Cerpen Gunawan Maryanto (Media Indonesia, 16 Juni 2013)
NAMAKU Sukra. Dan, kedua mataku pernah dimasuki ratusan semut merah. Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya. Aku juga.
Tiba-tiba beberapa lelaki berlompatan dari segala arah dan mengurungku. “Benar namamu Sukra!” Bentak salah seorang dari mereka. Belum sempat aku menjawab, seseorang telah menjambak rambutku dari belakang dan menariknya dengan keras. Keseimbanganku hilang dan aku pun jatuh dari kuda. Beberapa telapak kaki yang besar dan kasar segera menekan tubuhku seolah ingin melesakkannya ke dalam tanah. Aku sama sekali tak bisa bergerak. Nirwati, kuda putihku, meringkik dengan gelisah. Ia menyepak beberapa penyerang sebelum berlari menghilang.
“Benar namamu Sukra!” Orang yang sama kembali bertanya. Ia jongkok di dekat wajahku. Aku mengangguk dengan cepat, berharap mereka segera melepaskanku. Tapi ia malah mengeluarkan belati dan menempelkannya di leherku. Aku meronta sekuat tenaga. Tapi injakan kaki-kaki mereka semakin kuat.
“Iya! Aku Sukra! Aku Sukra!” Begitu kujawab mereka memang segera melepaskanku. Tapi, tak sepenuhnya. Mereka membangunkanku dengan kasar dan menelikung kedua tanganku ke belakang. Seseorang segera mengikat kedua tanganku. Seseorang yang lain lagi mengikat leherku. Dan, digelandanglah aku menuju sebuah tempat. Aku berjalan di belakang, terseok-seok mengimbangi kecepatan kuda mereka.
Peristiwa yang baru saja kuceritakan ini tidak berlangsung di sebuah malam yang sepi, melainkan di tengah hari dalam sebuah arak-arakan pengantin yang disaksikan ratusan tamu. Penangkapanku menjadi tontonan—dan barangkali puisi. Bukan hanya di tempat kejadian, tapi juga di sepanjang jalan di mana aku diseret dengan tali, laiknya hewan liar atau seorang penjahat kelas kakap.
Orang berkerumun sepanjang jalan, tapi tak satu pun yang berani bersuara. Sungguh. Aku diarak dalam diam. Dalam tenang. Dalam sepi yang panjang dan seolah tak pernah selesai. Kartasura tiba-tiba mati. Aku seperti sedang digiring pelan-pelan menuju kematian. Melewati jalan setapak yang berpagar pepohonan besar dan angker. Berjalan dari terang menuju gelap. Memasuki rimba gelap yang tak kukenal.
Siang itu seperti biasanya aku bertugas menjadi cucuk lampah dalam upacara perkawinan. Aku lupa sudah berapa kali aku melakukannya. Mungkin ketampananku sudah dikenal se-Kartasura hingga para empu hajat memanggilku untuk memeriahkan pesta mereka.
Mungkin karena anak gadis mereka merengek-rengek tidak mau menikah jika bukan aku cucuk lampahnya. Tak tahulah. Yang jelas aku sangat laku di bulan-bulan hajatan. Aku Sukra, anak Sindureja, pemuda paling tampan se-Kartasura, menunggang kuda putih kesayanganku, mengarak para pengantin yang berbahagia.
Aku tahu, banyak pemuda iri padaku. Aku tahu sejak lama. Mereka bergunjing di belakangku. Tapi aku baru tahu bahwa ada yang sampai marah dengan ketampananku. Kemarahan yang tak pernah kubayangkan, bahkan dalam mimpi-mimpi terburukku.
Namanya Raden Mas Sutikna. Pangeran Pati Anom. Calon Raja Kartasura. Tapi tak seorang pun di antara kami berani memanggilnya Kencet—si Pincang. Sebab memang jalannya terpincang-pincang. Ada yang salah dengan tumit kirinya. Kami tak berani memanggilnya Kencet di depan mukanya, sebab ia seorang putra mahkota. Di samping karena tabiatnya memang buruk: ringan tangan, pemarah, pencemburu, dan setumpuk sifat buruk lainnya.
Tak seorang pun ingin berurusan dengannya. Tangannya yang masih muda itu telah memenggal banyak kepala orang-orang yang tak mau menuruti perintahnya. Tak pandang laki-laki atau perempuan, tua atau hanya seorang bocah, semua sama-sama tak berharga di matanya.
Mungkin itu sebabnya Rara Lembah, istri pertamanya yang jelita, pergi meninggalkannya—tentang Rara Lembah akan kukisahkan pada kesempatan lain.
Sutikna benar-benar berambisi untuk menjadi yang pertama dan terbaik dalam segala hal. Seluruh nama di Kartasura tak boleh lebih baik dan lebih indah daripada namanya. Bahkan saudaranya sendiri pernah dilabrak dan dipaksa ganti nama.
Tapi adakah nama yang lebih rendah dari Kencet. Kelakuannya memang menyebalkan. Juga menggelikan. Entah bagaimana jadinya kelak jika ia menjadi seorang raja. Mungkin kekejaman dan kekonyolannya akan melebihi ayahnya; Mangku Rat II.
Kencet, Raden Mas Sutikna, sang Pangeran Adipati Anom inilah yang memerintahkan anak buahnya menangkapku. Aku digelandang menuju sebuah ruang. Mungkin sebuah gudang. Gelap dan pengap. Seperti gua yang tak pernah dihuni. Ikatan di kedua tanganku segera dilepas. Tapi bukan berarti bebas.
