Cerpen Muhammad Ferdiansyah (Suara Merdeka, 30 Juni 2013)
“SIAPA yang membaca puisi di zaman sekarang ini?” kata perempuan berambut pendek dengan nada teatrikal.
Perempuan berambut ungu menatap perempuan berambut pendek dengan geli, lalu dia seperti akan mengatakan sesuatu, tapi akhirnya membatalkan niatnya sendiri. Mereka berdua duduk di suatu tempat di city walk, di bawah pendar lampu jalanan yang suram dan serangga-serangga yang berputar-putar. Malam itu dingin dan pakaian yang mereka kenakan sepertinya tidak cukup hangat. Namun sepertinya mereka tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu. Tidak banyak pejalan kaki yang lewat, apalagi sudah lewat tengah malam. Kalaupun ada seseorang yang lewat, perempuan berambut pendek tetap akan bicara dengan melantangkan suaranya. Tidak peduli apabila ada yang terganggu dan menganggap mereka sebagai dua pelacur gila yang sedang mabuk. Dan apabila ada laki-laki iseng yang memperlakukan mereka seperti pelacur, perempuan berambut pendek akan menerjangnya dan mencakarnya seperti kucing gila. Selama ada perempuan berambut pendek, tidak ada yang berani mendekat. Kini perempuan berambut ungu juga tidak peduli pada apa pun. Dia terlalu terpesona pada kepribadian perempuan berambut pendek dan terus mengagumi matanya yang berkilauan. Sementara perempuan berambut pendek tetap menatap lurus ke depan dan melanjutkan ocehannya.
“”Bahkan seandainya ada bunga lili yang tumbuh dari sebuah ceruk di trotoar. Tidak banyak yang peduli apakah bunga lili itu akan terinjak-injak. Ya Tuhan, siapa saja tolong, meski itu hanya segelintir dari jutaan orang di kota, selamatkan bunga lili itu dan tanamlah di tempat yang pantas, di mana orang-orang yang paham tentang bunga lili bisa menikmati keindahannya. Tidak banyak yang membaca puisi. Tidak banyak yang peduli dengan terang bintang. Tidak banyak yang peduli kira-kira formasi rasi bintang apa yang kini tampak di lukisan langit malam. Tidak banyak yang baca puisi. Tidak banyak yang peduli dengan anak-anak yang bagian tubuhnya tertembus peluru di daerah konflik sana atau anak-anak yang selalu dianiaya dan dilecehkan oleh orang dewasa. Tidak banyak yang peduli. Siapa yang membaca puisi saat ini? Apakah itu aku? Tentu saja aku tidak sendiri. Apakah kamu juga baca puisi?”
Perempuan berambut ungu hanya tersenyum.
”Tidak banyak orang yang baca puisi. Tentu, tidak banyak yang bisa aku ajak bicara soal puisi. Apakah aku kesepian? Ya, aku kesepian. Apakah aku sangat menyedihkan dan untuk sekadar mendapatkan teman bicara dengan harapan dapat mengusir kesepian, aku harus mengemis atau mungkin berlutut? Ataukah aku harus berkumpul dengan suatu komunitas pencinta puisi? Komunitas di dunia nyata boleh, komunitas dunia maya juga boleh. Dengan kesamaan minat yang sama pada anggota- anggotanya. Saling berbagi. Tidak kesepian lagi, bukan?
”Atas dasar apa? Apakah aku tidak bahagia? Apakah ini semacam stigma di masyarakat yang menyebutkan bahwa seseorang yang kesepian, penyendiri, atau antibudaya pop termasuk dalam kategori orang bernasib malang. Tendensi untuk beralih keyakinan ke dunia iblis atau godaan bunuh diri yang kental. Manusia marjinal. Mengganggu kenyamanan masyarakat. Perlu dikasihani. Kesepian? Benar. Tidak bahagia? Salah. Justru kesepian inilah sumber kebahagiaanku. Aku sangat bahagia dengan kesepian ini. Jangan coba bawa aku ke kerumunan macam apa pun. Tapi mengapa aku jadi meracau begini. Apakah kau bosan?”
