Cerpen Koesworo Setiawan (Republika, 4 Agustus 2013)
DERU kendaraan di perempatan Coca-Cola mulai reda. Antrean metromini, bus kota, dan angkot yang biasa berjejal tak lagi seberapa. Kabut asap mulai menipis. Pancaran lampu merkuri terasa makin terang.
Putaran waktu yang terus bergerak mengantar Jakarta ke tengah malam.
Karsidi mengempaskan beban yang sedari siang menekan punggungnya. Karung plastik yang setiap dalam gemblokannya itu terlempar ke tanah. Karsidi mendaratkan pantatnya, menyandarkan punggungnya ke pilar beton, penyangga jalan layang di seberang jauh perempatan.
Titik-titik keringat menyembul dari dahi dan tengkuknya. Padahal, suhu mulai turun. Tangannya meraih capil anyaman bambu di kepala. Dikipaskannya sebentar sebelum dilempar sekenanya tak jauh dari ia duduk.
Sedianya, lelaki 30-an tahun itu ingin langsung pulang ke gubuknya di kampung kumuh di seberang perempatan. Tapi, benang kusut di kepalanya membuat ayunan kakinya terasa kaku.
Karsidi menyedot puntung rokok dalam jepitan jarinya. Rongga dadanya dipompa menggembung, dipenuhinya dengan tar dan nikotin. Yakin seluruh asap rokok sudah mengisi paru-parunya, Karsidi mengempaskannya berirama. Sebagian dibentuk bola-bola.
Dalam pusaran asap rokok yang bergulung-gulung, Karsidi menangkap bayangan. Lebih tepatnya, bayang demi bayang yang terangkai membentuk peristiwa. Sisa puntung rokok buru-buru dijentikkannya.
Sorot mata Karsidi menatap nanar. Pikirannya makin keruh.
Ada wajah Fitri, putri semata wayangnya yang sakit. Gadis enam tahun itu sudah lebih sepekan tergolek di kasur busa rombeng di gubuk kardus yang mereka tinggali. Mula-mula Fitri mengeluh sakit perut, lalu muntah-muntah. Setelah itu, badannya meriang dan tak ada tanda-tanda membaik hingga pagi tadi.
Obat sakit perut yang dibeli di warung terdekat tak bertuah. Minyak kayu putih yang diminta dari tetangga sebelah juga tak sanggup mengusir sumber sakit bocah periang itu. Fitri mengerang. Katanya, perutnya seperti ditusuk-tusuk. Semua makanan yang disuapkan emaknya Kodijah dimuntahkan. Wajah Fitri makin pucat. Matanya cekung. Badannya layu. Malam, siang, ia hanya terbaring dan mengigau.
Hati Dijah seperti diremas-remas. ”Apa yang harus kita lakukan, Pak. Panas Fitri tak juga turun.” Bibir Dijah bergetar. ”Mengapa kita tak lepas dari masalah. Satu belum pergi, satu lagi masalah datang.”
Karsidi menatap wajah istrinya yang tampak lebih tua 10 tahun dari usianya yang 29 tahun. Rambutnya masai. Entah sudah berapa hari tak terpikir dicuci atau disisir. Kulitnya makin kelam.
Beban hidup merampas sebagian umurnya. Saban hari, Dijah harus banting tulang, mencuci baju di dua rumah tetangga. Dijah harus memulai pekerjaannya pagi-pagi. Si empunya rumah maunya pekerjaan beres sebelum jam 10.
Selesai di situ, Dijah bergeser ke pasar induk. Di sana, ia sudah ditunggu rekan-rekannya sesama perempuan. Mereka mengumpulkan ceceran beras untuk dijual. Di tangan pembeli, beras itu untuk pakan burung. Tapi, tak jarang Dijah membawa pulang untuk mereka makan bertiga. Sebelum semua kesibukan itu dimulai, Dijah masih menyempatkan membantu segala keperluan Fitri yang sudah mulai sekolah di sekolah gratis di kolong tol Kebun Nanas.
