Ilham Q Moehiddin

Insiden Sebotol Vodka di Red Kremlin

0
(0)

Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 16 Juni 2013)

Insiden Sebotol Vodka di Red Kremlin ilustrasi Bagus

DINGIN yang mengigit di pengujung Januari penyebab kita bertemu malam itu, di bar kecil tak jauh dari Red Square Catedral St. Vasily, Kremlin. Hmm, bukan bertemu dengan sengaja tepatnya. Tetapi aku mendapatimu setengah mabuk di sudut bar itu. Siku kirimu menumpu pada meja. Kau memiring-miringkan sloki kecil di tanganmu, sejajar matamu. Kau memerhatikan setiap kali Vodka di dalamnya terombang-ambing. Lalu kau cumbui bibir sloki itu. Kau teguk cairannya sedikit demi sedikit, sesukamu. Aku iri pada keintiman semacam itu. Keintiman yang tidak terusik derau orang di sekelilingmu.  

***

MUSIM dingin yang semestinya segera usai, kerap memancing gerutu orang-orang di kota ini. Tetapi aku tidak begitu. Aku tidak mungkin protes pada musim yang memang harus datang ke sini. Karena aku bukanlah penduduk kota ini. Aku datang dari Jakarta, kota yang hanya memiliki dua musim, lalu mendapati tiga musim yang tidak pernah dimiliki kotaku. Moskow terus menceritakan kisah lain, kisah menang dan kalah. Seperti seorang nenek-nenek tua yang baik hati, kota ini selalu memiliki banyak cinta untuk diceritakan.

Tetapi kau merasa begitu terusik salju yang memenuhi semua tempat di hari-hari terakhir menjelang penutupan museum. Aku berdiri seperti orang bodoh di sisi pilar-pilar putih raksasa yang dingin membeku. Sengaja mengingkari kebiasaan orang-orang di sini untuk tetap berada di dalam rumah saat salju turun begitu rapat. Di saat angin berontak di atas kota. Saat menungguimu, aku abaikan kemungkinan orang-orang di sini menatapku sambil membenarkan anggapan mereka bahwa aku memang sejenis orang bodoh yang mau saja dipecundangi janji.

Kau terlambat menemuiku di teras depan Museum Pushkin seperti yang kau janjikan tiga hari lalu. Bahkan, saat kau persis di depanku pun, kau tidak menoleh saat aku berusaha bicara padamu. “Kau terlambat, Ilyana.”

“Salju brengsek! Ban mobilku tertanam dan selama 15 menit aku terjebak di Lobnoye Mesto, di saat layanan mobil derek enggan menerima telepon.” Begitu umpatmu bersama kibasan syal, meluruhkan lembaran kecil salju yang menempelinya.

“Satu jam berdiri menungguimu di sini membuatku nyaris beku.”

“Mereka begitu keras kepala hanya untuk 300 Rubel. Dasar bodoh. Mereka menungguiku menyetujui harga itu tanpa memedulikan teriakan dan suara klakson agar kami segera menyingkir.”

Baca juga  Kapal Terakhir

“Maafkan aku. Syukurlah kau sudah sampai di sini.”

Gerutuanmu berhasil membuatku merasa bersalah. Padahal akulah yang nyaris membeku di depan museum ini. Namun kau lebih patut ditunggu, ketimbang Lenka. Terakhir aku melihat wajah Lenka, saat ia memutar separuh tubuhnya, meminta jawaban untuk soal terakhir yang akan ia tera ke lembar jawaban ujian kuliah publisistik. Aku memberikannya tanpa pamrih, namun tetap saja pipiku mendapatkan kecupan hangat bibirnya di pintu keluar ruangan Prof. Slavko. “Terima kasih.” Ujarnya pendek, tersenyum lalu berlari kecil menuju kawan-kawannya. Bantuanku, kecupannya, dan ucapan terima kasih yang ia lupakan di hari berikutnya. Lenka seperti orang asing saat kusapa di antrian kafetaria kampus. Ia mendelik aneh padaku. Seperti delikan seseorang yang sama sekali tidak ingin kau sapa. Atau tatapan orang yang baru kau jumpai pertama kali.

