Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 9 Februari 2014)
TAK boleh ada makhluk kembar di tanjung yang sepanjang malam warganya merasa memiliki 1.000 bulan itu. Jumlah pohon-pohon bakau yang tumbuh mengitari kampung pun tidak boleh berangka sama. Ketika mencapai 2.222 batang, dengan cepat Rajab, pemuda pemberang yang tidak pernah takjub pada misteri alam, akan menebas satu batang, sehingga orang tidak memiliki kesempatan mempercakapkan keajaiban pohon-pohon bakau. Juga saat jumlah bangau-bangau di tanjung menembus 1.111, dengan cekatan pula Rajab akan mencari cara membunuh makhluk-makhluk yang meliuk-liuk indah di antara cahaya matahari yang menyusup di sesela daun. Rajab bisa saja memanah kepala bangau hingga darah menetes-netes dan melayang-layang dari mata satwa berparuh besar, kuat, dan tebal itu. Rajab juga bisa menembak dengan senapan angin sehingga bulu-buku hewan pemakan cacing dan serangga itu rontok, beterbangan.
Rajab juga pernah membantai sepasang kucing hanya karena bulu belang-belang hitam di tubuh cokelat satwa kesayangan Nabi itu mirip. Mula-mula Rajab menggantung secara terbalik kucing-kucing itu, lalu berkali-kali kepala binatang yang terus mengeong itu dia hantam dengan linggis. Tentu saja kucing-kucing itu muntah-muntah dan darah segar mengucur dari mulut mereka.
Karena itulah, sejak dulu warga kampung selalu menjauhkan apa pun yang kembar atau mirip dari mata Rajab. Mereka tidak ingin mengulang peristiwa yang menjijikkan sekaligus mengenaskan pada masa-masa sebelumnya. Apalagi pada saat berusia 12 tahun, Rajab pernah memotong kelingking salah satu teman dengan parang tajam hanya karena tak ingin bermain-main dengan bocah kembar. Juga pada saat umur 15 tahun dia berusaha memancung kepala tiga bayi mungil karena di kening tiga malaikat kembar lucu itu ada semacam kaligrafi hitam berbunyi: Allah! Allah! Allah!
”Jangan tertipu. Bayi-bayi ini jika tidak dibunuh kelak akan menjadi iblis!“ teriak Rajab sambil mengacungkan pedang samurai.
Warga berang saat itu. Gemerenggeng kemarahan menguar, tetapi tak seorang pun berani melawan Rajab. Warga merasa akan sia-sia melawan remaja sableng yang kini telah kian menjadi berandal tengik itu. Warga yakin jika mereka gegabah, sangat mungkin pedang samurai Rajab benar-benar akan terayun dan memenggal batang leher bayi-bayi itu.
Untunglah, pada saat kritis, Kiai Siti, tetua kampung yang selalu bertutur santun, menyeruak dari kerumunan. Dia mendekati Rajab, merangkul pemarah kesetanan itu, dan berbisik lembut. ”Siapa bilang mereka akan jadi iblis, Rajab? Juga siapa bilang ada kaligrafi Allah di kening bayi itu. Tak ada apa-apa di kening mereka. Juga tak seorang tahun apa yang bakal terjadi pada hari kemudian…. Kau akan menyesali tindakanmu sekarang ini jika ternyata kelak mereka justru memuliakanmu?”
Rajab tak melawan. Sejurus kemudian tanpa disentuh oleh Kiai Siti, Rajab terkulai. Pedang samurai terlepas dari genggaman. Setelah itu, warga tahu, pada hari-hari berikutnya dia menghilang dari kampung. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Kabar samar menyatakan: Rajab belajar agama ke Kota Wali dan akan kembali setelah perangainya menjadi halus dan seluruh syariat melekat di hati yang lembut.
”Rajab tidak lahir dari binatang,“ kata Kiai Siti, ”Siapa tahu kelak justru dia yang akan menjadi pemimpin kampung ini.“
***
Rajab memang bukan kepiting atau kambing. Akan tetapi justru karena itulah lulus belajar dari Kota Wali, kehendak untuk membunuh makhluk kembar, tak bisa hilang begitu saja.
