Cerpen Ardian Je (Republika, 16 Februari 2014)
ENTAH mengapa, sejak saat itu, dua tahun yang lalu, aku mulai membenci ayah. Abah, begitu panggilannya. Meski aku sadar, perasaan itu tak boleh terbesit. Ketika orang-orang bertemu Abah, mereka akan mendekatinya sambil membungkuk badan, kemudian mencium punggung tangannya yang sesejuk embun pada pagi hari. Mungkin, kesejukan itu datang karena Abah tak lepas dari wudhu.
Tepatnya, di ujung ranting Desember, Abah mempertemukanku dengan Kiai Zamri, sahabat baiknya saat keduanya menimba ilmu di pesantren. Abah memintaku mencium punggung tangan Kiai Zamri. Suhu punggung tangannya cukup sejuk, tapi tak sesejuk suhu punggung tangan Abah, tak sesejuk embun pada pagi hari.
Kiai Zamri menatapku. Aku, perempuan yang masih hijau dan pemalu, ingin segera pergi dari ruang tamu. Tetapi, Abah melarangku beranjak, malah aku disuruh duduk di sisi kirinya, bertatap muka langsung dengan sang kiai yang berjenggot lebat. Perasaanku gundah, suhu tubuhku pun suam-suam.
Humor-humor ringan mereka menciptakan gelombang lembut pada dua gelas kopi hitam yang tersaji di meja. Kukatakan pada Abah bahwa aku ingin masuk ke kamar, meminum obat, dan beristirahat sejenak. Abah mengiyakan sebelum ia mengembuskan asap rokok yang menghuni pipa tuanya.
Itulah awal pertemuanku dengan Kiai Zamri, pemimpin salah satu pondok pesantren di Lebak, dua tahun yang lalu. Sekali lagi, aku berkata pada diriku sendiri, pada Tuhan yang Maha Mendengar, pada siapa pun dan apa pun yang dapat mendengar suara batinku bahwa aku mulai membenci ayah.
“Allahu akbar… Allahu akbar….”
Azan Isya memecahkan keheningan malam. Aku harus membawa langkahku ke tempat berwudhu, memutar keran, mulai berkumur-berkumur, dan seterusnya. Setelah itu… setelah itu… ah, aku tak akan menemukan Arif, lelaki yang membuat hatiku selalu tersenyum dan rajin menunaikan shalat dan mengaji di masjid pesantren yang diasuh Abah. Mungkin dia sudah berbahagia dengan perempuan lain yang jauh lebih cantik dan salihah dibanding aku yang hanya bisa mengaguminya dari dalam hati.
***
Hijab yang berwarna hijau, pembatas antara santri dan santriwati di masjid dibuka pada Kamis, suatu malam, sebelum ritual pembacaan surah Yaasin dimulai. Aku dan para santriwati hanya merundukkan kepala dan sesekali melirik suasana, menerawang ke arah para santriwan.
Gumam demi gumam merangkak di atas sajadah, perlahan naik dan terbang mengitari pilar-pilar masjid mengunjungi sudut-sudut ruang suci, hingga akhirnya sorot polos bola mataku berhenti pada matanya, mata Arif. Pipiku memerah, buru-buru aku merunduk dan mencari bait pertama pada buku Majmu’ Syarif yang tengah aku pegang setelah ia berhasil memberiku selembar senyum yang ranum.
Siapa dia? Siapa namanya? Dari mana ia berasal? Pertanyaan-pertanyaan itu sering kubisikkan pada dinding-dinding kamarku yang dingin sebelum aku tenggelam dalam tidur. Mata itu, senyum itu, acap kali mendatangiku di alam yang bernama mimpi. Ini terlarang; seorang lelaki dan perempuan yang bukan mahram, berpegangan tangan di tengah padang ilalang yang panjang. Tapi, jujur aku senang dan bahagia.
Aih… mataku terbuka perlahan dan peristiwa itu ternyata hanya setangkai mimpi indah. Aku beruntung, sekaligus rugi besar. Aku beruntung tidak merangkai dosa, tak melakukan larangan agama dan Abah, tapi aku pun mengalami kerugian yang besar, belum sempat bertutur sapa dan sedikit bertanya, seolah waktu berjalan cepat, kencang, mungkin berlari.
Sejak perjumpaan pertama dengan Arif, aku lebih rajin mendatangi masjid dan mengikuti pengajian bersama para santri. Sebenarnya, Abah pernah menyuruhku melakukannya sejak usiaku kanak-kanak. Tapi, karena malas dan menganggapnya tidak penting, aku tak menghiraukannya. Aku merasa senang sekaligus gugup dan berdebar ketika hijab masjid yang berwana hijau tua itu dibuka.
Dengan malu-malu, aku mencari mata Arif. Meski hanya sedetik, aku merasa bahagia dan akan terus mengingatnya ketika aku mengempaskan tubuhku di atas kasur, di kamar nanti; membuat khayalan- khayalan konyol di alam yang kuciptakan sendiri. Terdengar aneh memang, tapi aku suka melakoninya. Aku rasa, manusia mesti menciptakan dunia khayalannya sendiri agar mendapat kebahagiaan-kebahagiaan kecil bagi kehidupannya yang fana.
Hal lain yang membuatku terkesima adalah kelebihan dan keberanian Arif. Di balik sifat pendiamnya, suaranya merdu memanjakan telinga bagi pendengarnya, tak terkecuali kedua telingaku. Suaranya indah melantunkan ayat-ayat Tuhan dengan ragam lagu, seperti bayati, shaba, ziharkah, ros, nahawan. Terkadang, bila Ustaz Maksum, guru seni baca Alquran, tidak hadir, Arif berani menggantikan dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para santri.
