Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 16 Februari 2014)
DONNA menyelundupkan katana ke tanjung yang hampir tenggelam itu bukan untuk membunuh Widanti, utusan Teratai Hijau. Pedang panjang dari Jepang itu hanya ingin dia gunakan untuk bertarung dengan Panglima Langit Abu Jenar karena sang musuh juga sangat mahir memainkan senjata yang dulu pernah digunakan oleh para samurai itu. Akan tetapi seorang warga yang mungkin telah diajari oleh Abu Jenar semacam ilmu yang dikembangkan oleh Miyamoto Mushasi1 menggunakan katana itu untuk memenggal kepala Widanti. Donna sama sekali tidak terpanggil untuk membalaskan dendam Widanti. Dia punya alasan sendiri mengapa harus membunuh Panglima Langit.
Siapa pun akan menyangka alasan utamaku membunuh Panglima Langit hanyalah karena aku pasukan tepercaya Teratai Hijau. Itu salah besar, batin Donna. Membunuh Abu Jenar hanyalah alasan antara. Hanya dengan bergabung dalam pasukan pembunuh Panglima Langit, aku akan bisa berdekatan, bahkan nyaris tidak berjarak dengan Teratai Hijau.
Teratai Hijau, perempuan bloon itu, tak tahu kalau aku adalah musuhnya juga. Akulah yang kelak akan merebut tanjung dari tangan Teratai Hijau. Aku sengaja menyelundup ke ceruk kekuasaan Teratai Hijau agar tahu berapa besar kekuatan Teratai Hijau.
Teratai Hijau sesungguhnya sangat lemah. Dengan beberapa sabetan katana dia akan mudah menjemput ajal. Akan tetapi aku tak bisa serta-merta membunuh Teratai Hijau untuk mendapatkan segala hal. Yang pertama kulakukan: aku harus bertindak budak Teratai Hijau dulu untuk melakukan apa pun agar dia percaya betapa aku memang benar-benar ada di pihaknya. Dan membunuh Panglima Langit, dengan demikian, adalahsemacam ujian kesetiaan yang tidak terhindarkan. Tanpa membunuh Abu Jenar terlebih dulu, aku tidak akan bisa masuk tepat ke jantung kekuasaan Teratai Hijau.
Membunuh Teratai Hijau bisa dilakukan belakangan. Aku akan membunuh dia di kamar saat kami bercumbu saja. Bercumbu? Tidak. Tidak. Aku harus berpura-pura menikmati ciuman-ciuman liarnya yang menjijikkan agar dia tidak merasa dalam bahaya saat bersamaku. Aku harus pura-pura sama sekali tak keberatan bercinta dengan sesama perempuan agar Teratai Hijau selalu dalam rengkuhan tanganku. Berada di dalam pelukanku berarti berada dalam maut yang tak bisa ditepis. Akan tetapi sekali lagi saat ini bukan waktu tepat untuk membunuh Teratai Hijau. Saat ini aku harus berurusan dengan nyawa Abu Jenar dulu.
Karena itu, Donna sangat ingin pada saat yang tepat duel adu katana dengan Panglima Langit, musuh yang justru mustahil dikalahkan itu. Tentu saja dia tak akan mengajak duel Abu Jenar di sebuah restoran Jepang sambil mendengarkan lagu rock yang menghentak dan gitar-gitar yang dicabik oleh pemusik yang kesetanan atau di beranda dalam guyuran hujan salju2, akan tetapi cukup di tanah lapang berpasir yang sesekali dihantam angin laut keras-keras. Langit menggores punggung berkali-kali, tetapi cukup dengan beberapa gebrakan, justru katana-nya menusuk lambung sang musuh. Ya, menusuk lambung hingga darah merah segar muncrat membasahi jubah putih lelaki perkasa yang senantiasa bersorban itu.
Akan tetapi keinginan-keinginan semacam itu tidak bertahan lama. Begitu tahu Abu Jenar memiliki ajian Kucing Sanga, ilmu rahasia yang dipahami warga sebagai warisan Sunan Kudus, dia tak ingin mati sia-sia di tangan Panglima Langit.
”Aku bisa saja memenggal kepala dia. Akan tetapi, karena ajian Kucing Sanga mirip ilmu Rawa Rontek, aku berusaha mempelajari dulu ajian Dasa Rasa, ilmu rahasia penawar ajian Kucing Sanga dari Syekh Siti Jenar yang hanya diajarkan kepada beberapa murid terkasih. Dasa Rasa mirip ajian Pancasona. ”Hmm, kau tahu apa beda Rawa Rontek dengan Pancasona?“ kata Donna ketika melaporkan apa pun yang dia lihat di tanjung kepada Teratai Hijau.
