Baca juga: Slerok – Cerpen Fandrik Ahmad (Republika, 29 Juni 2014)
Tak lama berselang, Sumar kedatangan seorang tamu. Juragan Kawi. Air mukanya pucat. Kalut dibalut basah.
“Pertanda apa ini, Kang?” tanyanya.
Sumar membalasnya dengan senyum sinis. Ia sungguh menikmati kekalutan yang membalut wajah Juragan Kawi, lelaki pertama yang membubuhkan teken perjanjian.
“Aku tidak tahu. Nikmati saja,” tukasnya.
“Nikmati apa?”
“Kamu dan warga yang lain akan segera tahu setelah hujan reda.”
“Lakukan sesuatu, Kang! Lakukan sesuatu! Apa yang mesti kami lakukan?” Juragan Kawi menggoncang-goncangkan tubuh Sumar. Tak sepatah katapun yang terlontar dari mulutnya, kecuali senyum tipis seadanya.
“Kang?!”
Sumar diam sejenak. Membelakangi muka juragan bertopi koboi itu.
“Pukul kentongan. Kumpulkan warga. Suruh mereka keluar dan lemparkan parang ke halaman,” desisnya.
Seketika Juragan Kawi bergegas melaksanakan perintah. Kentongan di pos ronda dipukulnya keras-keras. Tak cukup dengan itu, rumah warga didatanginya satu-sau. Sementara langkah Sumar bersigegas ke sumber memanggul karung goni. Petir menyambar. Tepat di atas langkah kedua lelaki yang berbeda arah itu.
***
Hujan mereda. Juragan Kawi bersama warga mendatangi Sumar. Mereka ingin bertanya pertanda hujan, petir, angin dan perihal parang yang harus dilempar ke halaman.
Namun mereka hanya mendapati rumah antik berdinding bilik dengan sentuhan cat dari arang baterai. Si empu rumah tak ada. Orang yang berani masuk hanya Juragan Kawi. Ia mengingat-ingat terakhir kali berpisah dengan Sumar. Jangan-jangan, batinnya.
Di atas waduk, Sumar berdiri tegak. Merentangkan kedua tangan seperti Nabi Musa yang hendak membelah lautan dengan tongkatnya. Wajahnya menegadah ke langit. Tak jelas apa yang dirapalkan.
Seekor ular keluar dari karung goni. Merayap pelan dan mematuk kakinya. Sumar tetap menengadahkan kepalanya seakan tak peduli betapa racun ular tadi sangat cepat mengalir ke seluruh pembuluh darahnya.
Leave a Reply