“Entah apa yang kulakukan di sini. Saat orang-orang meringkuk dalam selimut tebalnya, atau menyalakan pemanas ditemani secangkir hangat camomile tea dan acara kuiz di televisi, aku justru terjebak di tempat ini. Susah payah menembus rapatnya salju.”

“Hei, kita ada janji bertemu di sini Ilyana. Kau ingat?”

“Setahuku, museum biasanya ditutup setiap kali musim dingin memburuk.”

“Ya. Pushkin akan ditutup tiga hari ke depan sampai berakhirnya musim dingin.”

“Tapi, musim ini tidak seburuk dugaanku.”

“Barangkali tidak. Aku hanya nyaris sulit menggerakkan ujung kakiku.” Sindirku.

“Cukup dua jam di sini. Lalu segera ke flat Nyonya Virna.”

“Ya. Kita temui ibuku setelah urusan di sini selesai. Ibuku sangat mengharapkan kedatanganmu. Setidaknya beliau tahu kau sengaja datang menemaninya.”

***

Tidak seperti Lenka, Ilyana gadis yang sepenuhnya ramah. Ilyana-lah gadis yang kutemui di Red Kremlin, bar kecil tak jauh dari lapangan Krasnaya Ploschad (Red Square). Ilyana sudah agak mabuk saat ia kudapati sedang mengombang-ambingkan Vodka dalam slokinya.

Setelah memerhatikannya beberapa lama, aku hampiri ia. “Kursi ini kosong. Boleh kau kutemani?”

Gadis itu menatapku selayaknya orang asing yang lancang mengusik kesendiriannya. Pelupuk matanya sudah turun setengah. Kemudian ia tersenyum padaku. “Baik. Duduklah. Jangan berdiri saja.”

Aku tersenyum , “Spasibo.”

Walau sudah ia kenalkan namanya, tetap saja akan terasa aneh saat menerima permintaan seorang gadis setengah mabuk yang baru kukenal. “Temanilah aku lusa nanti di Museum Pushkin.”

“Apa yang kau lakukan di sana?”

Baca juga  Dalam Lingkaran Laut

Ilyana menggeleng. “Hanya ingin menghadiri pembacaan karya Chekhov.”

Sebenarnya, aku bahkan belum menyetujui ajakannya. Diamku dianggapnya sebuah persetujuan. “Apa kau pernah dihampiri sebuah kerumitan?” Tanyanya lagi.

“Kerumitan?”

“Ya. Kerumitan. Sesuatu yang semula kau kira akan baik-baik saja, lalu dalam hitungan menit semuanya berubah serupa bencana.”

Aku mengangguk. “Mungkin beberapa kali. Tapi aku menyebutnya sebagai insiden.”

Ilyana tertawa renyah. “Insiden atau kerumitan. Sepertinya, aku lebih suka istilahmu itu. Insiden.”

“Insiden apa yang menimpamu?”

Ilyana tak langsung menjawabku. Lagi, ia ombang-ambingkan Vodka dalam slokinya. “Beberapa jam yang lalu aku berjumpa dengan seseorang dari masa lalu.”

“Sebegitu rumitkah itu?”

“Pertemuan itu membuat rencanaku berantakan. Bukankah itu sejenis insiden?”

Aku tersenyum. “Baiklah. Seberapa parah insiden ini?”

“Jangan mengolok-olokku!”

Aku mengibaskan kepala. “Tidak. Tentu tidak.”

“Cukup parah. Kau mau mendengarnya? Aku tahu, kau pasti mau.”

Aku mengatupkan mata sambil menarik alis. Bukan hal yang buruk menjadi pendengar untuk gadis seperti Ilyana. Itu terasa lebih cocok dilakukan untuk menyelingi suasana yang membosankan di bar ini. Apa enaknya mendengar lagu-lagu Romanov lewat siaran radio? Pemilik bar ini terlalu pelit sekadar menyisihkan 500 Rubel dari labanya untuk menyewa seorang pemain gitar. Ilyana mengisi slokinya lagi sebelum menjadikanku seperti kotak Lava, kotak dongeng kecil yang digunakan Thumbelina untuk menyimpan rahasia-rahasianya.

