Cerpen Adi Zamzam (Koran Tempo, 14 Juli 2013)
AKAN kuceritakan kepadamu tentang keanehan yang kualami sejak empat hari kemarin, yang terus saja menyiksaku hingga detik ini. Adalah kicauan seekor burung terdengar seperti permintaan tolong dan kadang terdengar pula seperti ratapan. Kicauan itu terus bergema dalam kepalaku. Tak henti-henti. Ya, di dalam kepalaku!
Saat kicauan itu berdenging di telinga kiriku, segera saja kusumpal lubang telinga kiriku. Pun ketika kicauan itu meriuhi telinga kananku, segera saja kusumpal lubang telinga kananku. Tapi semua itu sia-sia belaka. Kicauan itu justru kemudian meloncat ke atas.
Lalu, setelah kugetok-getok ubun-ubunku, kicauan itu pun menghindar ke bawah.
Seperti ada seekor burung dalam kepalaku. Dan ia tengah riuh mencari pintu keluar. Kicaunya membuatku serasa memiliki sangkat di atas leher. Sekarang kau tentu dapat mengukur kadar siksaan yang tengah menderaku.
Aku telah mencoba berbagai cara untuk mengusir burung yang terkurung dalam kepalaku itu. Pernah kedua telinga kusumpal dengan headset telepon genggam. Kicau itu memang segera tersingkir. Namun itu hanya sementara karena aku takut jika gendang telingaku rusak karenanya.
Aku juga pernah hampir seharian hanya tidur dan tidur. Dua kali aku melakukannya. Suara kicau itu hanya hilang saat aku terlelap. Tapi begitu aku bangun, burung itu ikut bangun juga. Cara ini akhirnya kuakhiri karena hanya membuang-buang waktu. Hanya akan membuatku semakin tertekan saja.
***
“Wah, saran apa? Apa kau sudah menceritakannya kepada Toto?” ujar Rani ketika kuceritakan perihal kicau burung dalam kepala yang amat menyiksa itu.
“Belum. Aku dikurungnya di rumah, dan dia begitu terobsesi dengan pekerjaan. Sedikit sekali waktu yang disisakannya untukku.” Kuhela napas berat sambil memandang foto si kecil Nia yang terpajang manis di dalam bulet di ruang tamu. Terasa ada yang menyumpal dalam dadaku.
“Jika kau butuh teman, datang saja ke rumah Mami,” Rani menatapku erat. Mungkin dia coba memahami keadaanku.
“Kau pasti berpikir bahwa aku sedang tertekan,” aku balas menatapnya lekat. Mencoba melawan prasangkanya.
“Tidaklah. Aku hanya ingin memberi tahu, sekarang di sana sudah banyak perubahan. Tidak seperti dulu lagi. Siapa tahu itu bisa memberi hawa segar buatmu. Siapa tahu jika ketemu dengan kawan-kawan lama itu bisa mengendapkan masalahmu.”
Aku coba mendengar bujukan Rani.
“Ayolah, Mami masih sering menanyakanmu. Kau dulu murid kesayangannya. Kaulah yang paling berbakat di antara kami,” cerocos Rani lagi, yang seperti sepoi angin saja di telingaku.
Aku tertegun sejenak. Kesadaranku tersedot ke sebuah imajinasi masa depan. Andai aku kembali ke tempat Mami lagi. Menari. Setiap hari menari. Merentangkan sayap. Kembali menikmati kebebasan. Kembali merasai gairah ketika mendapatkan tepuk tangan dari penonton. Tapi sepertinya itu amat mustahil. Aku bukan Rani. Suamiku juga tak seperti suami Rani.
Ingatanku tiba-tiba kembali ke sebuah peristiwa ganjil suatu pagi. Sebuah kejadian tak disengaja, namun membuatku terganggu hingga kini. Membangunkan sesuatu yang telah cukup lama tertidur dalam dada.