Teratai Hijau menggeleng. Karena penasaran, Teratai Hijau bertanya, ”Semacam ilmu gaibkah? Kalau itu ilmu gaib, aku tak akan mau memercayai.“
Karena tak tertarik membicarakan hal-hal gaib, Teratai Hijau lebih memilih menciumi telinga anak buah sekaligus kekasihnya itu, menggigit dengan sedikit keras, menjilati dan menghirup dengan penuh gairah harum parfum yang tersisa.
”Ajian rawa rontek,“ kata Donna membiarkan telinganya dikulum oleh Teratai Hijau, ”merupakan ilmu langka dan memiliki keajaiban. Itu berarti pedang samurai bisa memenggal leher Abu Jenar, tetapi tak lama kemudian tubuh yang sudah terpotong bisa tersambung kembali. Semula aku juga tak percaya pada ilmu ini sampai aku bertemu dengan keturunan Syekh Siti Jenar dan mempelajari ilmu yang setara Rawa Rontek.“
”Yang kau pelajari itu apakah semacam ilmu gaib juga?“
”Aku tak menganggap kedua-duanya ilmu gaib. Aku mempelajari keduanya sama dengan aku mempelajari matematika. Menjawab persoalan matematika yang rumit tentu ada caranya. Demikian juga mempelajari ajian Kucing Sanga Sunan Kudus dan Dasa Rasa Syekh Siti Jenar.“
Aku membohongi Teratai Hijau. Yang kulakukan saat itu adalah mengobrak-abrik otakku yang sok rasional dulu. Dan karena percaya pada Hokheimer yang menyatakan puncak dari rasionalitas adalah irasionalitas, akhirnya aku percaya pada hal-hal yang tampak di permukaan sebagai sesuatu yang irasional itu. Karena aku sudah sangat percaya pada hal-hal irasional itu, maka aku pun mau saat harus mengucapkan bismillahirrohmanirrohim, niyat ingsun amatek ajiku aji pancasona, ana wiyat jroning bumi, surya murub ing bantala, bumi sap pitu, anelahi sabuwana, rahina tan kena wengi, urip tan kenaning pati, ingsun pangawak jagad, mati ora mati, tlinceng geni tanpa kukus, ceng cleneng, ceng cleneng, kasangga ibu pertiwi, tangi dhewe, urip dhewe aning jagad, mustika lananging jaya, hem, aku si pancasona, ratune nyawa sakalir.
Aku juga puasa Senin dan Kamis selama 7 bulan. Jeda tiga hari, aku puasa 40 hari berturut-turut. Setelah itu aku tidak tidur 24 jam dalam keadaan suci. Aku menjalankan apa pun yang telah dilakukan Syekh Siti Jenar. Berdoa-berdoa-berdoa. Puasa-puasa-puasa. Merapal mantra-merapal mantra-merapal mantra. Aku harus bisa mencapai suwung. Mencapai titik ada-tak ada, tak ada-ada. Mencapai hing hung hang ring rung rang sing sung sang.“
”Apakah kau ingin tahu kehebatan ajian Dasa Rasa?“ kata Donna setelah memagut bibir dan menjilat lidah Teratai Hijau.
”Kau bisa melakukan untukku?“ tutur Teratai Hijau.
”Kenapa tidak? Kau mau memenggal leherku?“ Donna menantang, ”ambil katana-mu dan ayunkan ke leherku.“
Meskipun ngeri, Teratai Hijau mematuhi keinginan Donna. Dia mengayunkan katana ke leher Donna dan darah segar pun memuncrat dari batang leher. Kepala Donna menggelinding. Darah mengucur di lantai.
Tentu saja Teratai Hijau takjub memandang kepala Donna yang terus menggelinding. Namun, Donna tak memberi kesempatan Teratai Hijau untuk terbengong-bengong. Dengan cepat kepala Donna terbang dan menyatu kembali dengan tubuh yang telah berlumur darah itu.
”Kau sekarang percaya ada ilmu semacam ini?“ Donna memeluk Teratai Hijau yang ketakutan, ”Dengan ilmu semacam itulah aku akan menghadapi Panglima Langit Abu Jenar.“
Teratai Hijau masih terpukul. Dia masih belum sanggup menerima kenyataan yang baru saja dialami..
”Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk membunuh Abu Jenar. Aku menunggu seribu bulan bercahaya di tanjung.“
”Seribu bulan?“ Teratai Hijau mulai bisa menguasai keadaan.
