mau.
Lelaki itu? Lelaki di foto yang membuat aku tercenung. Lelaki yang mengajari aku tentang cinta di dalam kamar, lelaki yang selalu mendongengkan padaku bahwa kami akan tinggal seatap, ia akan senang rahimku akan menghadiahinya sepasang bayi mungil, lelaki yang selalu mendongengkan ke telingaku tentang musim-musim yang indah, kencan senja, impian untuk bercinta di luar angkasa. Lidahku terasa dijepit erat-erat. Suaraku tercekat. Ingin kuhentikan apa yang diperbuat ibu dengan lelaki itu. Tapi, ibu dan lelaki itu sudah lebih dulu naik ke atas ranjang. Lampu telah dipadamkan.
***
“Salsa…!” sahut ibu mengagetkanku.
“Ibu pergi dulu, kamu baik-baik ya di rumah,” sambungnya.
Di luar, suara klakson dari mobil Om Rafa semakin menyalak keras. Aku membalas lambaian tangan ibu. Sejenak, aku kembali tergugu. Menutup pintu. Lalu bergegas menuju kamar ibu. (*)
Depok, 190911–210912
Dodi Prananda, buku cerpen terkininya, Waktu Pesta (2013)
Leave a Reply