Di usia yang begitu muda, Ilyana sudah melayari kenangan demi kenangan yang parokial di benaknya. Kenangan yang muncul tiba-tiba, kemudian hilang sesukanya. Sampah masa lalu kemudian membuntuti sejak usianya beranjak 17 tahun, hingga detik ini. Ia terdengar menyesali percikan cinta yang menggelorakan hidupnya. Setiap kembara cintanya, selalu berakhir dalam dosa yang seolah-olah dia sesali, walau aku menduga sebaliknya. Atau barangkali, gadis yang sedang menceritakan kisah hidupnya ini, sejenis gadis yang selalu mampu menyembunyikan perasaannya lewat ekspresi wajah. Tetapi tidak. Dari mimik dan suaranya, betapa ia nikmati kekaraman dirinya.

Pada awal perkenalannya dengan lelaki kurus yang kemudian menjadi kekasih terakhirnya, hidup Ilyana seperti bunga. Ia benar-benar menyadari semuanya. Ia sadari bahwa lelaki kurus itu tidak akan memberinya harapan apapun. Lelaki kurus yang hanya akan menghabiskan sisa umurnya di depan mikropon radio, atau jungkir balik di atas trapeze sirkus, bukanlah sejenis lelaki yang akan menghidupi seorang istri dan beberapa anak di saat negeri ini tenggelam dalam resesi.

Baca juga  Teror

Lelaki kurus yang mengisi kekosongan di hati Ilyana dengan nasihat-nasihatnya. Ilyana menelan semua omong-kosongnya, namun entah mengapa tidak membuatnya muak. Lelaki kurus kurang ajar itu berhasil membujuk Ilyana agar mau disetubuhi di bangku kayu dalam sauna murahan di dekat stasiun Kremlin. Lelaki yang tidak pernah minta maaf atas kejadian itu, sebagaimana Ilyana yang juga tidak menuntut. Selesai begitu saja.

Malam ini, sebelum Ilyana datang ke bar ini, ia berjumpa lagi dengan lelaki kurus kurang ajar yang dahulu ia kira tidak akan pernah dilihatnya lagi. Perjumpaan spontan di dekat pasar malam, adalah perjumpaan pertama sejak mereka putuskan untuk berpisah 10 tahun silam. Tentu ada kecanggungan. Mereka bersitatap, saling menerka, membengkokkan dugaan, lalu enggan meluruskannya kembali. Mata yang masing-masing tidak asing pada masa lalu. Dua pasang mata yang memicu hadirnya kenangan busuk yang tidak sudi mereka lupakan, sekaligus tidak pernah mereka selesaikan.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Lelaki kurus yang kutemui dalam cerita Ilyana, entah sejak kapan sudah berdiri di dekat meja kami. “Kau…” Dia menuding mukaku, “apa tujuanmu mendekati kekasihku?”

Aku terkejut. Wajah Ilyana seketika berubah melihat kehadiran lelaki kurus yang tiba-tiba itu. “Kau bukan lagi apapun bagiku! Kenapa kau mengikutiku?” Bentak Ilyana.

Lelaki kurus itu menatap muak pada kami berdua, seolah aku baru saja mengambil sesuatu yang paling berharga darinya. “Hentikan ocehanmu. Sejak 10 tahun lalu hingga saat ini, kau tetap kekasihku.” Lelaki kurus itu meradang.

Lelaki kurus itu tiba-tiba meraih botol Vodka di depan Ilyana dan memecahkannya di kepalaku. Dalam hentakan, tubuhku membentur sisi jendela, lalu rebah ke kursi, sebelum longsor ke lantai. Terakhir yang aku lihat di tempat itu adalah wajah Ilyana yang nyaris menempeli wajahku. Ia histeris di atas tubuhku.

Hal berikutnya, kudapati wajah ibuku yang tertunduk dalam duka di sisi jasadku yang kaku. Bukan dingin di pengujung musim yang membuat tubuhku beku. Bukan. Pukulan botol Vodka lelaki kurus itu telah membunuhku. Salju tebal juga menyelimuti kuburanku, tapi harus kupenuhi janjiku pada Ilyana di Museum Pushkin hari ini. (*)

 

Molenvliet, Mei 2013.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!