Cerpen Sri Harjanto Sahid (Suara Merdeka, 4 Agustus 2013)
TELEPON di kamar tidurku berdering keras. Aku tersentak bangun. Kulihat jam dinding. Pukul 03.00. Belum subuh. Sialan! Benar-benar tak tahu adat si penelepon itu. Aku hampir meradang. Namun kuangkat juga gagang telepon.
”Maaf, aku hanya ingin memberi kabar. Mas Jatmiko meninggal setengah jam lalu. Terkena serangan jantung barangkali. Sebelum mengembuskan napas terakhir dia menyebut namamu berulangkali. Ini aku, Menik, istrinya,” terdengar suara sedu sedan di seberang sana.
Astaga! Sahabatku semasa remaja, setelah dua puluh lima tahun tak bertemu, tiba-tiba sebulan lalu bertamu ke rumahku. Minta kulukis wajahnya. Kukerjakan lukisanku dengan rasa haru yang mendalam. Seminggu lalu lukisanku yang bagai punya nyawa selesai. Langsung kukirim lewat paket ke rumahnya di Sragen. Ah, kini Jatmiko tiada.
Aku tak bisa tidur lagi sejak gagang telepon kutaruh lagi di tempatnya. Aku merenung sedih di teras sambil minum kopi. Tidak mandi sampai siang. Lalu istriku menghampiriku dengan wajah sendu. Dia bilang baru menerima telepon. Dapat kabar duka lagi. Rukmini mantan pacarku sewaktu kuliah di ISI mati menggantung diri.
Alangkah cepatnya hidup berlalu. Umur manusia tak bisa ditebak kapan berakhirnya. Maut bisa setiap saat menghampiri. Setiap kematian menggenggam misterinya sendiri. Demikian pula yang terjadi dengan guru spiritualku Pak Ahmad Jamil. Malamnya, menjelang tidur salah seorang saudara seperguruanku datang mengetuk pintu rumahku. Memberitahu bahwa Pak Ahmad Jamil wafat. Hanya oleh sebab tersedak saat makan ketela rebus sambil minum wedang ronde.
Sehari tiga kematian. Semua orang terdekatku. Untung aku sempat mengabadikan wajah ketiganya di dalam kanvasku. Kulukis wajah mereka dengan penghayatan sempurna. Wajah mereka di kanvas seperti punya roh. Hidup, bernapas, berdaging dan berdarah. Tatapan matanya menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.
”Jangan-jangan mereka cepat mati gara-gara dilukis Ayah. Bukankah ketiganya Ayah lukis dalam satu bulan terakhir ini? Kok ketiganya bisa meninggal dunia dalam sehari? Ini sangat aneh. Pasti bukan hal yang kebetulan,” kata anak pertamaku, Gogon, yang suka membaca cerita mistik dan horor.
”Ah, ngawur kamu! Jangan ngomong sembarangan. Nanti ayahmu bisa ketakutan. Bisa terserang trauma berat. Jangan sembrono kalau ngebacot!” hardik istriku keras dan kasar. Gogon menjulurkan lidah sembari cengengesan.
Aku terpana oleh gurauan Gogon. Berhari-hari pikiranku terganggu oleh ucapan konyol itu. Benarkah itu? Mereka segera mati begitu selesai kulukis wajahnya? Spesialisasiku memang melukis potret wajah. Selama puluhan tahun menjalani profesiku entah sudah berapa ratus orang kulukis wajahnya. Alangkah mengerikannya kalau mereka semuanya mati begitu lukisannya selesai kukerjakan.
Iseng-iseng kucari informasi tentang orang-orang yang telah kulukis wajahnya pada tahun ini. Ada sebelas nama dalam catatanku. Alamat dan nomor teleponnya masih kusimpan. Kuhubungi satu per satu. Dan… astaga, mereka semuanya telah meninggal dunia pada tahun ini juga. Sebabnya bermacam-macam. Ada yang tertembak polisi akibat salah sasaran. Ada yang tenggelam di sungai. Ada yang kebentur pintu kepalanya saat mabuk. Ada yang terpeleset jatuh di kamar mandi. Bahkan ada yang modar di atas paha seorang pelacur di kompleks lokalisasi.