Itu terjadi ketika aku pulang dari toko perlengkapan bayi. Langkahku terhenti di sebuah kerumunan yang riuh. Semuanya lelaki. Dan kemudian aku tahu, pusat dari kerumunan itu adalah seekor burung mungil yang dilelang oleh pemiliknya. Aku tidak tahu itu burung apa. Mungil. Terlihat begitu cantik. Warnanya adalah perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Membuat burung itu tampak tiada duanya. Baru kali ini aku tersihir oleh seekor burung. Juga oleh kicauannya.
Tapi inilah yang kemudian terjadi dalam pandanganku. Ia hanya burung kecil yang malang. Di telingaku, kicaunya yang riuh justru terdengar seperti minta tolong.
Orang-orang riuh menawar harganya. Sementara aku sibuk menyandarkan diri sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, suara kicau burung itu tak mau pergi dari dalam kepalaku. Seolah kepalaku telah menjadi sangkarnya. Bahkan hingga detik ini, ketika semuanya aku ceritakan kepada Rani, juga kepadamu.
“Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali ke sana. Titip salam buat Mami ya,” ujarku, meski tak yakin. Wajah Toto membayang ganjil.
Rani menepuk pundakku.
***
Tak semudah yang kubayangkan. Bahkan hanya untuk sekadar menengok rumah Mami demi mengobati rindu. Tujuh tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk membuat kaku semua persendianku. Meski ternyata kurang lama untuk mengikis rindu kepada suara musik yang menghentak-hentak. Tubuhku bahkan masih panas-dingin tiap kali menyaksikan para penari bermunculan. Mereka tampak selalu muda, segar, dan lincah sekali. Mereka terlihat begitu menikmati kebebasannya. Dan siksaan ringan semacam itu kini bertambah dengan adanya burung malang yang meratap dalam kepalaku.
“Burung kecil? Yang mana? Lihat, di sini banyak sekali burung kecil,” ujar lelaki yang kulihat pernah melelang burung kecil itu tempo hari. Melihat puluhan burung yang terkurung dalam sangkar, aku semakin tersiksa saja. Membuatku ingin bergegas ke tempat Mami. Melemaskan seluruh persendian tubuh. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu membebaskan semua burung itu.
“Yang memiliki warna perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Yang kemarin kau lelang di depan banyak orang.”
“Oh, yang itu,” katanya sambil menyemprot seekor burung dalam salah satu sangkar dengan semprotan kecil. Kicaunya yang begitu riuh, serta loncatannya yang tak terkendali, menjadi seperti siksaan di mataku. Meski lelaki itu terlihat senang.
“Sudah dibeli orang, Mbak.”
“Boleh saya tahu siapa orangnya?”
“Memang ada apa, Mbak?” Keningnya berlipat oleh rasa heran.
“Apa kau punya alamatnya?”
“Mbak mau membelinya?” Ia menatap tak percaya.
“Aku serius.”
Lelaki itu malah tertawa. “Sungguh, baru kali ini saya mendapati penggemar burung yang seorang perempuan,” suaranya terdengar nakal. “Burung satu itu memang raja di berbagai lomba. Tapi lihat-lihatlah dulu, di sini juga masih banyak yang kicaunya bisa dipertandingkan.”
“Beri aku alamatnya.” Tak kupedulikan ocehannya yang tak penting itu.
“Baiklah, catatlah alamatnya baik-baik. Tapi dengarkanlah saranku. Sebaiknya jangan kau perlihatkan hasratmu di depannya. Itu akan dipakainya untuk menaikkan harga semau-maunya.”
Itu nasihat yang sama sekali tak berguna bagiku.
***
Yang terpenting bagiku adalah ketika akhirnya mendapati burung malang itu. Suaranya terdengar semakin menyayat-nyayat dada. Semakin membuat kepalaku berdenyut hebat. Aku pun langsung menawarkan harga di atas harga keuntungannya.
“Baru saja beberapa hari yang lalu saya memilikinya. Saya belum berniat menjualnya. Maaf,” ujarnya ringan.
Kepalaku bertambah pening. Pandangan mataku mengabur. Kutatap tajam wajah lelaki itu. Aku melihat Toto di sana.
