Ibnu Wicaksono

Perempuan Berselendang Ungu

4
(1)

Cerpen Ibnu Wicaksono (Republika, 28 Juli 2013)

Perempuan Berselendang Ungu ilustrasi Rendra Purnama

”Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama dengan kita.“ (QS at-Taubah: 40)

TEMPAT ini yang menjadi awal kesedihan tercipta di wajah Agis. Sebuah tempat di mana banyak anak yang menjadi penghuninya. Entah itu dari bayi yang dibuang, hasil bayi pelacur, anak dari orang miskin dan berbagai macam asal muasal anak bisa menjadi penghuni tempat ini. Mereka dirawat bersama di tempat ini sampai kapan pun atau ada orang yang mengadopsi.

Iya, Agis dan anak yang lain hidup di panti asuhan yang penuh keramaian meskipun sejatinya hati terasa amat kesepian. 

Kesedihan demi kesedihan yang membungkus penuh jiwa Agis selayak anak burung yang baru lahir dan ditinggal induknya mati tertembak saat mencarikan makan. Namun, batu kesedihan yang keras itu mulai terkikis dengan hadirnya Bunda Citra, pemilik panti asuhan yang sangat ramah dan penuh kasih sayang. Parasnya yang anggun bak bidadari berselendang halus. Juga pada anak asuhnya beliau selalu memasang wajah binar dan senyum lembut yang mampu membungkus Bulan seakan menyihir setiap pasangan pelupuk mata yang teduh.

***

Pernah suatu ketika, saat Agis mulai mengerti arti sebuah kasih sayang. Ia marah terhadap takdir yang ia alami. Kesal pada orang tua yang meninggalkannya. Ia menyumpah sumpah.

”Mengapa aku harus dilahirkan jika ternyata dibuang? Begitu tega orang tuaku. Ayahku durhaka. Apalagi ibuku. Katanya surga ada di bawah telapak kaki ibu. Tapi, mana surga itu? Ibuku tak pantas masuk surga.” Amarah Agis menjadikan seisi panti asuhan gemetar ketakutan. Mereka saling peluk dan tak tahan lagi membendung air mata. Gerimis air mata pun menjadi hujan berkabut kesedihan.

”Tenangkan dirimu, Agis. Istighfar, Sayang. Allah pasti memiliki rencana indah di balik ini semua. Agis harus tabah dan bersabar. Ini ujian bagi Agis. Allah ingin tahu sejauh mana keimanan Agis.” Bunda Citra mencoba menenangkan sambil memegang bahu Agis dengan lembut.

”Hallah … Tapi mengapa harus Agis, Bunda. Persetan dengan semua. Omong kosong rencana Tuhan.“

Baca juga  Recehan Serakah

”Agisss!!!“ Bunda Citra meneriakkan suara lantangnya. Suara yang semestinya tidak beliau keluarkan pada anak asuhannya dan sebelumnya tak pernah beliau marah seperti itu. Beliau pun sadar dengan apa yang terjadi baru saja. Tampak wajah kaget dari semua anak asuhnya termasuk Agis. Tapi, apa boleh buat. Tak ada cara lagi untuk meredamkan amarah Agis.

”Agis tidak boleh ngomong seperti itu. Ayah dan ibumu pasti memiliki maksud lain untukmu. Mungkin ini satu-satunya cara kasih sayang yang bisa mereka berikan. Dan Tuhan. Jangan sekali-sekali Agis menolak kehendak Tuhan. Apa Agis tidak merasa, sampai umurmu yang ke-16 ini. Kau hidup dengan apa? Makan dengan apa? Mana kesadaranmu? Siapa yang memberi Agis hidup?“

Tidak sampai satu detik Bunda Citra menghentikan kalimatnya, Agis lari ke kamarnya.

Semua anak menelan ludah.

***

Di kamarnya yang senyap. Tiada cahaya yang masuk dari luar lantaran daun jendela tertutup rapat. Agis duduk termenung. Meratapi apa yang ia lakukan baru saja. Ia sadar. Ia tengah melakukan dosa besar.

Tidak sepantasnya aku marah pada semua. Tapi apa maksud Allah dengan semua ini. Pikirnya.

Seraya Bunda Citra masuk ke kamar Agis. Beliau menghampiri anak asuhnya yang baru saja beliau marahi. Perempuan pemilik senyum lembut ini duduk di samping Agis yang duduk termenung memandangi belasan piala yang ia peroleh dari kemampuan melukisnya. Agis menatap kosong.

”Maafkan Bunda, Sayang. Bunda mengerti dengan apa yang Agis rasakan. Memang, hidup ini pahit jika kita tak mampu bertahan. Agis harus yakin dengan kemampuan yang Agis miliki. Agis bisa menjadi orang sukses.“

Agis masih menatap kosong.

”Oh, ya, Nak. Ada yang perlu Bunda sampaikan. Sudah saatnya Agis tahu tentang ini. Ini ada surat dari ibumu saat ibumu menitipkanmu di panti ini. Masih tertutup rapi. Belum ada yang membacanya.“

Lagi-lagi Agis menatap kosong.

