Triyanto Triwikromo

Muslihat Membunuh Panglima Langit

4.5
(2)

Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 25 Agustus 2013)

Muslihat Membunuh Panglima Langit ilustrasi Yuyun Nurrachman

TAK ada yang memperhatikan dua perempuan yang tengah mempercakapkan rencana pembunuhan di Dante Coffee yang sunyi itu. Musik mengalun pelan dan bisik-bisik mereka nyaris tak terdengar.

“Aku meminta tolong kamu membunuh Panglima Langit Abu Jenar untuk Tuhan,” kata perempuan cantik berumur 40-an itu kepada Widanti.

“Membunuh untuk Tuhan?”

“Ya, siapa pun yang bisa membunuh Abu Jenar akan menyelamatkan sebuah tanjung, sebuah dunia. Dan menyelamatkan dunia, berarti menyelamatkan Tuhan, bukan?” 

Hmm, aku bukan siapa-siapa, batin Widanti. Aku bukan Aomame yang memiliki alat pemecah es ramping yang bisa digunakan untuk membunuh siapa pun. Bahkan jika aku punya senjata penghilang nyawa itu, aku belum tentu berani menusukkan ujung jarum yang halus itu ke titik maut di tengkuk lelaki yang belum kukenal.

“Kau tidak perlu memikirkan dengan apa kau harus membunuh Panglima Langit,” kata perempuan berwajah dingin itu, seperti mengerti apa pun yang ada di benak orang lain.

“Siapa Abu Jenar?”

“Dia sesungguhnya orang yang pernah berada dalam kekuasaanku juga,” kata perempuan itu masih dalam nada datar.

Widanti tidak suka pada ungkapan berada dalam kekuasaanku. Selama 15 tahun melepaskan diri dari kehidupan karut-marut keluarga dan memilih tinggal sendiri di kos-kosan pada usia 15 tahun, dia telah menjadi perempuan yang nyaman jika tidak berada dalam pengaruh orang lain.

“Dia orang yang kau suruh membunuh orang-orangmu juga?” tanya Widanti.

Perempuan yang menguarkan harum Dior itu menggeleng. Kini dia tampak berhati-hati memilih kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan itu.

“Aku tidak pernah bertemu dengan Abu Jenar. Aku hanya meminta orang-orang suruhanku agar dia menghancurkan makam keramat Syekh Muso dan menjadikan seluruh keluarga di jantung itu bertekuk lutut kepadanya. Setelah tak ada lagi yang berani melawan Panglima Langit, orang-orang suruhanku akan merebut seluruh jengkal tanah dan menjadikannya sebagai resor.”

Widanti masih menangkap kejemawaan dalam ucapan perempuan itu.

“Sayang sekali,” perempuan itu mencerocos, “Abu Jenar kemudian tidak bisa dikendalikan. Dia ingin sekali menjadi syekh baru di kampung itu. Siapa pun telah bisa dia kendalikan. Kiai Siti, tetua kampung, tampak sudah bertekuk lutut. Rajab, pemuda pemberang yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan, juga tak memiliki taring lagi. Kufah, bocah kencur manis, bahkan akan dijadikan istri. Dan menurut perhitungan kami, dia akan menolak menjadikan tanjung itu sebagai resor. Dia akan meledakkan makam, tetapi tidak akan menghilangkan apa pun yang pernah ada di tanjung itu. Dia tak akan mengusir bangau-bangau dan membabat hutan bakau…”

Ada rasa ngeri yang berkecamuk di otak Widanti saat membayangkan sosok Panglima Langit Abu Jenar. Dia pasti laki-laki bertubuh kokoh, mahir bersilat, memiliki mata yang menyihir, dan mungkin tak bisa dikalahkan oleh perempuan mana pun.

“Kau tidak perlu takut,” perempuan itu lagi-lagi seperti bisa membaca apa pun yang dipikirkan oleh Widanti.

“Aku tak takut. Aku hanya…”

“Kau tidak perlu khawatir,” perempuan yang mungkin paling pas digambarkan sebagai Gong Li bersetelan Calvin Klein itu mencoba meyakinkan, “Semua yang kau butuhkan untuk membunuh Abu Jenar sudah kami siapkan. Bahkan orang-orang yang akan membantumu melenyapkan Panglima Langit itu juga sudah kami hubungi…”

Widanti terdiam. Dia hanya membatin: Pasti perempuan ini tidak akan memberikan pistol baja otomatis Heckler & Koch 9 mm—sebagaimana dihadiahkan seorang bodyguard kepada Aomame—untuk sewaktu-waktu kutembakkan kepada orang lain atau diri sendiri. Apalagi aku bukan pembunuh bayaran. Aku hanya lulusan antropologi budaya yang rapuh dan perempuan yang suka mendongeng. Karena itu, aku harus berusaha mendapatkan pistol itu. Dari mana pun. Dari siapa pun.

Karena penasaran, Widanti memotong perkataan perempuan itu. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan lenyap-melenyapkan nyawa. “Tugas itu terlalu berat untukku. Aku tak tahu mengapa kau memilihku.”

“Justru karena kau antropolog budaya dan pendongeng, aku memilihmu. Hanya pendongeng dan antropolog yang bisa mengalahkan pembual. Percayalah, kau akan gampang menyusup ke tanjung itu. Kau hanya akan pura-pura menulis riwayat tanjung itu, berwawancara dengan Panglima Langit Abu Jenar, bersahabat dengan Zaenab dan Rajab, bermain-main dengan Kufah, mengawasi segala hal yang terjadi di kampung itu dan melaporkan kepadaku.”

Widanti mencoba menghapalkan nama-nama yang disebut dan membenamkan ke otak dalam-dalam. Dia seperti dipaksa merapal mantra.