Subuh, Dijah sudah terlihat sibuk bersamaan dengan Karsidi yang berangkat mulung. Karsidi dan Dijah sadar, mereka memang kelewat miskin. Mereka adalah laron di antara gemerlap lampu merkuri.
Namun, mereka masih menyimpan harapan tentang masa depan. Sebab, ada Fitri di sisi mereka. Fitri adalah makna hidup itu sendiri. Betapa tidak. Dijah baru hamil setelah lima tahun mereka berumah tangga.
Kini, Fitri mulai pintar dan mandiri. Ia bersemangat sekolah. Melihat teman-temannya sekolah di kolong tol, Fitri tak mau absen. Fitri adalah embun penyejuk hati orang tuanya yang pengap karena tekanan hidup sehari-hari.
Tiba-tiba, dada Karsidi seperti diimpit bongkah batu besar. Sesak. Ia sangat menyesal, hingga 13 tahun mengikat janji setia dengan Dijah tak jua memberinya kebahagiaan. Dari pekerjaan memulung plastik dan buruh cuci pakaian yang dilakoni Dijah, penghasilan mereka hanya cukup untuk makan.
Hanya mukjizat yang membuat mereka bisa makan kenyang dalam sehari. Apatah lagi, kini Fitri sakit. Dijah dan Karsidi tak bisa sama-sama kerja. Mereka bergantian menunggu Fitri. Karsidi memilih memulai pekerjaannya siang atau sore hari.
Kepalanya terasa seperti ditusuk ratusan paku. ”Jangan salahkan Sang Mahaperkasa, Bu. Mungkin Allah lagi sayang sama kita.” Karsidi menjawab sekenanya.
Tangannya meraih kompres yang tertempel di kening Fitri. Dicelupkannya lagi ke gayung berisi air, lalu ditempelkan ke tempat semula. Untuk beberapa saat, anak ini terlihat tenang.
”Fitri tak pernah sakit seperti ini, Pak. Biasanya, dia sakit sebentar lalu sehat lagi. Mengapa sekarang tak sembuh-sembuh.“ Karsidi tergugu. Membiarkan Dijah mencari jawaban sendiri.
Sebenarnyalah, pada hari ketiga Fitri sudah dibawa ke puskesmas. Dari diagnosis awal, dokter curiga Fitri menderita gangguan usus. Kata dokter, Fitri harus dirawat di bawah pengawasan dokter spesialis. Untuk sementara, Fitri diberi beberapa jenis obat generik.
Dirawat? Dokter spesialis? Ah, berapa banyak uang yang mesti disiapkan untuk itu semua? Dijah menggeleng. Tiba-tiba, Dijah ingat sesuatu. Sudut bibirnya menjauh satu sama lain.
”Pak, kan kita punya kartu sehat yang sudah dibagi kelurahan. Mengapa tak kita coba menggunakannya ke rumah sakit.“
Karsidi ikut tersenyum. ”Mana, Bu. Memang ada ya? Ambil kartunya. Aku pinjam motor dulu, kita bawa Fitri ke rumah sakit.” Sekeping kartu sehat program kelurahan menjadi tumpuan segala harapan.
Jadilah tadi pagi mereka bertiga berboncengan naik motor. Menyusuri jalan-jalan Jakarta, bukan hal mudah, terutama buat Fitri. Sepanjang perjalanan Fitri terus mengeluhkan sakit di perutnya. Akhirnya jerih payah mereka terbayar. Mencapai pelataran rumah sakit, laksana menjejak pintu surga.
”Kamar kelas III penuh, Pak.“ Petugas rumah sakit itu menjulurkan tangannya mengembalikan kartu sehat milik Karsidi.
Kerongkongan Karsidi tersumbat biji mangga. Wajahnya beku.
