“Kau tahu apa urusan shalat?”
“Ada semacam ketidakikhlasan tersebab harapan ketika melakukan shalat, apalagi tidak melakukannya. Termasuk aku. Harapan masuk surga, ketakutan masuk neraka. Padahal, surga dan neraka itu kekal karena dikekalkan. Bagaimana bila nanti Allah, dengan sifat kuasa-Nya meniadakan surga dan neraka. Kun fayakun.”
“Kau terlalu berandai-andai, Nak. Jangan menuhankan akal.”
“Aku tidak menuhankan akal. Aku merasa shalatku masih sekadar kewajiban, bukan menjadi kebutuhan. Seandainya shalat itu tak wajib, aku tak menjamin terus menjaga keutuhan shalat. Aku ingin menjadikan shalat sebagai kebutuhan, bukan kewajiban.”
Haji Kamil terpaku. Bagaimana mungkin anaknya berpikir sejauh itu. Dirinya saja, yang sudah sampai ke Baitullah, tak bisa menjangkau terlampau jauh.
Baca juga: Slerok – Cerpen Fandrik Ahmad (Kompas, 15 Juli 2018)
“Sudah larut malam. Tidurlah. Nanti kau terlambat untuk sahur,” tukas Haji Kamil.
Ridho menghilang di balik pintu dengan kepala menunduk.
Senyap ruangan membuat jam dinding yang tepat di atas Haji Kamil seperti lebih nyaring berdetak. Televisi bercakap-cakap tanpa suara. Haji Kamil menatap kosong. Air jatuh dari sorot matanya yang mulai memudar, tak disadari.
Betapa perkataan Ridho sebelum menyelot pintu kamar menyayat hatinya.
“Aku ingin shalat seperti shalatnya Abah.”
Jember, 27 Mei 2013
Penulis lahir di Jember, 29 Juli 1990. Alumni Ponpes Annuqayah, Madura -Guluk. Kini mengajar ilmu keagamaan di Ponpes Fathul Mu’ien, Jember. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai surat kabar.
Leave a Reply