Pernah, suatu hari pondok pesantren yang diasuh Abah mengadakan acara wisata agama dan kebudayaan ke Banten Lama. Aku, perempuan yang masih hijau, yang selalu dihantui mata seseorang, sudah tentu mengira bahwa pemilik mata yang selalu menghantuiku itu akan pergi ke sana dan aku pun tak mau ketinggalan. Sengaja aku tidak masuk ke dalam mobil keluarga bersama Abah; aku masuk ke dalam mobil bersama para santriwati, ingin menjalin kedekatan.
Nuansa tempo dulu melintas bersamaan dengan semilir angin pada pagi hari nan cerah itu. Rombongan melakukan perjalanan sekira setengah jam dari pusat Kota Serang. Keraton Kaibon seolah berjalan mundur dari kaca jendela mobil; sejarahnya semakin kusam dan dilupakan orang Banten. Kemudian, setelah sopir memutar kemudi ke kiri dan tubuh mobil mulai bergetar karena kondisi jalan berlubang, Benteng Surosowan menatapku. Beberapa anak kecil memanjatnya, kemudian berlari-lari, bermain dengan ilalang dan sejarah yang belum diketahuinya.
Mobil berhenti. Sandal Abah menapak di bumi Banten Lama. Rombongan mengekor. Kami memasuki area Masjid Banten Lama. Sesak. Banyak para peziarah yang datang ketika itu dari berbagai daerah. Abah duduk, bersila di depan makam Sultan Maulana Hasanuddin dan memimpin ziarah. Doa teruntai dari lisan Abah.
“Amin… amin….”
Ketika para santri mengamini doa- doa Abah, aku hanya ingin menyimpan punggung Arif di sepasang bola mataku. Aku memperhatikannya sejak Abah turun dari mobil. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, ke rombongan santriwati. Harapku, ia mencariku.
Putaran jarum jam menyuruhku berkirim surat dengannya. Aku jadi tahu siapa nama lengkapnya, di mana rumahnya, kegemarannya, cita-citanya, hingga perasaan nya padaku. Aku sangat menikmati masa itu.
Andaikan aku bisa memutar waktu, aku ingin kehidupan hanya terjadi pada saat itu; saat dia mengajariku seni membaca Alquran, saat dia menjengukku ketika sakit, saat ia membolos mengaji di suatu malam demi mengajakku memakan nasi sumsum dan berjalan-jalan di alun-alun kota. Sempat pula jemari kita saling berbicara.
***
Abah tepat berada di pelupuk mataku. Aku berbaju putih. Hijab masjid yang berwarna hijau tua dibuka. Selembar kain putih melintang di kepalaku… dan di kepala Kiai Zamri. Para warga dan santri memenuhi masjid.
Sebelum aku duduk di sebelah Kiai Zamri, aku tak menemukan wajah Arif. Sepekan yang lalu, temannya memberitahuku, Arif keluar dari pesantren. Tak jelas apa gerangan alasan di balik keputusan mengejutkan itu. Tak satupun orang yang tahu.
Setelah berpikir ribuan kali, kurasa, aku tahu alasannya….
Hari itu, tepatnya di ujung ranting Desember, aku genap berusia dua puluh dua tahun dan secara hukum negara dan agama aku sah menjadi istri keempat Kiai Zamri. Kata Abah, ini demi kebaikanku, kebaikan keluarga dan pesantren, dan hubungan kekerabatannya dengan Kiai Zamri sebagai sesama pemuka agama.
***
Kini, usai bersujud di waktu Isya, aku mengajari Nurul yang baru berumur enam tahun, anak pertama Umi Ani, istri ketiga Kiai Zamri, suami yang tak kucintai sedikitpun, membaca Alquran. Meski masih kecil, suaranya merdu, seperti suara Arif. Tak lama, Zulfa, anakku, satu tahun, menangis; sepertinya ia membutuhkan hangat pelukku. Kutinggalkan sejenak Nur.
Aku seperti dipenjara, tidak hanya ragaku, tapi juga jiwaku. Istri pertama dan kedua Kiai Zamri tidak menyukaiku, lantaran ia lebih perhatian pada istri keempatnya. Pun demikian sikap istri ketiganya, Umi Uum, sinis akan kehadiranku.
Kini, ku tahu mengapa aku membenci ayah kandungku sendiri. (*)
Rumah Dunia, Serang, 2013-2014
Ardian Je lahir di Sukakarya, Bekasi, 22 Maret 1992; relawan Rumah Dunia; mahasiswa Tadris Bahasa Inggris IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Buku tunggalnya Cerita Daun Cemara dan Purnama (2013).
adita
Klise, ah :). Kalau arif memang cinta dan gentleman, kenapa nggak datang langsung ke ortu si gadis dan melamarnya? Dia santri kan? Harusnya tau hukum agama, termasuk pergaulan antar lawan jenis sebelum menikah.
Sinetron banget.
bages
@adita, tp mgkn krna tdak dmkian jd crta yg diangkt trasa tdk biasa, kalau ntar knalan,nkah smpai pny cucu mgkn jstru trsa biasa, hha
Hero
Bener. Beneer.
suzhu
Membacanya….. sakit.
Muksalmina sabang
Seperti kisah yg sempat heboh di beberapa tahun silam dimana seorang kiai yg sudah lanjut usia menikah dengan gadis yg masih muda.but, tetap bagus kok….