Baca juga: Slerok – Cerpen Fandrik Ahmad (Republika, 29 Juni 2014)
“Mereka menangis. Memohon ampun. Mengharapkan pertaubatan agar mendapat hidayah dan masuk surga,” cerita Haji Kamil menggebu-gebu.
Sebagai seorang yang pernah naik haji, Haji Kamil tak lepas dari peci putih. Jarang sekali penduduk kampung mendapati dirinya mengenakan peci warna lain, apalagi hitam. Gamis selalu dikenakannya saat melaksanakan shalat, ditambah dengan janggut yang sengaja dibiarkan memanjang membuat dirinya tampak ke arab-araban.
“Sunah Nabi,” katanya.
Kepada anak-anak yang mengaji di masjid itu, Haji Kamil juga menjadi juru cerita yang baik. Cerita-cerita tentang kehidupan abadi setelah dunia: akhirat, surga, dan neraka, selalu didengung-dengungkan.
***
Ramadhan tinggal menunggu waktu. Hampir setahun lebih Haji Kamil berstatus haji. Hampir setahun pula Ridho, anak semata wayang, menimba ilmu di sebuah pesantren tersohor di Jawa Timur. Kini, anak yang kerap disebut lebih mirip istrinya ketimbang Haji Kamil, pulang kampung karena libur panjang bulan Ramadhan.
Sebagai kepala keluarga, Haji Kamil men jaga betul shalat anak dan istrinya dan di usahakan untuk selalu shalat berjamaah. Urusan shalat menjadi perhatian utamanya.
“Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah,” kata Haji Kamil kepada Ridho di perjalanan pulang usai shalat Isya. “Sudah kau jalankan pesanku, Nak?”
Serasa jantung Ridho berdegup lain. “Sudah,” pungkasnya singkat.
“Alhamdulillah, Baguslah. Abah memon dok kanmu supaya kamu menjadi orang yang benar. Shalat dengan benar, karena shalat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar,” sesungging senyum beraroma bangga lepas pada anaknya.
Ridho tak bermaksud berbohong. Akan tetapi pertanyaan Haji Kamil yang datang tiba-tiba membuat dirinya reflek mengatakan sudah. Tak apalah, ini urusan sepele. Bagaimana mungkin bisa menjaga shalat lima waktu berjamaah, sedangkan kegiatan pondok sangat padat. Lagipula program pesantren hanya mewajibkan santrinya shalat berjamaah hanya waktu Maghrib, Isya, dan Subuh. Sedangkan Zuhur dan Ashar dihukumi mubah, pikirnya.
Berjamaah shalat Zuhur, tak mungkin. Sekolah pulang jam satu siang, sedangkan Kiai Sholeh mengimami di masjid 30 menit lebih awal. Berjamaah shalat Ashar sering alpa tersebab tidur siang. Kalau sudah bangun kerap tergesa-gesa karena usai jamaah Ashar, pengurus pesantren langsung memburu para santri untuk mengikuti kajian kitab turats. Alasan nakal itulah yang termaktub di pikirannya, kendati shalat berjamaah tidak harus di masjid atau bermakmum pada kiai.
Leave a Reply