”Ya. Itu saat seluruh warga tanjung bershalawat dan berzikir bersama.”
”Maksudmu zikir dan shalawat mereka akan membuat bulan terbelah menjadi seribu?“
”Ya. Dan mulailah percaya pada hal-hal yang tidak pernah kau lihat sebelumnya.“
”Maksudmu kau minta aku memercayai hal-hal yang tidak masuk akal?“
”Ya. Kau harus mulai percaya bahwa Abu Jenar hanya akan mati dengan cara-cara ajaib.“
”Dia tidak akan mati saat kuletuskan pistolku ke jidatnya?“
Donna mengangguk. Pistol. Donna membatin, hanya berguna untuk membunuh orang di dunia rasional, di dunia nyata. Abu Jenar tidak sepenuhnya hidup di dunia semacam itu. Aku sudah tahu dengan cara apa akan kuakhiri hidupnya. Penganut ilmu semacam Rawa Rontek hanya mati dengan dua cara. Pertama, aku akan memenggal tubuh Abu Jenar dan menancapkan leher dengan kepala licik itu di salah satu batang runcing di pohon tertinggi di luar tanjung. Agar tubuh tidak jatuh ke tanah, aku akan membentangkan kedua tangannya di tiang salib yang telah kupersiapkan. Kedua, ini cara yang dianjurkan oleh para penganut Dasa Rasa, aku harus membakar habis tubuh Panglima Langit.
”Dia tak akan mati jika kusewa puluhan serdadu untuk memberondongkan ratusan peluru dengan senapa laras panjang?”
Donna mengangguk lagi. Dia melihat perubahan wajah Teratai Hijau.
Lalu sambil menunggu Teratai Hijau menerima kenyataan, Donna membeberkan beberapa fakta tentang Abu Jenar. ”Abu Jenar tak akan sepenuhnya mati oleh tanganku. Aku akan bisa membunuhnya akan tetapi penyempurna segala Abu Jenar adalah Kiai Siti.”
”Kenapa harus Kiai Siti?”
”Aku sudah menyelidiki siapa Kiai Siti dan Abu Jenar. Kiai Siti adalah sisi baik Panglima Abu Jenar. Sebaliknya Abu Jenar adalah sisi buruk Kiai Siti.”
”Aku tidak mengerti maksudmu?”
”Mereka sesungguhnya berasal dari keluarga yang sama. Abu Jenar keturunan Syekh Bintoro dan Kiai Siti keturunan Syekh Muso. Panglima Langit mendapatkan segala ilmu dari keturunan Syekh Muso. Karena itu, mau tidak mau aku harus bersekutu dengan Kiai Siti.”
Kiai Siti, Donna membatin, memang tidak tampak sebagai orang sakti. Dia sama sekali tidak pernah menunjukkan ilmu yang dimiliki di hadapan siapa pun. Akan tetapi, aku tahu dialah pemilik tingkatan tertinggi ajian Dasa Rasa. Kiai Siti tidak perlu bertempur untuk membunuh lawan. Hanya mengucapkan beberapa kata saja –jika mau—siapa pun akan gampang ditumbangkan. Sayang, Kiai Siti pantang membunuh siapa pun. Ini kelemahan sekaligus kekuatannya.
”Kau bisa menguasai Kiai Siti?“
Donna menggeleng.
”Kenapa?“
”Dia tidak ingin bersekutu dengan siapa pun.“
”Dia tidak tahu bahwa Panglima Langit Abu Jenar akan menghancurkan tanjung?“
”Dia tahu tetapi dia tak mau memusuhi Abu Jenar.“
”Dia dikuasai Panglima Langit?”
”Tampaknya seperti itu, tetapi sesungguhnya tidak. Dia tidak dikuasai oleh siapa pun.”
Ya, tidak dikuasai oleh siapa pun. Donna membatin. Aku pernah menawarkan diri untuk membunuh Panglima Langit kepadanya, dia menolak.
”Sampean hanya bertugas membakar tubuhnya saja, Kiai. Saya yang akan memenggal kepalanya,” kataku waktu itu.
Kiai Siti menggeleng dan dengan cepat berkata, ”Apakah Sampean juga ingin kepala Sampean terpisah dari badan?”
Aku menggeleng. Aku merasa kepalaku sudah terpisah dari badan dan sulit kupersatukan kembali. Sejak saat itu, aku tak mau menguasai Kiai Siti.
”Jadi menurutmu tetap saja Abu Jenar akan tak terkalahkan?” Teratai Hijau panik.
