Cerpen Fandrik Ahmad (Republika, 07 Juli 2013)
Sepulang dari Tanah Suci, Haji Kamil kerap terlihat di masjid. Tak sulit mencarinya bila tidak ada di rumah. Cari saja di masjid, pasti ketemu!
Usai menyempurnakan rukun Islam, Haji Kamil tampak berbeda. Setiap azan shalat berkumandang, ia sudah berada di masjid mendahului Sohib, takmir yang bertugas sebagai muazin. Kalau Sohib terlambat, Haji Kamil bisa menjadi muazin sehingga keberadaannya di masjid cukup meringankan pekerjaan muazin.
Selain Haji Kamil, tak ada orang yang datang lebih awal daripada muazin. Orang- orang yang ingin shalat berjamaah baru datang ketika iqamah berkumandang. Itupun yang datang dapat dihitung dengan jari. Masjid itu mendapat jemaah paling banyak dua saf pada waktu Maghrib. Isya, saf sudah berkurang. Bila ingin melihat saf sampai ke belakang, harus menunggu tanggal biru alias Jumatan.
Haji Kamil menjelma sebagai sosok haji teladan. Namanya kerap dibawa ketika pendu duk kampung tengah bersilaturrahim ke tetangga yang baru datang berhaji. Saat berjabat tangan dan saling rangkul, mereka kerap mengatakan, Semoga menjadi haji mabrur seperti Haji Kamil.
Sebelum mendapat gelar pak haji, di masjid, Haji Kamil hanya tampak pada waktu shalat Maghrib dan Isya. Kini, berjamaah shalat lima waktu benar-benar dijaganya.
Selesai iqamah, tanpa banyak pertimbang an, ia akan maju ke depan. Membaca takbira tul ihram yang kemudian diikuti saf di bela kangnya. Sejatinya, ilmu tajwid tak begitu di kuasainya. Tetapi, kehajiannya merupakan putusan yang tak dapat ditawar-tawar.
Dalam sebuah obrolan kecil, Haji Kamil kerap mengatakan baru sadar—bukan baru tahu—kalau shalat berjamaah itu memang lebih baik daripada shalat sendirian. Pahala shalat berjamaah itu lebih tinggi dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendiri. Dengan terus menjaga shalat berjamaah, jalan menuju surga akan terhampar luas, katanya.
Bukan hanya itu, Haji Kamil kerap bercerita perihal pengalamannya ketika berada di Tanah Suci. Dengan nada sumpah, Haji Kamil melihat betapa umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang datang ke tempat itu menitikkan air mata dalam kubangan dosa memohon pertaubatan. Kendati tubuh mereka dililit oleh selembar kain putih, lambang kesucian, mereka tetap merasa diri seorang hamba yang kotor. Lebih kotor dari kain ihram yang membungkus tubuh mereka yang mungkin tak ada sebercak noda yang menempel.
Leave a Reply