”Tapi Mbak, anak saya terus mengerang kesakitan. Kata dokter puskesmas perlu dirawat.“
”Ya kalau bapak mau, bisa di kelas I atau VIP. Tapi, tentu dengan biaya sendiri, Pak. Bagaimana?“ Senyum perempuan muda petugas rumah sakit itu yang sebenarnya sangat manis.
Namun, bagi Karsidi senyum itu lebih mirip seringai sinis. Perempuan itu seperti sedang mencibir nasibnya.
Ekor mata Karsidi tertuju ke sudut ruang tunggu. Dua perempuan terkasihnya sedang memupuk harapan dari percakapannya barusan. Bila kali ini mereka pulang tanpa hasil, itu artinya sudah tiga rumah sakit menolak perawatan Fitri. Alasan mereka macam-macam. Kamar penuh atau minta uang deposit. Ah.
Karsidi mengais sisa semangat. Kali ini, Fitri harus mendapat perawatan. Sebab, bila kembali mencari rumah sakit keempat kalinya, Fitri akan semakin menderita. Dengan suara berat, Karsidi kembali membuat penawaran.
”Mbak bisa lihat sendiri anak saya sudah payah. Tolonglah, Mbak.”
”Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas.” Api asa perlahan mulai padam. Karsidi melangkah lunglai ke arah istri dan anaknya. Melihat kepala ditekuk, dan langkah gontai suaminya, Dijah menangkap gelagat buruk. Mereka kembali pulang dengan tangan hampa.
”Mak, Fitri ngga kuat lagi.“ Suara Fitri lirih, tenggelam oleh sesengguk ibunya yang tertahan di ujung leher.
***
”Angkat tangan!!“
”Jangan bergerak!!“
Karsidi tersentak. Ia berusaha bangkit dari duduknya. Gambar-gambar buram tadi masih membayang, bercampur sisa kesadarannya. Apa yang terjadi? Ia melihat sekeliling, memastikan kepada siapa seruan empat pria yang berlari ke arahnya itu ditujukan.
Tak ada orang lain. Ia sendiri di tempat itu. Empat orang itu berlari cepat. Tangan mereka menggenggam sesuatu. Pistol? Ya, ya, pistol. Tiba-tiba benda keras menghantam pelipisnya. Kepalanya mendadak terasa berat. Pandangannya buram.
***
Nasi kotak yang disodorkan petugas piket pagi ini tak membuat hilang rasa lapar. Mulut Karsidi susah dibuka. Bibirnya perih. Bekas kekerasan juga terlihat di hampir seluruh tubuhnya, termasuk pelipis, dan dada kirinya. Lebam dan nyeri.
Karsidi tak mengerti mengapa ia tiba-tiba disergap, dianiaya, lalu dijebloskan dalam penjara semacam ini. Dari tengah malam hingga menjelang subuh, ia diinterogasi polisi, seputar sebungkus kecil bubuk putih yang ada di saku celananya.
Karsidi sudah berulang kali mengatakan tak tahu. Tak tahu, tepatnya baru tahu barang itu namanya sabu. Tak tahu milik siapa. Juga tak tahu bagaimana bisa ada di saku celananya. Karsidi merutuki nasibnya.
”Mana Karsidi?!” Suara besi berderit. Pintu sel dibuka. Polisi memberi izin Karsidi pulang ke rumah. Katanya, untuk alasan kemanusiaan. Entah apa maksudnya. Dengan dikawal dua petugas, Karsidi kembali menyusuri gang-gang sempit menuju gubuknya.
Dari jarak 30 meter Karsidi melihat kerumunan orang. Ada apa? Di rumah siapa mereka berkumpul? Makin dekat membuatnya makin gusar. Ada bendera kuning tertancap. Sayup-sayup ia mendengar suara wanita menangis.
Sekitar sepuluh meter, Karsidi yakin orang-orang berkumpul di gubuk kardusnya. ”Fitri?!!“
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina Jurusan Komunikasi Politik.
Leave a Reply