”Tak terkalahkan? Tentu saja bisa dikalahkan. Aku hanya harus punya alasan untuk bertempur dengannya. Aku hanya harus punya cara membujuk Kiai Siti untuk membakarnya. Tak ada cara lain.“
***
Akan tetapi, hampir tak ada alasan bagi Donna untuk segera membunuh Panglima Langit Abu Jenar. Setiap pengajian yang dilakukan oleh Abu Jenar selalu dikunjungi oleh Kiai Siti.
Saat Kiai Siti menghilang, entah pergi ke kota, entah berziarah ke makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Syekh Siti Jenar, Abu Jenar juga menghilang.
Pada saat-saat semacam itu, Donna mempertinggi tingkatan ajian Dasa Rasa. Jika sampai pada tahap tertinggi, dia tidak perlu mempergunakan katana untuk membabat tubuh atau memenggal leher Abu Jenar. Dia hanya perlu menyemburkan api dari jauh, tubuh Panglima Langit akan terbakar.
Donna juga kian yakin hanya apilah yang bakal menghancurkan kedigdayaan Panglima Langit.
Allah menghilangkan Sodom Gomora dengan api. Allah menghukum manusia pendosa dengan neraka api. Apilah pelenyap nyawa terbaik ketimbang alat pembunuh lain. Jadi, aku memang harus mencapai tahapan terakhir ajian Dasa Rasa agar bisa kusemburkan api jahanam ke tubuh Panglima Langit Abu Jenar yang sakti dan tak terkalahkan itu.
***
Allah tidak pernah mau memberikan api ke mulutku. Allah tidak mengizinkan aku membunuh Abu Jenar.
Donna frustasi tak segera mencapai tahapan ilmu tertinggi. Dia tak pernah bisa menyemburkan api. Dia tidak bisa membunuh apa pun hanya dengan mengatakan, ”Yang mati, matilah.“ Akan tetapi pada saat tak terduga, dia mendapatkan telepon dari Fang Fang, ”Teratai Hijau mengajakmu membunuh Abu Jenar secara langsung.“
Donna tergagap. ”Aku belum mencapai tahap tertinggi ajian Dasa Rasa.“
”Tak perlu ajian itu,“ kata Fang Fang, dalam nada jemawa.
”Apakah Teratai Hijau sudah punya cara membunuh yang lebih canggih dari sekadar memberondongkan senapan laras panjang ke tubuh Abu Jenar?“
”Dia mengajakmu membakar tanjung!“
”Melenyapkan semuanya?“ tanya Donna, setengah tak percaya.
”Ya. Melenyapkan semuanya.”
Melenyapkan semuanya? Aku tidak percaya bahwa ternyata Teratai Hijaulah yang justru akan mengakhiri segalanya dengan api.
Ya, dengan api. ***
Catatan:
1) Miyamoto Mushasi adalah seorang samurai dan ronin yang sangat terkenal di Jepang. Dia diperkirakan hidup pada 1584-1645
2) Donna sangat jijik melihat cara The Bride membunuh O-Ren-Ishii dengan pedang samurai Hattori Hanzo dalam Kill Bill, sehingga jika punya kesempatan membunuh Panglima Langit Abu Jenar, dengan teknik dan tempat yang istimewa yang lain.
Triyanto Triwikromo, peraih Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa. Buku terbarunya, Surga Sungsang, dalam proses penerbitan.
Mbak Kiki
Beberapa tokohnya pernah disinggung di cerpen Mas Triyanto “Bukit Cahaya” yaa kalo g salah? Semacam membaca mini story tapi versi lain tentang rencana pembunuhan Abu Jenar. Suka banget…!
Nevan Willis
Hebat, keren cukup menegangkan,
Tapi untuk kata “menerima telpon” di tahun itu mungkin agak asing ya, “menerima kabar” mungkin itu lebih kolosal,,
Whatever, sukses terus ^^
Teguh Afandi (@afanditeguh)
@Mbak Kiki: Bukannya cerpen “Bukit Cahaya” itu milik Yanusa Nugroho yaaa. Atau ada judul cerpen Triyanto yang itu dan aku belum membacanya….
Cerpen2 teraanyar Triyanto akhir2 ini memang berkutat perihal Kyai Siti, Syeh Muso, Pangeran Langit.
Infonya cerpen2 yang terserak di media akan disatukan menjadi satu buku utah menjadi jalinan cerita panjang yang terdiri dari cerpen2….Kono bukunya “Suarga Sungsang”.
CMIIW