Kehendak itu mula-mula hanya tersimpan dalam kegelapan hati. Akan tetapi lama-lama membuncah juga ketika dia mengungkapkan seluruh perasaan-perasaan hitam itu kepada Zaenab. Rajab tahu membicarakan apa pun kepada Zaenab, penunggu makan keramat Syeikh Muso—pendiri kampung yang sangat dimuliakan—bahwa pesan-pesan tidak akan pernah keluar dari cungkup. Rajab juga tahu di telinga Zaenab, apa pun tidak pernah dimaknai secara benar, sehingga hanya kepada perempuan yang seluruh tubuhnya melepuh dan bersisik merah itu, dia berani membeberkan keinginan-keinginan jahat. Atau jika Zaenab perempuan yang dianggap gila itu mau mendesiskan beberapa ungkapan yang terbalik-balik, Rajab akan memaknainya sebagai perintah sungsang.
”Warga kampung kita memang bebal, Zaenab. Karena itu, jangan heran jika hingga sekarang mereka tak paham mengapa aku membenci segala makhluk kembar. Mereka tidak tahu Allah tidak pernah menciptakan nabi atau malaikat kembar,“ gumam Rajab seperti berkata untuk dirinya sendiri.
”Hujan! Hujan!“ Zaenab malah berteriak sambil menunjuk matahari yang menyala merah di langit yang terang-benderang.
Rajab tak memedulikan ucapan Zaenab. Dia tahu siang itu tak ada badai dan hujan yang bakal menenggelamkan kampung.
”Iblis selalu memilih angka kembar untuk menampakkan dirinya kepada manusia. Karena itulah, agar salah satu dari kami menjadi manusia agung, ayahku menyingkirkan saudara kembarku ke kota. Karena itulah Syekh Muso mesti terpisah dari Syeikh Bintoro, saudara kembar yang hendak membunuh panutan kita itu.“
Zaenab masih terdiam.
”Apakah kau tahu kini kita juga berhadapan dengan sepasang iblis kembar di kampung ini?“
”Seribu matahari hanya untukku, seribu bulan hanya untukmu. Kau tidak perlu berzikir, kau tidak perlu selawat. Kau tak perlu puasa, kau tak perlu salat, kau tak perlu berzakat, kau tak perlu berhaji, kau tak perlu bersyahadat. Seribu matahari hanya untukku, seribu bulan hanya untukmu.“
Rajab tidak terlalu memperhatikan perintah sungsang Zaenab. Apa pun yang diungkapkan Zaenab, dia anggap tidak penting. Karena itulah, Rajab terus mencerocos mengenai sepasang iblis yang mulai bercokol di kampung. ”Warga kampung ini buta semua. Mereka tidak tahu bahwa Kiai Siti dan Panglima Langit Abu Jenar itu kembar. Wajah Abu Jenar dan Kiai Siti memang tidak serupa. Tetapi ketahuilah hati pengkhotbah sok suci dari kota dan tetua kampung yang rapuh itu sama.“
Tetap tak ada reaksi. Karena itulah, Rajab mendesis lagi, ”Mereka sama-sama memberhalakan Allah. Abu Jenar merasa apa pun yang dikatakan paling benar dan seakan-akan dia jadi Tuhan bagi manusia lain, sedangkan Kiai Siti menganggap Allah mabuk pujian dan sesembahan. Karena itulah, salah satu dari mereka harus dibunuh agar yang hidup jadi manusia agung….“
Kali ini Zaenab terkejut. Dia memang membenci Abu Jenar, tetapi tak ada keinginan sedikit pun untuk membunuh Panglima Langit. Zaenab juga tidak ingin ada pertumpahan darah di kampung itu. Karena itu, dengan perintah sungsang, dia meminta Rajab mengurungkan niat membunuh Kiai Siti maupun Panglima Langit Abu Jenar.
”Galilah Makam Syekh Muso. Masuklah ke kubur. Tinggallah sepanjang hari di dalam kubur. Kiai Siti harus kau tusuk lambungnya dengan linggis. Panglima Langit Abu Jenar harus kau salib di tiang masjid,“ perintah Zaenab tegas.
