Cerpen Fariz Alnizar (Republika, 9 Juni 2013)
SETIAP kali ada hajatan di kampung kami, setiap kali pula tidak sah rasanya jika tidak memanggil Wak Soimun. Ia kamitullah atau semacam modin di kampung kami. Modin itu konon katanya berasa dari bahasa Arab imamuddin yang artinya pemuka agama. Sebagaimana Wak Soimun, setiap kali ia diundang hajatan, itu berarti ia harus memberi tausiah, wejangan, atau minimal apes-apes-nya membaca doa.
Karier Wak Soimun sebagai modin diawali ketika orangtuanya, yakni Kiai Ngali Muslih, meninggal. Waktu itu, Wak Soimun baru lulus dan pulang dari pesantren. Konon katanya, sebagaimana yang dituturkan oleh teman sekampungnya yang sama-sama bersekolah di pesantren, Wak Soimun ini anaknya nakal, tapi pintar. Ia selalu tertidur, bahkan saat sekolah. Tapi, ketika ditanya oleh gurunya atau bahkan saat ulangan, ia selalu mendapat predikat istimewa.
”Ndak tahu ya, apa itu karena memang dia yang cerdas atau memang karena bapaknya yang rajin tirakat untuknya,“ kata Ismail, teman sekolah sepesantrennya kala itu.
Kecerdasan Wak Soimun muda memang luar biasa, kecerdasan yang tidak dijumpai pada teman-teman lain sebayanya. Ia istimewa di mata guru-guru dan pengasuh pesantrennya, sehingga akibat rasa sayangnya itu hampir tak pernah ia dihukum oleh pengasuh pesantren walaupun ketahuan melakukan pelanggaran dan kenakalan-kenakalan yang tak wajar, semisal, merokok atau mengintip santri perempuan.
Tujuh hari pascameninggalnya Kiai Ngali Muslih, Wak Soimun muda dinobatkan oleh penduduk kampung untuk mengganti. Salah satu pemuka kampung mengumumkan kepada penduduk bahwa jika ada yang berhajat maka penduduk kampung dianjurkan agar mengundang Wak Soimun untuk memberikan wejangan, tausiah, ataupun doa.
***
Keputusan untuk menobatkan Wak Soimun kala itu menuai pro dan kontra, banyak penduduk yang mendukung keputusan pemuka kampung yang langsung mendaulat Wak Soimun sebagai modin menggantikan ayahnya, tapi tidak sedikit pula warga yang menolak keputusan tersebut karena berbagai alasan.
”Wong dia itu masih muda, baru lulus dari pesantren, ilmunya belum teruji,“ kata Faizin salah satu pemuda kampung yang tidak sepakat dengan penobatan Wak Soimun.
”Tapi, kan dia cerdas, pinter, Kang,“ bantah Mat Arid yang pro terhadap keputusan pemuka kampung.
”Tapi, cerdas dan pinter itu kan bukan jaminan doanya mudah diterima oleh Tuhan,“ timpal Faizin dengan nada menggebu.
Perdebatan demi perdebatan terjadi mewarnai kontroversi penobatan Wak Soimun. Dan, usut punya usut, penduduk yang tidak setuju dengan pengangkatan Wak Soimun ternyata mempunyai calon lain yang menurut mereka lebih pas untuk dijadikan modin di kampung tersebut.
Calon itu tidak lain dan tidak bukan adalah Haji Alim Mustofa Lc, pria paruh baya lulusan salah satu universitas di Timur Tengah beberapa tahun yang lalu. Pria berwajah bersih, berbadan tegap, berjenggot lebat, ini memang bukan penduduk asli kampung. Ia datang sekitar lima tahun yang lalu. Ia bermukim di kampung ini setelah menikahi salah satu gadis kampung yang juga sama-sama lulusan Timur Tengah.
Selama ini, keluarga Haji Alim Mustofa memang terkenal ramah, selalu ikut dan bahkan antusias di setiap kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh penduduk kampung yang kala itu modinnya masih Kiai Ngali Muslih. Setiap kenduren ia datang. Mitoni mayat ia datang. Sedekah desa dia juga ikut.
”Haji Alim Mustofa itu kan lebih pas dalam memimpin ritual-ritual agama di kampung kita ini, Kang. Dia itu lulusan Timur Tengah, luar negeri, Arab, sudah haji dan yang terpenting, Kang, dia itu alim banget,“ tandas Faizin.
”Ah, dari mana kau tahu kalau dia alim?“ tanya Mat Arid.
”Lha, ndak alim bagaimana to, Kang, wong jidatnya saja ada warna item-item-nya, bengkak. Itu tandanya saking lamanya dia bersujud, Kang,” kata Faizin mantap.
”Oh, jadi itu ukurannya kalau orang itu disebut alim menurut sampean?”
”Lha iya, itu bukti jelas lho, Kang. Jidatnya bengkak karena terlalu lama sujud.“
”Adakah cerita-cerita atau riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad yang kita yakini sebagai orang yang paling alim sehingga kita anut setiap ucapan, perbuatan, dan juga ketetapannya itu jidatnya hitam? Ndak ada to? Yang ada hanya cerita bahwa Nabi tumitnya bengkak karena kebanyakan duduk tahiat.“
***
Penduduk kampung akhirnya terpecah menjadi dua faksi, satu faksi yang terdiri atas para orang-orang tua mendaulat Wak Soimun untuk menjadi modin mereka karena yakin akan aura dan nyoni yang dimiliki anak muda ini. Walaupun masih muda, penduduk desa sepakat untuk memberinya gelar Wak sebagai wujud penghormatan atas tuanya ilmu yang dimilikinya.