Perempuan berambut ungu itu tersenyum lalu berkata, ”Aku sudah berjanji untuk tidak memotong pembicaraanmu. Dan kupikir itu tadi bukan racauan. Aku sangat tertarik. Dan kupikir tadi itu terdengar sedikit puitis.”
Perempuan berambut ungu mengamati dengan saksama penampilan perempuan berambut pendek. Rambut hitam tebalnya dengan potongan pendek di atas bahu, jaket kulit hitam, kaus dengan gambar monster gurita, sepatu converse putih (atau kecokelatan) yang sudah terlihat banyak lubang di beberapa tempat dan apakah itu rok bahan polyester yang populer pada 1940-an. Perempuan berambut ungu itu menyeringai, tapi matanya berbinar-binar.
”Kau terlihat seperti anak hipster. Gaya macam apa yang sedang kau kenakan ini?”
”Oh ini, entahlah aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.
Rok ini saja peninggalan dari nenekku. Dan yang lainnya aku asal-asalan saja. Yang penting aku merasa nyaman.”
”Tapi kau keren.”
”Kau saja yang bilang begitu.”
”Apa yang kau baca itu,” kata perempuan berambut ungu sambil menunjuk bacaan yang sedari tadi berada dalam pangkuan perempuan berambut pendek.
”Ini?” kata perempuan berambut pendek seraya mengangkat bacaannya, ”Lirik lagu dari Crystal Castles dan Emilie Autumn yang aku print. Aku suka lirik mereka. Menurutku pendapatku, lirik mereka sangat puitis dan aku langsung mencintai mereka begitu saja. Lalu buku yang baru kubeli tadi, aku tidak perlu mengatakannya padamu, kan?”
”Oh, misterius sekali.”
Perempuan berambut pendek hanya tersenyum. ”Aku kagum pada mereka yang sanggup menulis kata-kata indah. Kagum akan khayalan mereka. Sedangkan aku, aku sudah lelah dalam berkhayal,” kata perempuan berambut ungu dengan nada murung.
”Apa yang kau khayalkan?”
”Aku ingin sekarang ini juga ditemani seseorang kekasih,” perempuan berambut ungu berhenti dan menghela napas yang panjang, ”Kenyataannya aku tidak punya kekasih dan pada momen sentimental seperti ini aku benar-benar butuh kekasih.”
”Aku akan menjadi kekasihmu.”
”Benarkah?”
”Hanya untuk malam ini.”
Perempuan berambut ungu tersenyum.
”Aku juga butuh pelukan.”
”Rebahkan kepalamu di bahuku.”
Perempuan berambut ungu beringsut mendekati perempuan berambut pendek. Direbahkannya kepalanya ke bahu perempuan berambut pendek dan mereka saling melingkarkan tangan mereka.
”Maukah kau memanggilku sayang?”
”Tentu saja, Sayangku.”
”Sayang, apakah kau mencintaiku?”
”Sayangku, hanya untuk malam ini aku akan sangat mencintaimu, mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini, dan bahkan lebih dari cintaku pada malam yang indah ini.”
Kemudian mereka berpelukan, erat sekali. Perempuan berambut ungu menangis sesenggukan dalam pelukan perempuan berambut pendek.
”Aku lelah,” bisik perempuan berambut ungu.
”Tidurlah.”
***
Serta-merta perempuan berambut ungu muncul dari balik gang gelap. Rambutnya acak-acakan, kausnya compang-camping dan rok ketatnya tercabik-cabik. Riasannya pudar, eye shadow di sekeliling matanya tidak beraturan dan gincunya berantakan. Di tengah kekacauan ini ada upaya untuk memperbaiki penampilannya. Dia rapikan letak roknya, kausnya dan dia sisir rambutnya. Namun tidak terlalu memperbaiki keadaan. Jalannya gontai. Langkahnya tertatih-tatih, kadang seperti hendak jatuh. Di sepanjang jalan itu berserakan pertokoan. Dan kepada setiap orang yang dia temui, perempuan berambut ungu itu memohon.
”Tolong temani saya. Hanya untuk malam ini saja.”
