Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 9 Februari 2014)
DONGENG Burung Hitam
Namili menyukai dongeng burung hitam sebesar ia menyukai malam dan kegelapan. Saking sukanya, sampai berusia dua puluh sembilan tahun kurang tiga hari dongeng itu ia ingat dengan baik dan sering ia ceritakan untuk dirinya sendiri di pertiga malam sebelum memaksa dirinya tidur karena harus berangkat kerja pada pukul tujuh pagi. Namun sesuatu terjadi, Namili kehilangan jalan cerita dongeng itu pada suatu malam ketika ia memandang ke luar jendela dan itu merupakan saat tergelap dari semua malam. Tidak itu saja, tiba-tiba kepala Namili juga dipenuhi burung-burung hitam dengan jumlah yang berlipat dari yang seharusnya—tentu menurut ingatan dia yang juga mendadak kabur.
”Burung-burung hitam bermata hitam.“
”Lebih hitam dari gelap malam, Bapak?“
”Tiga ekor burung hitam yang lebih hitam dari gelap malam.“
”Tiga ekor, seharusnya memang tiga ekor, dan tentu bukan seratus,“ desis Namili antara yakin dan tidak. Kepalanya tambah berat karena terus berpikir. Kerutan kulit menumpuk di dahinya yang lebar–dahi orang pintar, kata bapaknya memuji waktu ia kecil, masa di mana Namili banyak sekali menerima dongeng dari bapaknya. Tapi sejak ia mendengar dongeng burung-burung hitam, hanya itu saja yang lebih sering diinginkannya.
”Kau benar-benar menyukai dongeng itu?“ tanya bapaknya.
Waktu itu Namili tidak tahu apa ia benar-benar menyukainya (tapi yang jelas ia sangat menyukai cara bapak menceritakannya). Kalau ia mau jujur sebenarnya ia ketakutan saat pertama mendengar dongeng itu dan tetap ketakutan tiap mendengarnya lagi. Hanya saja ketakutan itu rupanya menjadi candu. Seolah-olah ketakutan merupakan variasi lain dari kebahagiaan. Seolah-olah ketakutan itu memang ia butuhkan melebihi perasaan lain. Semua itu tidak pernah ia katakan pada bapaknya. Ia tidak mau bapaknya tahu kalau sejak itu pula ia menyukai malam dan kegelapan dengan perasaan takut sekaligus membahagiakannya. Bapaknya pasti khawatir. Pasti saja ia kan menganggap ada yang tidak beres pada Namili.
Sekarang dongeng burung hitam itu tinggal sepotong ingatan pendek saja. Sepotong ingatan pendek yang terus berseteru dengan kenyataan dan itu membuat kepala Namili makin berat. Bukankah ingatan memang harus kalah melawan kenyataan? tanya Namili mencari pembenaran agar perasaannya tidak terlampau galau.
Ada tiga ekor burung hitam dalam ingatan Namili.
Ada seratus burung hitam yang sekarang mendekam dalam kepalanya, bersesak-sesakan.
Mana yang paling benar?
***
Berkali-kali Namili coba menghadirkan ulang dongeng burung hitam yang berasal dari masa kecilnya itu –fase kehidupan yang paling ingin ia abadikan dari semua perjalanan hidupnya. Karena itu, pertama-tama ia harus meluruskan tentang jumlah burung hitam yang cuma tiga ekor, bukan seratus. Seterusnya ia ingin mendapatkan kembali sebagian besar jalan cerita yang hilang itu. Bagaimana bisa sesuatu yang tidak jelas dapat mengacak-acak ingatannya? Ia mesti mengembalikan segala sesuatu pada tempat seharusnya tanpa menunda-nunda lagi. Ia tidak dapat lebih lama lagi menghadapi riuh burung hitam di kepalanya yang makin mengganggu. Ia harus mengusir sembilan puluh tujuh burung hitam di kepalanya jika terbukti kalau itu sebuah kekeliruan yang ditimbulkan dari kepicikan sebuah kenyataan, dan bukan merupakan kebenaran.
Sesaat Namili melongok ke luar jendela yang selalu ia bukan begitu malam tiba. Malam tanpa bintang dan bulan yang sangat ditunggu-tunggunya (semua malam di mata Namili memang tanpa cahaya). Malam yang sepi. Di tempatnya tinggal malam memang cepat sekali sepi. Anak-anak dipaksa tidur cepat karena pagi-pagi harus sekolah. Padahal betapa penting baginya mendengar suara ribut anak-anak, betapa itu akan membuatnya merasa ramai sebelum memasuki dunia yang lebih terasing –tempat ia akan selalu berada dengan pikirannya yang gelap dan perasaan hitam pekat.