Aku hampir linglung digodam kenyataan aneh itu. Dalam kebingungan yang penuh debaran kulacak juga keberadaan orang-orang yang pernah minta kulukis wajahnya dalam setahun sebelum tahun ini. Ternyata dari sembilan yang berhasil kulacak ada tujuh yang sudah almarhum. Dua orang masih segar bugar. Setahun di belakangnya lagi ada tujuh belas orang yang kuketahui keberadaannya dan semuanya sudah tenang di dalam tanah pekuburan.
Aku dihajar kefrustrasian dahsyat. Setiap hari jidatku seperti dipukul palu godam tanda tanya dan misteri yang tidak terjawab dan sukar dirumuskan. Kutinggalkan kanvas, palet, kuas dan cat. Tiap kali aku melihat alat-alat kerjaku itu aku seperti melihat senjata-senjata untuk membunuh orang! Aku jijik dan ngeri bukan main. Akhirnya tenggelam dalam minuman keras. Mabuk dari waktu ke waktu dan dari hari ke bulan. Empat tahun lebih aku berhenti total melukis. Ekonomi keluargaku hancur. Istriku meradang setiap hari. Matanya mencorong setiap menatap wajahku. Anak-anakku macet sekolahnya.
”Sudah cukup kegilaanmu itu Mas. Jangan kau teruskan lagi. Aku sudah tak tahan. Kesabaranku habis. Minggu ini aku akan minta cerai kalau keedananmu masih kaupelihara. Keyakinanmu itu sesat. Dosa besar! Kematian orang-orang yang kau lukis wajahnya itu tak ada hubungannya dengan dirimu. Itu sudah takdir mereka. Hanya Tuhan yang bisa mengambil nyawa seseorang. Bukan kau! Kau pasti masuk neraka kalau merasa bisa mencabut nyawa orang lain dengan torehan kuasmu. Ayo, insyaflah Mas. Kembalilah ke ajaran agama kita yang indah!” suatu sore istriku menceramahiku sambil berkacak pinggang. Di puncak kemarahannya tanpa sadar istriku terkentut-kentut. Aku jadi tertawa cekakakan. Anak-anakku ikutan tertawa.
***
Dengan sabar keluargaku membimbingku kembali ke jalan agama yang menakjubkan. Mengajakku rutin bersembahyang bersama. Mencari cahaya terang di rumah-rumah ibadah. Menjenguk Tuhan di ruang kalbu diri sendiri, bersujud dan memohon ampun. Maka gairah hidupku pun kembali menyala. Kegelisahan kreativitasku sebagai pelukis mulai membunga.
”Aku ingin kau lukis wajahku, Mas,” pinta istriku suatu senja.
”Gila kamu!” teriakku kaget.
”Kenapa? Kau takut aku akan mati begitu selesai kaulukis? Tinggalkan takhayulmu yang sesat itu. Kau sudah jadi manusia baru sekarang. Masa lalu itu sudah terhapus. Ayo kita buktikan,” dengan ketenangan luar biasa istriku membujukku. Dalih-dalih yang dia kemukakan menjernihkan akal sehatku. Aku pun merasa tertantang. Siap menantang diriku sendiri. Meneguhkan imanku.
Dengan gairah sunyi menggeletar kulukis wajah istriku. Dalam sehari kadang-kadang istriku duduk tekun berjam- jam menjadi modelku langsung. Anak-anakku juga mendukung semangatku untuk aktif melukis kembali. Mereka asyik menungguiku menggambar wajah ibunya. Membuatkan kopi. Menyediakan makanan kecil buat camilan. Dan berkelakar menabur kegembiraan. Sementara imajinasiku menggelegak. Intuisiku menghangat. Hati berdebar-debar aneh. Sesekali rasa takut yang misterius menyergapku diam-diam.