Kini mereka mengikat kedua tanganku ke atas dan menggereknya hingga tubuhku tergantung layaknya binatang yang akan dikuliti. Pangeran Kencet sudah berdiri di hadapanku. Berkacak pinggang menikmati penderitaanku dengan sepasang kakinya yang ganjil.
“Jadi kamu yang bernama Sukra?” Ia menatapku dengan raut muka yang sukar kugambarkan selain menjijikkan: persegi dengan pipi-pipi gembul penuh jerawat dan bibir yang tebal.
“Iya, Pangeran. Hamba Sukra.” Aku menjawab dengan sopan tapi dingin.
“Cambuki dia!” Perintahnya kepada begajul-begajulnya yang masih mengelilingiku. Seseorang menyobek bajuku dengan paksa dan membuatku telanjang dada. Cambukan rotan bertubi-tubi menghajar punggungku. Beberapa cambukan pertama aku masih bisa menahan sakit. Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat dan mengencangkan seluruh ototku.
Usahaku ini tampaknya malah membuat mereka semakin bersemangat menyiksaku. Cambukan mereka makin bertenaga dan memaksaku untuk menjerit kesakitan. Akhirnya aku berteriak. Melolong seperti anjing hutan dibantai dengan puluhan anak panah di sekujur tubuhnya. Dan pada sebuah titik, barangkali puncak kesakitanku, segalanya berubah. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi. Senyap. Aku seperti terlahir kembali. Sebagaimana kata seorang pujangga desa saat mengenang hari lahirku dalam sebuah tembang.
Waktu itu, kata orang, anjing-anjing hutan menyalak panjang, tinggi, dan seorang abdi berkata, “Ada juga lolong serigala ketika Kurawa dilahirkan.”
Bapakku, bangsawan perkasa itu, jadi pucat.
Ia seolah menyaksikan bayang-bayang semua pohon berangkat.
Pergi, tak akan kembali.
Iya, Pak. Mungkin aku tak akan kembali. Pangeran gila ini akan membunuhku. Apa salah
hamba, Pangeran? Aku bertanya di puncak
kesakitanku.
“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan kerajaanku. Jawablah, Sukra.”
Dan kegelapan yang menjawab. Entah berapa lama aku pingsan. Aku mendadak tersedak. Seperti baru tenggelam di sebuah kolam. Rupanya mereka mengguyur kepalaku dengan seember air. Aku mengerang dan menggeliat kesakitan. Punggungku terasa sangat pedih. “Ampun, Pangeran. Lepaskan hamba.”
Ia tak menjawabku. Ia malah memerintah para begajulnya. “Cambuk lagi!”
Kejadian yang sama berulang lagi. Aku berteriak-teriak beberapa saat dan kemudian gelap. Dan terbangun lagi seperti baru muncul dari dasar kolam. Tapi kini bukan sakit lagi yang kurasakan. Dadaku tak lagi berdegub oleh rasa takut. Seperti ada api di dalam tubuhku yang pelan namun pasti, seiring siksaan yang kualami, membesar dan membesar. Kencet semula tak menyadarinya. Ia terlalu sibuk menikmati jeritan-jeritanku.
Tubuhnya basah oleh keringat. Wajahnya seperti tengah memendam birahi. Aku bergidik melihatnya. Darahku berdesir. Api di dalam tubuhku makin besar. Terpancar di sepasang mataku yang menatapnya dengan tajam. Sementara para kacung terus merajam tubuhku dengan cambukan-cambukan paling kerasnya. Menghancurkan segala yang melekat di tubuhku.
“Berhenti!” Tiba-tiba Kencet berteriak. Wajahnya merah, sangat merah. “Kau berani menentangku!”
Ia perlahan berdiri sambil merapikan pakaiannya. Aku terus menatapnya tanpa kedip. Wajahnya mendadak pucat. Ia seperti melihat hantu di tengah hari. Aku bisa melihat dengan terang bagaimana perubahan mimiknya dari birahi, kemudian marah dan mendadak ketakutan. Ia tak berani lagi menatapku.
“Cari semut rangrang. Sumpal matanya dengan semut rangrang!” Ia berteriak seperti seorang perempuan. Histeris tepatnya. Para begundal yang semula sibuk mengulitiku berlarian ke luar ruangan. Mungkin mereka sedang memanjat pohon-pohon nangka terdekat untuk mengambil sarang semut rangrang.
“Jangan kaukira aku takut padamu, Kencet!” Aku bergumam mengumpatnya dengan seluruh tenaga yang masih bisa kumiliki. Di hadapanku tubuh Kencet yang semula begitu jumawa itu mengkeret seperti tikus kecemplung di selokan mampet. Aku menikmati detik demi detik yang tersisa, seperti menikmati titik-titik hujan terakhir sebelum tamat. Sebuah jeda yang bisa kuselami dengan seluruh diriku sebelum para penjaga itu datang dan melesakkan ratusan semut rangrang ke dalam lubang mataku.
Namaku Sukra, lahir di Kartasura, 17…, di sebuah pagi, Selasa Manis, ketika bulan telah berguling ke balik gunung.
Yogyakarta, 2013
Cerita ini berpijak pada Babad Tanah Jawi. Kalimat-kalimat cetak miring adalah puisi Goenawan Mohamad berjudul Penangkapan Sukra.
Gunawan Maryanto bergiat di Teater Garasi. Buku cerpennya, Usaha Menjadi Sakti (2010). Buku puisinya, Sejumlah Perkutut buat Bapak, meraih KLA 2010.
giat wagiyanto
hmmm…