Namili menarik tubuhnya dari jendela yang dingin. Ia pikir lebih baik berdiri di balkon saja. Dari sana ia bisa melihat langit lebih luas. Melihat malam yang sangat disukainya. Namili berjalan ke arah balkon yang berada di sisi kanan jendela tempat tadi ia berdiri. Balkon kecil. Tidak banyak dari penghuni rumah kos yang menyukai balkon itu. Teman-teman kos Namili kebanyakan mahasiswi. Mereka tipikal mahasiswi yang rajin dan sibuk sekali bikin tugas kuliah dan jika ada waktu santai lebih memilih membaca buku di kamar ketimbang menyendiri di balkon lantai tiga.
Di balkon Namili memandang lekat-lekat ke arah langit yang makin hitam. Bibirnya tertarik dalam, menimbulkan garis cerah di wajahnya. Di balkon itu ada satu bangku panjang terbuat dari kayu dengan sandaran yang tinggi. Di bangku itu Namili merebahkan diri. Ada ketenangan yang serta merta menyelusup dalam rongga dadanya. Segala sesuatu bergerak damai. ”Ini saatnya,“ gumam Namili. Ia telentang dengan kaki diluruskan hingga menyentuh ujung bangku. Persis sama saat ia berusia kanak-kanak ketika bapaknya mendongengi sebelum tidur. Sekali lagi ia memandang langit tanpa bintang, tanpa bulan, sebelum memejamkan mata lambat-lambat. Angin membuat anak rambut di keningnya bergerak-gerak ringan. Napasnya mulai teratur. Ia akan mulai merunut dongeng burung hitam dalam situasi paling tenang. Ia berharap dengan cara itulah dongeng itu bisa kembali ia genggam.
”Kita mulai,“ bisik Namili pada dirinya. Suaranya berat dan sedikit bergetar. Angin kembali berembus. Sedikit keras dan terasa mengempas.
Tapi baru saja Namili memejamkan mata –sebelum ingatannya bergerak sama sekali—serombongan burung hitam serta merta keluar dari kepalanya. Ia telah kalah cepat, gagal sebelum memulai. Sekawanan burung itu berputar-putar di atas tubuh Namili. Suara yang riuh memaksa Namili membuka mata kembali.
”Kalian ribut sekali,“ gerutu Namili menahan marah.
Dengan kesal Namili kembali menghitung mereka satu per satu. Bagaimana mungkin Namili bisa menghitung dengan tepat burung-burung yang sedang terbang? Bukan tiga, lima atau sepuluh burung, tapi seratus burung hitam, seperti biasa, tidak kurang tidak lebih. Namili menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah yang lelah. Burung-burung itu seolah tahu apa yang ia rencanakan dan mencoba menghalanginya. Seharusnya tadi ia menyusuri dongeng itu pelan-pelan, dari awal saat suara bapaknya muncul di kegelapan, berkata, ”Namili, dengarlah dongeng burung hitam….“
Tiga Botol Ramuan
Sejak kehilangan jalan cerita dongeng burung hitam, Namili sering berdiri murung di balkon. Ia memandang malam dengan matanya yang sedih. Sesekali burung melintas serupa bayangan, bisa jadi bukan burung melainkan kelelawar, dan ia rasakan riak di dadanya. Kecil. Mirip cahaya lilin dalam gerimis. Hidup untuk kemudian mati dengan cepat.
Kepalanya makin berat saja dari hari ke hari. Ia tidak tahu apa jumlah burung yang mendekam di kepalanya masih seratus ekor. Ia malas menghitung lagi. Ia juga sudah tidak memaksakan diri untuk mengembalikan jalan cerita dongeng itu. Ia sudah sampai pada kesimpulan, jika dongeng itu harus kembali padanya, maka biarlah itu terjadi dengan sendirinya. Ia tidak mau memaksa kepalanya terus berpikir.