Lukisan selesai dalam tiga belas hari. Di kanvas tampak wajah istriku tersenyum menebarkan cahaya maha cahaya. Seperti punya nyawa, bernapas, berdaging dan berdarah. Matanya mencorong penuh wibawa. Dia menjelma menjadi sebuah pesona keabadian. Disaksikan istri dan anak-anakku kububuhkan tanda tanganku pada kanvas di bagian pojok kanan bawah. Sedetik tanda tanganku usai kubuat mendadak istriku melenguh. Seperti kesakitan, mendekap dada. Lalu jatuh bersimpuh.
”Kenapa kau?” aku tersentak kaget.
”Aduh, tolong baringkan aku di tempat tidur,” suara istriku terdengar kepayahan.
Dengan sangat cemas kubopong istriku ke kamar. Kubaringkan tubuhnya. Napasnya tampak tersengal-sengal. Wajahnya pucat pasi. Kuraba-raba badannya, seperti tak bertenaga. Lemas dan agak dingin. Aku mulai gemetar ketakutan. Mataku membasah. Anak-anakku ikut panik. Mereka berusaha memijit-mijit kaki dan tangan ibunya. Mereka menangis sambil memanggil-manggil ibunya. Kuminumkan air putih. Tak ditelannya. Tumpah berlelehan di seputar leher. Tiba-tiba tubuhnya mengejang dan menggigil. Lalu tersentak hebat dan mendadak diam kaku. Napasnya seperti berhenti.
”Ya Tuhan! Aku sudah merasa akan terjadi hal seperti ini. Akhirnya kubunuh juga istriku…,” aku melenguh dengan tubuh gemetar. Aku menangis mengguguk dan menggigil.
Beberapa menit berselang, bagai ada keajaiban, tubuh istriku melompat bangun. Sudah tentu aku dan anak-anakku terpukau keheranan. Lantas dia ketawa-ketiwi cekikikan. Tangan dan kakinya menari-nari menggoda. Matanya bergerak nakal memancarkan kekurangajaran yang menyebalkan. ”Hihihi… aku cuma main-main, kok. Dasar goblok semua. Gampang banget kutipu,” ketawa-ketiwi istriku kian menjadi- jadi. Air matanya sampai berlelehan saking bahagianya sukses menipuku. Koarnya lagi, ”Aku berhasil dengan gemilang menipumu. Itu karena takhayulmu masih kau pelihara. Kau belum ikhlas membuangnya, Mas.”
Meski merasa lega tapi aku hampir naik hitam.
”Lawakanmu benar-benar tidak bermutu. Norak! Kampungan! Tidak intelek! Aku tadi hampir semaput karena sedih, tahu? Dasar idiot!” teriakku emosional.
”Walaaah, gitu aja marah. Kayak nggak kenal siapa aku aja. Sejak dulu aku kan paling hobi melawak dengan mutu rendah. Hihi…,” jawab istriku tetap cengengesan.
Tiba-tiba telepon genggam di saku celanaku berbunyi. Ada panggilan rupanya. Aku keluar kamar karena di dalam kamar istri dan anak-anakku masih ribut sendiri. Kuangkat telepon genggamku dan kupencet tombol jawabnya. Kudengar suara si penelepon di sana sangat emosional. Tergesa-gesa dan tak memberi kesempatan padaku untuk menyela. Aku terpana mendengar semua perkataannya. Bulu kudukku merinding. Badai kegelapan menghantam benakku. Sempoyongan aku masuk ke dalam kamar. Istri dan anak-anakku masih tertawa-tawa.
”Baru saja ayahmu memberi kabar. Katanya, saudara kembarmu tewas tergilas kereta api ekspres di Cirebon. Tubuhnya hancur berceceran tak dapat dikumpulkan lagi,” aku meratap lalu jatuh tak ingat apa-apa. (62)
Yogyakarta, 29 Juli 2013
— Sri Harjanto Sahid lahir di Sragen, 25 November 1961. Alumnus Asdrafi dan ISI Yogyakarta. Aktif berteater, sastra, dan seni rupa. Kini mengajar di Bengkel Sastra Balai Bahasa Yogyakarta, Fakultas Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Abhiseka Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta.
Nitaa
cerita yg luar biasa, ending mengejutkan