Sementara, satu faksi lainnya yang terdiri atas anak muda lebih berpihak kepada Haji Alim Mustofa Lc dengan alasan ustaz berjenggot lebat ini lebih pas diangkat sebagai modin karena ia lulusan Timur Tengah, sudah haji, dan lebih tua dari Wak Soimun.
Dengan adanya faksi-faksi tersebut, setiap hajatan pun terbagi dua, jika yang mempunyai hajat adalah mereka keluarga anak-anak muda maka yang diundang menjadi modin adalah Haji Alim Mustofa Lc. Tapi, sebaliknya, jika orang-orang tua yang mempunyai hajatan maka Wak Soimun yang diundang untuk memimpinnya.
Perubahan mulai terjadi. Haji Alim Mustofa Lc sedikit demi sedikit memberi wejangan yang sebetulnya bertolak belakang dengan kepercayaan lama warga kampung, ia berusaha mengalihkan kegiatan kendurian menjadi pengajian rutin, tabligh, dan liqa‘. Dalam menyampaikan wejangan-wejangannya pun ia sering menggunakan istilah-istilah Arab yang tidak jarang membuat penduduk kampung terpaksa menanyakan kejelasannya kembali.
Lambat laun, para pengikut Haji Alim Mustofa, yakin generasi muda kampung itu, tidak mau lagi untuk mengadakan peringatan kenduri, walimahan, selamatan, dan sebagainya karena mereka menganggap sebagaimana yang dipahaminya dari Haji Alim Mustofa itu perbuatan syirik yang tidak ada gunanya.
Mereka juga tidak mau lagi menggelar selamatan untuk keluarganya yang telah meninggal, alasannya karena doa yang disampaikan kepada orang yang telah meninggal, betapapun khusyuk dan bersihnya hati sang pendoa, doa tersebut tak akan pernah sampai pada sang mayat.
Perubahan itu menjadi begitu runyam tatkala dalam satu keluarga terdapat seorang anak yang bapaknya memihak pada Wak Soimun, sementara anak-anaknya penganut fanatik Haji Alim Mustofa.
Yang terjadi dalam keluarga seperti ini adalah perdebatan-perdebatan purba tentang apakah perlu orang yang sudah meninggal untuk didoakan, doanya sampai atau tidak, terlebih apa perlu kita menjenguk kuburnya?
Runyamnya lagi ternyata tidak satu dua keluarga saja yang mempunyai kasus yang sama seperti ini, pecah antara generasi muda dengan generasi tuanya, awalnya satu keluarga, dua, lima, sepuluh, seratus, bahkan ratusan lalu menjadi mayoritas.
Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan, membuat pemuka desa tak tahan untuk tinggal diam. Akhirnya, ia menghadap Wak Soimun. Lusinan pertanyaan bertumpuk di benaknya. Dengan modal keluh kesah sanak saudara serta tetangga sekitarnya, pun juga kejadian yang menimpa keluarganya karena anaknya juga merupakan pengikut Haji Alim Mustofa, pemuka desa bergegas menemui Wak Soimun untuk bertanya perihal keadaan ini.
Namun, sebelum pemuka desa menumpahkan pertanyaannya itu, Wak Soimun yang berwajah putih bersih itu lebih dulu menjawab.
”Sampeyan ndak usah khawatir, sebentar lagi semuanya akan dijelaskan oleh Allah. Sing becik ketitik sing olo ketoro cetho moto.“
Pemuka desa pun diam mengiyakan serta mengamini wejangan Wak Soimun tersebut.
***
Suara speaker mushala berbunyi pagi itu:
”Innalillahi wa innailaihi rojiun, telah meninggal Bapak Haji Bawuk Markasan mertua Haji Alim Mustofa. Kepada penduduk kampung, dimohon untuk menyempatkan hadir memberi penghormatan terakhir kepada jenazah.”
Penduduk berdatangan ke rumah duka, semuanya berbisik-bisik, cenderung gaduh mempertanyakan apakah Haji Alim Mustofa akan membaca doa pemberangkatan jenazah mertuanya itu sebelum diangkut ke tempat pemakaman.
Rasa-rasanya, bahkan diskusi serta perdebatan kecil pun terjadi antara para pelayat. Ada yang menebak ia tidak akan berdoa karena tidak percaya doa kepada mayat, tapi ada yang menebak ia akan berdoa.
Di tengah kegaduhan yang terjadi, Wak Soimun datang, beliau melangkah mendekati jenazah Haji Bawuk Markasan yang dibaringkan di ruang tamu. Serta merta Wak Soimun membuka wajah jenazah sembari berdiri tegap di samping jenazah ia berkata lantang:
”Semoga jenazah bapak Haji Bawuk Markasan dilaknat oleh Allah SWT, tidak diampuni dosa-dosanya, dan dimasukkan neraka selama-selamanya.”
Mendapati hal itu, Haji Alim Mustofa berang. Ia mendekati Wak Soimun. Dengan nada emosi ia bertanya.
”Apa maksud sampeyan mendoakan jelek bapak mertua saya?“
Wak Soimun hanya tersenyum sejuk lalu ia menjawab.
”Tenang Pak Haji, Pak Haji tidak percaya kan kalau berdoa untuk orang meninggal itu tidak akan pernah sampai padanya?” []
Penulis lahir di Lamongan, Jawa Timur, 17 Maret 1988. Bergelut di Bengkel PARAGERAF Jakarta. Sering menulis cerpen dan esai.
Iswan
Moga manfaat