Dan benar, terkadang sesuatu yang begitu diinginkan seringkali datang saat seseorang sudah menyerah. Begitu juga dongeng itu. Namili sedang berdiri di balkon seperti kebiasaannya, menatap langit hitam yang sangat luas ketika mendadak di pikirannya berkelebat bayangan tiga botol ramuan. Ya. selain burung hitam, dalam dongeng itu juga ada tiga botol ramuan – besar kemungkinan ramuan obat atau sejenisnya. Tiga botol ramuan itu memang objek yang terlepas dan seakan berdiri sendiri. Namili sama sekali tidak tahu apa hubungannya dengan burung-burung hitam, akan tetapi paling tidak ia telah menemukan objek lain yang bisa saja mengantarkannya pada objek-objek berikutnya. Dua dari tiga botol itu sudah kosong. Satu botol yang tersisa berisi cairan warna hitam.
Mata Namili menyala lagi. Buru-buru ia mundur sejarak dua meter dari dinding setinggi dada pembatas balkon. Ia kembali melakukan apa yang beberapa waktu lalu dilakukannya demi mengembalikan jalan cerita dongeng burung hitam, demi mengembalikan segala sesuatu pada semestinya.
Namili telah berbaring di bangku kayu. Telentang. Matanya berhadapan dengan langit malam. Pelan-pelan. Sekarang ia tak melihat apa-apa yang ada di sekitarnya. Hanya gelap, meski bukan gelap yang kosong.
”Namili, dengarlah dongeng burung hitam….“ Terdengar bapaknya membuka cerita. Suara bapaknya bening, begitu dekat di telinganya. Setiap mendongeng bapaknya memang selalu membuka cerita dengan cara yang sama dan hanya meyesuaikan judul cerita saja.
Mata Namili kecil mengerjap-ngerjap.
”Di sebuah hutan, Namili, ada kehidupan yang terus-menerus gelap sepanjang waktu.“
Namili diam. Ia sudah tahu tentang itu.
”Burung-burung hitam yang lebih gelap dari malam itu –mereka hinggap dari batang pohon yang satu ke batang pohon lain, pohon-pohon dengan daun-daun yang juga tak kalah hitam hingga tidak jelas mana burung, mana daun-daun. Tapi kau harus mengingatnya baik-baik, Namili, berapa ekor jumlah burung itu? Jumlah itulah nanti yang akan hidup dalam ingatanmu.
”Tiga ekor,“ kata Namili.
Kepala Namili berdenyut panjang. Bergerak-gerak gelisah. Keringat sudah bermunculan dari pori-pori kulit di sekitar keningnya. Kelopak matanya yang tertutup, gelisah. Ia coba mengulang bagian ketika menjawab penuh keyakinan: tiga ekor.
Ya, tiga ekor burung hitam!
Seketika angin menderu dari arah yang entah.
Seratus burung dalam kepala Namili memberontak keras dan mengakibatkan kepalnya berdenyut lebih panjang. Namun kali ini ia tak akan membiarkan burung-burung dalam kepalanya keluar secepat itu. ia harus menemukan terlebih dulu hubungan antara burung hitam dan tiga botol ramuan dalam dongengan bapaknya.
”Burung-burung hitam itu sangat takut pada botol ramuan. Botol yang menyimpan jalan kematian.”
Namili tersentak, matanya terbuka lebar. Bapaknya raib bersamaan dengan kalimat terakhirnya –bagai tak pernah ada. Burung-burung dalam kepalanya berhenti memberontak. Waktu seakan mati dalam beberapa detik. ”Jalan kematian,“ gumam Namili bersuka cita. Air meleleh dari sudut matanya. Ia sudah membayangkan kepalanya dengan tiga ekor burung hitam saja. Sembilan puluh tujuh burung-burung lainnya harus ia lenyapkan dengan cairan dalam botol ramuan yang menyimpan jalan kematian. Setelah itu ia akan lebih mudah mengembalikan jalan cerita dongeng bapaknya secara utuh. Lalu ia akan menjalani hidup seperti biasa, hidup normal dengan mencintai dongeng burung hitam, malam, dan kegelapan yang berasal dari masa kecilnya –tanpa keragu-raguan, tanpa rasa sakit di kepalanya. Ia sungguh tidak sabar kembali mendongengi dirinya sendiri. Ia ingin keluar dari kerumitan yang nyaris tidak membuatnya tidur selama beberapa waktu dan itu sudah terlalu melelahkan sampai ia tidak ingat hari ulang tahunnya yang sudah lewat. Di mana ia harus menemukan botol ramuan berisi jalan kematian itu? Namili termenung lama.