Karena tahu bagaimana cara memaknai perkataan Zaenab, Rajab bergegas meninggalkan cungkup. Jika tidak segera meninggalkan Makam Syekh Muso, bisa-bisa Zaenab akan mencekik atau mengungkapkan kemarahan dengan berbagai cara. Meskipun begitu, sambil berlari, Rajab masih sempat berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tangan ke angkasa. ”Dan ketahuilah, Zaenab, aku tak akan menyentuh Abu Jenar. Aku justru akan membunuh Kiai Siti, pemimpin yang rapuh itu. Kampung ini akan hancur kalau Makam Syekh Muso terus diberhalakan dan Kiai Siti membiarkan perilaku konyol warga dan para peziarah bodoh.“
Zaenab tidak mendengarkan ancaman itu. Akan tetapi Zaenab tahu akan terjadi pertumpahan darah di kampung itu.
***
Rajab agaknya memang tidak punya pilihan lain. Dia sangat yakin bahwa membunuh Kiai Siti bukanlah dosa. Akan tetapi dengan cara apa dia harus membunuh tetua kampung yang selalu dikelilingi warga dan kini senantiasa mempercakapkan apa pun bersama Panglima Langit Abu Jenar di masjid itu? Sangat tidak mungkin menembak sang kiai dengan senapan angin. Mendekati mereka, Rajab seperti berhadapan dengan dua pohon api yang senantiasa menyala. Mendekati mereka, Rajab seperti berada dalam amuk neraka kembar. Rajab berpikir: satu neraka harus dipadamkan agar satu surga bercahaya. Jika kedua-duanya tetap ada, berarti kampung ini hanya berupa ½ surga atau ½ neraka. Jika ½ surga dan ½ neraka terus ada, bukan tidak mungkin manusia hanya menyembah ½ Tuhan. Ini berbahaya. Sangat berbahaya.
Karena itulah, Rajab menyimpulkan: yang paling mungkin adalah mengendap-endap ke rumah Kiai Siti pada malam hari dan membakar tempat itu. Atau jika itu gagal, bisa jadi dia membakar cungkup saat Kiai Siti memimpin doa para peziarah yang sedang tafakur mengelilingi nisan Syekh Muso. Jika terpaksa, apa boleh buat, Rajab harus membakar masjid dengan segala isinya. Membakar—sebagaimana menghanguskan dan meludeskan pasar yang dilakukan orang akhir-akhir ini—menjadi pilihan karena Rajab tahu tak seorang pun bisa menangkap pembakarnya. Rajab yakin para pembakar adalah malaikat-malaikat maut yang tak tersentuh.
***
Akhirnya hari paling laknat itu datang juga. Rajab telah menyiram masjid dengan bensin. Sebentar lagi bom molotov akan dilemparkan. Sebentar lagi api akan menyala. Sebentar lagi tubuh-tubuh terbakar akan meleleh seperti adonan kue.
Sebelum segalanya terbakar, Rajab mencoba meyakinkan diri bahwa segalanya berjalan lancar. Dia tidak ingin ketika melemparkan bom molotov, di langit dia justru melihat tiga rembulan menyala bersama-sama, di kubah masjid kaligrafi Allah berubah menjadi kembar tiga, dan yang tak terduga dari jauh tampak tiga tubuh Abu Jenar dan Kiai Siti bercahaya.
Tidak mungkin segalanya—juga ayat-ayat Allah indah yang senantiasa kubaca—akan berubah menjadi kembar tiga sebagaimana pernah kulihat kaligrafi Allah di kening tiga bayi kembar bukan?
Belum ada jawaban. Otak Rajab serasa meledak. Dia merasa tidak mungkin membakar dirinya sendiri jika ternyata segala yang berada di tanjung, termasuk dirinya berubah menjadi kembar tiga.
Apakah jumlah pohon bakau yang mengepungku juga berubah menjadi 6.666? Apakah jumlah bangau-bangau menjadi 3.333? Apakah Makam Syekh Muso berlipat menjadi tiga? Apakah….
Belum ada jawaban. Juga tak ada yang memberi tahu Rajab betapa beberapa sat lalu makan Syekh Muso telah diledakkan oleh Panglima Langit Abu Jenar. Lalu ketika tiba-tiba dia juga melihat tiga sosok makhluk tinggi bersorban mengendap-endap di masjid, Rajab bergegas menyalakan bom Molotov di tangannya….
Triyanto Triwikromo beroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa. Buku cerita pendek terbarunya, Surga Sungsang, akan segera terbit.
Maheswara Mahendra
Triyanto setting cerpennya selalu menggelitik, unik dan surealis. Pengarang ini pandai memberi karakter pada para tokoh nya, sehingga menjerat pembaca untuk membaca sampai akhir. Good Job friend !