Reaksi pertama mereka yang melihatnya adalah percampuran rasa iba, ngeri, dan jijik. Ada darah yang mengalir di pahanya. Darah itu sudah mengering, tapi tidak dengan perihnya. Lalu pakaian ketat itu. Aroma parfum yang bercampur dengan darah, keringat, ludah dan mungkin muntahan. Kebanyakan dari mereka akan berkata, ”Pergilah ke rumah sakit.” Atau, ”Pulanglah ke rumahmu.” Lantas mereka meninggalkannya begitu saja. Di antara mereka menggumamkan sesuatu tentang penyakit menular. Tidak ada yang peduli. Tidak ada empati.
Jadi berjalanlah terus perempuan berambut ungu. Meski kakinya harus diseret. Lalu di depan toko buku itulah perempuan berambut ungu bertemu dengan perempuan berambut pendek untuk kali pertama. Perempuan berambut pendek keluar dari toko buku itu dengan sedikit melompat-lompat. Langkahnya ringan seperti anak kecil. Begitu juga senyumnya yang lebar sekali. Juga seperti anak kecil. Dan ketika melihat perempuan berambut ungu berjalan ke arahnya, senyumannya juga tidak memudar sedikit pun.
”Hai,” sapa perempuan berambut ungu.
”Ya,” jawab perempuan berambut pendek, singkat.
”Maukah kau menemaniku. Untuk malam ini saja.”
”Kenapa?”
”Karena kupikir ini adalah malam terakhir di bumi ini. Sangat disayangkan bila di saat terakhir harus melewatkan langit malam yang indah ini. Dan untuk itu aku perlu teman.”
”Malam terakhir?”
Perempuan berambut pendek tertawa terbahak-bahak untuk beberapa detik.
”Malam terakhir? Apakah kau berasal dari planet yang sama dengan Pangeran Kecil?”
Perempuan berambut ungu kebingungan. Tidak tahu harus bagaimana untuk merespons. Perempuan berambut pendek tampak sedikit malu dan kesal.
“Tidak tahu cerita Pangeran Kecil, ya? Ya sudah. Oke, mari kita habiskan malam ini bersama.”
”Kau serius?”
”Tentu saja, lalu kita harus melakukan apa?”
”Entahlah, aku juga bingung sebenarnya. Mungkin hanya duduk-duduk di bangku taman, minum bersama atau merokok, kalau kau tidak keberatan. Dan mungkin sedikit berbagi cerita.”
”Aku tidak yakin. Cerita apa yang bisa kubagi padamu. Aku hanya perempuan kantoran yang kadang-kadang baca puisi.”
”Aku kira kau orang yang menarik. Aku yakin aku akan menyukai apa pun yang kau ceritakan.”
”Boleh juga, tapi ada syaratnya.”
”Apa itu?”
”Kalau sudah bicara, aku suka ngelantur ke mana-mana. Jadi tolong, ketika aku bicara jangan coba untuk menghentikanku, bahkan ketika kau merasa bosan dengan ceritaku. Jangan pernah mencoba memotong bicaraku. Oke?”
”Ya, aku tidak akan mengganggumu.”
Perempuan berambut pendek kembali memamerkan senyumnya dan kembali berjalan. Sekali-kali langkahnya diselingi dengan lompatan kecil. Perempuan berambut ungu menyaksikan pemandangan unik tersebut dengan saksama, lalu termenung.
”Hei, apakah sebelum ini kita pernah bertemu?” tanya perempuan berambut ungu.
Langkah perempuan berambut pendek terhenti. Dia berbalik dan menatap perempuan berambut ungu dengan tajam. ”Belum pernah,” jawabnya singkat dan kembali mengayunkan langkahnya.
Mereka kembali berjalan dalam diam. Dalam hati, perempuan berambut ungu berkata: ”Aneh, entah bagaimana aku merasa dekat sekali dengannya. Aku tidak merasa berjalan dengan orang asing. Ini seperti pertemuan kembali yang menyenangkan setelah perpisahan yang panjang. Ya, aku merasa bertemu dengan sahabat lama atau mungkin kekasih.” (62)
Catatan: Pangeran Kecil atau Le Petit Prince adalah tokoh sekaligus judul novel pendek karya Antoine de Saint- Exupery.
Muhammad Ferdiansyah, cerpenis, tinggal di Solo
Leave a Reply