Jalan Kematian
Dalam mimpi singkat menjelang waktu Subuh, Namili bertemu dengan seorang lelaki yang mirip dengan Bapaknya, hanya jauh lebih tua. Lelaki itu menawarkan tiga botol ramuan yang dicari-carinya dengan berbagai cara dan di berbagai tempat selama beberapa lama ini. Ia sama sekali tidak menyangka justru menemukan tiga botol ramuan itu di dalam mimpi yang sangat singkat.
”Ambillah botol yang kau inginkan,” kata lelaki itu.
Namili mengambil satu botol berisi cairan hitam dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Antara senang dan bingung. Antara tidak percaya dan percaya. Sebelum Namili sempat menjabarkan perasaannya dengan tepat, lelaki itu berkata lagi, ”Berhati-hatilah, bisa jadi kau akan kehilangan segalanya.“
Namili terbangun dengan botol ramuan di tangannya. Tubuhnya dingin dan basah, bibirnya yang kering, pecah –seakan ia baru saja melakukan perjalanan panjang luar biasa. Langit masih gelap ketika Namili mengintip dari jendela. Hanya ada sedikit semburat merah. Ia termangu, bagaimana cara menggunakan cairan dalam botol ramuan demi melenyapkan sembilan puluh tujuh burung hitam? Seharusnya tadi ia bertanya pada lelaki yang ditemuinya dalam mimpi. Namili tidak henti-henti menyalahkan dirinya yang lalai.
Di kepala Namili burung-burung mulai gelisah. Mungkin mereka sudah bangun dan merasakan adanya ancaman. Mereka membuat suara-suara yang menyakitkan. Beberapa mematuk-matuk tengkorak kepala Namili. Mereka berusaha melubangi kepala itu. Burung-burung hitam itu telah menunjukkan tabiatnya yang ganas. Namili bergidik. Ia masih menggenggam botol ramuan, namun ia tetap saja tidak tahu cara menggunakannya.
Burung-burung hitam terus-menerus mematuki dinding kepala Namili. Suaranya menimbulkan bunyi yang menyeramkan. Namili merintih-rintih menahan sakit. Ia berlari ke depan cermin. Di cermin itu ia melihat ujung-ujung paruh burung hitam menyembul-hilang-menyembul di bawah kulit kepalanya. Namili terguncang, lalu menjerit keras-keras.
Ia mundur dengan tubuh gemetar, sangat gemetar. ”Waktunya sudah tiba,“ ia berpikir cepat untuk segera melenyapkan burung-burung itu sebelum kepalanya hancur. Dengan tangan yang juga gemetar dibukanya tutup botol ramuan dan meneguk seluruh isinya.
Seketika Namili merasakan ketenangan yang luar biasa. Burung-burung itu masih melubangi kepalanya, tapi ia tak merasakan apa-apa lagi selain perasaan yang damai. Ia berjalan ke luar kamar. Membuka jendela di ruang bersama yang biasa digunakan anak-anak kos berkumpul, sesekali. Dilihatnya sekilas langit yang sangat gelap. Aneh, pikirnya sambil tersenyum, seharusnya langit sudah lebih merah mendekati Subuh, tapi ini justru kembali ke warna malam. Ia meninggalkan jendela, menuju pintu ke balkon. Dibukanya pintu itu. Langit memang benar-benar gelap, batinnya, merasa bahagia dan mengabaikan keganjilan itu. Di balkon ia berdiri. Di balkon ia semakin merasa bahagia. Ia bahkan tidak merasakan lagi aktivitas burung-burung di kepalanya. Semua seolah diam. Tapi saat itu juga pelan-pelan kesedihan merayapi hati Namili. Ia belum juga berhasil mengembalikan jalan cerita dongeng bapaknya. Ia ingat pula pada tiga ekor burung hitam dalam dongeng itu. Dan entah kenapa ia menangis untuk tiga ekor burung hitam yang tidak akan pernah ia temukan lagi itu, untuk ingatan masa kecilnya yang hilang, seakan ia tengah menangisi dirinya. ***
GM D22, 2013
Yetti A.KA, buku kumpulan cerpen terbarunya Kinoli (Jawakarsa Media, 2012)
nanang revizal
cerita yang tak bermakna, saya tidak menemukan pesan apa-apa. terus berkhayal, dantetap menulis.