Karena tak ada respons dari lawan bicaranya, Bunda Citra menaruh surat itu di atas meja bersandar pada salah satu piala Agis. Bunda Citra meninggalkan ruangan. Lama Agis termenung, sampai hatinya benar-benar sadar. Segera bergegas melaksanakan sholat sunah Tobat. Ia tetap tak merespons surat tadi. Buat apa. Menambah sedih saja.

Baca juga  Musafir

***

Beberapa tahun kemudian, dunia semakin cerah. Agis berubah menjadi anak yang patut dibanggakan. Ia berhasil memperoleh beasiswa kuliah. Pernah berkunjung ke Eropa untuk mewakili kampusnya dalam pertukaran mahasiswa.

Lulus dari kuliah, ia membuat sanggar seni di dekat panti asuhan. Karena ia masih tetap bersama Bunda Citra. Ia tetap tidur di panti asuhan. Meskipun telah banyak anak asuh yang dititipkan dan kawan-kawan Agis yang diadopsi. Ia setia dengan Bunda Citra.

***

Bulan Ramadhan.

Seperti biasa, Agis membantu anak-anak jalanan, membantu fakir miskin dan lainnya. Selalu sholat Tarawih di masjid agung dekat panti asuhannya.

Sesuatu yang berbeda dari Ramadhan sebelumnya, untuk Ramadhan kali ini, setiap akan melaksanakan sholat Tarawih. Ada suatu hal yang menyentuh nuraninya. Entah mengapa pandangannya tertuju pada seorang ibu dan anak yang duduk di trotoar pinggiran masjid. Pakaian yang kusam membungkus tubuh Ibu ini. Selendang ungu ia buat kerudung. Ia duduk dengan kaki telanjang. Anaknya yang sekitar tiga tahunan itu ia dekap rapat-rapat. Tangan kiri menahan dan mendekap anaknya. Sedang tangan kanannya memegang kaleng bekas. Menengadah ke atas. Berharap orang-orang memberi uang.

”Pak, Bu … kasihani kami, kami belum makan.“

***

Agis mengambil air wudhu untuk segera melaksanakan sholat. Tiada henti ia mengucap syukur ketika kedua matanya memandang kembali ibu dan anak tersebut.

Hujan rintik-rintik mulai turun.

Saat melaksanakan sholat, pikirannya melayang pada ibu dan anak tadi. Kekhawatirannya membendung di kepala lantaran hujan semakin deras. Bagaimana jika mereka kehujanan? Akankah mereka tetap berada di tempat?

Usai sholat, hujan mulai reda. Ibu yang berselendang ungu dan anaknya berada di tempat yang tadi. Anaknya terlihat kedinginan. Entah tadi berteduh atau tidak, pakaian keduanya basah. Agis menghampiri dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mengajak mereka ke sanggarnya. Ia menyuruh mereka berganti baju dengan pakaian yang ada di sanggar. Beruntung di sanggar tersedia pakaian yang ada cocok untuk keduanya. Untuk kali ini, Agis tidur bersama kedua orang ini di sanggar. Tidak pulang ke panti asuhan.

Baca juga  Sore Sebelum Kenduri

Agis telah mengetahui latar belakang dari ibu dan anak tersebut. Perempuan yang dulunya bekerja sebagai pelacur, anaknya pun tak tahu terlahir dengan laki-laki mana. Sungguh teriris hati Agis mendengar ceritanya.

Saat sahur tiba, Agis kaget. Tiba-tiba ibu dan anak tadi sudah tidak berada di tempat.

***

Keesokan harinya, Agis tak pernah melihat perempuan berselendang ungu dan anaknya lagi di pinggiran masjid.

Tapi, entah mengapa lima hari setelah kejadian itu ada anak yang digendong ibu itu dititipkan ke panti asuhan. Agis bertanya mana ibunya pada Bibi Sukmi, pembantu Bunda Citra yang menerima anak itu.

”Ibunya sudah pergi. Ia titipkan anaknya di sini. Memangnya kenapa Agis? Sudah biasa, ‘kan, orang menitipkan anak ke sini?“

”Tak ada pesan yang diberikan oleh ibu tadi?“

”Ada, ia hanya berpesan nama anaknya adalah Anisa. Dan satu surat ini. Ia meminta surat ini diberikan saat anaknya sudah dewasa.“ Sambil menunjukkan surat pada Agis.

Agis bergegas membaca isi dalam surat tersebut.

Nak, maafkan Ibu harus menitipkanmu. Ibu mengambil keputusan ini agar kau bisa menjadi orang yang berhasil. Ibu ingin suatu saat bisa bertemu kamu kembali. Meski itu di surga.

Jangan lupa dengan Allah, ya.

Ibumu.

Awalnya Agis bisa menerima dengan ikhlas atas isi surat dan kehadiran Anisa. Tapi, ia sontak kaget, hatinya berdebum tidak karuan. Karena saat ia masuk kamarnya dan teringat surat yang ibunya berikan dulu. Dan masih bersandar pada salah satu pialanya. Ia ambil, membuka dan membaca. Isi surat itu sama persis dengan isi surat yang tadi ia baca dari ibu tadi.

Air matanya mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya yang sontak layu.

Ibu.

Jember, 25 Juni 2013

Penulis adalah cerpening dan tinggal di Jember, Jawa Timur.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!