“Apa kau tak lihat? Dia rindu kebebasan. Apa kau ingin dia merelakan seluruh hidupnya untukmu. Sampai kapan kau akan mengurungnya?” kusemburkan semua yang menyumpal dalam dada ke wajah Toto itu.
“Maksud anda?” Dahinya mengernyit. Pura-pura tak mengerti.
“Kau ingin menghargainya berapa?”
“Sudah saya bilang saya belum berniat menjualnya. Saya baru beberapa hari memilikinya.”
Kedua tanganku gemetar. Aku tahu ini ilusi. Aku tak tahu apa yang membuat mataku jadi seperti ini. Aku melihat burung itu menjelma seorang perempuan mungil dalam sangkar. Ia melompat ke sana-ke mari demi mencari pintu keluar. Riuh kicaunya berubah seperti riuh suara kesedihanku sendiri!
“Jika kau tak membebaskannya, perlahan-lahan dia akan mati dalam sangkar,” rahangku mengeras.
Raut lelaki itu mulai menunjukkan rasa khawatir.
“Bebaskanlah. Berikan padaku. Berapa pun harganya,” ujarku mendesak.
“MAAF, Mbak. Buat apa Mbak membawa sangkar burung ke mall ini?” tanya seorang satpam.
“Pintu atap? Buat apa Mbak membawa sangkar burung itu ke atap gedung?” tanya seorang pramuniaga.
Dari tempatku berdiri sekarang, angin begitu suka-suka mempermainkan rambut dan pakaianku. Udara kehilangan bau apa pun—bau bensin, makanan, manusia, bahkan debu. Dunia terlihat begitu datar, lapang, seolah tak bertepi. Menggoda hasratku untuk segera membebaskan diri.
Hawa kebebasan telah berembus kuat dalam kepala. Suara kicau burung yang beberapa hari lalu menyesaki kepala kini telah sirna entah ke mana. Saat pintu sangkar di tangan kananku kubuka lebar-lebar, pintu dalam kepalaku juga ikut terbuka lebar. Membuat penghuninya terbang keluar entah ke mana. Dan kini aku hanya menyisakan kekosongan yang paling kosong.
“Terbanglah. Ayo, bebaskan dirimu!” kuangkat tinggi-tinggi sangkar di tangan kananku. Berharap si burung kecil segera membebaskan diri. Terbang sesuka hati ke mana pun ia mau.
Ya, lelaki itu akhirnya memang bersedia melepasnya, meski aku harus menebusnya dengan harga lima kali lipat.
Dan burung kecil itu akhirnya terbanglah. Menuju awan. Menuju kebebasan. Aku pun bisa merasakannya. Ada sayap yang tumbuh di punggungku. Lalu tubuhku tiba-tiba saja menjadi ringan, begitu ringan.
Semenit, dua menit, tiga menit…
Kubiarkan angin meniup keras-keras semua yang berkecamuk dalam dadaku. Alangkah lega rasanya. Semua yang menyesak dalam dada langsung menguap. Rani yang membujuk aku untuk kembali kepada Mami, Toto yang membuang semua kostum penariku, Toto yang membuat rumah jadi sangkar dengan sepatah kalimat “demi si kecil Nia”—semuanya berlesatan satu per satu.
Dan aku semakin ke tepi. Merentangkan sayap.
“Lia, ini aku, Lia. Lihat aku, Lia,” sebuah suara yang amat kukenal tiba-tiba menyeruak ke telinga. Membuatku menoleh. Toto! Sementara di sampingnya, beberapa pasang mata menatapku dengan cemas.
Adakah makhluk yang bernama Lia di sini? Adakah burung yang dipanggil Lia di sini? Tapi tak ada burung lain selain aku.
“Ke sini lah, Lia. Ayo pulang. Demi Nia,” ujar lelaki itu lagi.
Siapa Lia? Siapa Nia? Lelaki itu pasti sudah gila. Aku tak kenal mereka. Aku seekor burung sekarang. Aku ingin bebas! (*)
Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih di kawasan Jepara, Jawa Tengah.
Leave a Reply