“Lalu kapan aku harus membunuh Abu Jenar dan dengan apa aku menghabisi nyawa Panglima Langit yang tak bisa dikendalikan itu?”

“Kau tidak perlu memikirkan dengan apa harus membunuh Abu Jenar. Semua akan berlangsung spontan. Senjata apa pun akan mematikan. Kau juga tidak perlu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membunuh. Jika waktunya telah datang kau akan dengan gampang membunuhnya.”

“Tapi melihat kecoa pun aku takut. Bagaimana aku harus membayangkan pria yang kubayangkan sebagai raksasa itu?” Widanti berbohong.

Baca juga  Burung Api Siti

“Aku yakin kau akan bisa melakukannya.”

“Mengapa kau begitu yakin aku akan mau melakukan tugas gila ini?” kata Widanti sambil mengingat kali pertama dia menyiramkan bensin pada anjing yang telah dia salib di tiang dan membakarnya hidup-hidup.

“Sudah kubaca semua tulisanmu. Aku tahu kau adalah penulis kolom di berbagai media yang sangat habis-habisan menyerang siapa pun pemuja pedofil di negeri ini Kau juga tak suka menentang pemujaan individu yang berlebihan. Waktu remaja kau bahkan penentang utama Soeharto.”

“Ya, tetapi semua kulakukan dengan tulisan,” kata Widanti berbohong lagi sebab pada usia 15 tahun dia pernah menendang kemaluan teman sepermainan yang kurang ajar mencolek payudaranya yang mulai membesar, “Sedikit pun aku tak menggunakan kekerasan.”

“Kau tidak akan menggunakan pistol, kau tidak akan menggunakan pisau, kau hanya akan menjadi bagian dari kisah pembunuhan yang kami rancang.”

“Kalau aku menolak, apakah kau akan melakukannya juga?”

“Kau tak akan bisa menolak.”

“Tak bisa menolak?”

“Ya, kami sudah menculik ibumu dan akan kami bunuh jika kau menolak tugas ini,” kata perempuan itu sambil menunjukkan beberapa foto.

Widanti terkejut. Dia melihat beberapa pria bertopeng mengikat ibunya di sebuah kursi di sebuah tempat yang tidak dia kenal. Dia tidak menyangka keluarganya akan terlibat dalam urusan berat yang membuat perutnya mual. Sebenarnya kalian culik ibuku, aku tak peduli. Sudah sejak lama kami bermusuhan. Hanya, sangat biadab jika dia harus mati karena terlibat dalam urusanku. Karena itu, apa boleh buat, aku tak akan menolak tawaran untuk membunuh Abu Jenar, musuh konyolmu itu.

Widanti membatin lagi: Perempuan ini benar-benar serupa Don Corleone. Dia memberikan tawaran yang tak mungkin kutolak. Tentu aku tak ingin kepala ibuku dihajar dengan tongkat pemukul bola kasti hingga pecah, hingga otaknya memburai dan berhamburan tak karuan.

Widanti berpendapat: Permusuhanku dengan ibuku akan imbang jika dia tak diancam oleh siapa pun. Karena itu membunuh Abu Jenar lebih merupakan upayaku untuk menyelamatkan ibuku. Aku tak punya kepentingan lain kecuali mengembalikan kemerdekaan ibuku untuk membenci dan memusuhiku.

“Mulai besok hiduplah dengan duniamu yang baru. Lihatlah dengan cermat foto-foto Abu Jenar, Kiai Siti, Kufah, Zaenab, dan Rajab. Belajarlah mengenakan hijab dan bertingkahlah sebagai muslimah yang memesona,” perempuan itu berkata sambil menyerahkan map merah. “Pelajari apa pun yang membuatmu nyaman tinggal di tanjung itu.”

Widanti tercenung. Dia dan perempuan itu tak pernah meminum cappuccino dan espresso yang telah disediakan pramusaji. Mereka juga tidak pernah mendengarkan “Imagine” John Lennon dan lagu-lagu lain yang mengalun sepanjang percakapan. Mereka bergegas meninggalkan kafe seakan-akan tak ada waktu lagi untuk membunuh hewan bantaian.

***

Seseorang telah memaksa agar aku tak menjadi diriku sendiri, Widanti membatin di depan cermin di atas wastafel. Dia merasa meskipun sepanjang waktu akan mengenakan kerudung tipis warna ungu, wajahnya sebentar lagi akan bermetamorfosis dari kelinci manis menjadi serigala yang menyeringai. Dia tidak membayangkan sebelumnya bagaimana seorang pendongen dan antropolog yang rapuh harus terlibat dalam rencana pembunuhan yang sangat mungkin membahayakan.

Tak apa-apa. Ini takdir dan nasib yang harus kujalani. Widanti lalu mencoba membayangkan aneka satwa sehabis menancapkan taring di daging segar dan menemukan wajah paling mengerikan yang akan dia kenakan saat selesai membunuh Panglima Langit. Celaka! Dia merasa tak menemukan wajah itu. Dia justru dipaksa menatap wajah teduh berkerudung ungu. Wajah yang mungkin bakal dia temukan di surga. Saat itu, cermin seakan-akan bilang, “Kau bunuh seribu orang pun wajahmu bukan wajah pembunuh.”

Widanti sekali lagi memeriksa wajahnya. Aku akan bisa menghilangkan wajah itu kalau aku bunuh diri. Tapi aku tak akan bunuh diri. Aku masih harus menyelamatkan ibuku.

Menyelamatkan? Mungkin tidak. Widanti hanya ingin bertarung secara imbang dengan ibunya. Lebih tepat lagi, dia ingin membalas segala perbuatan sang ibu pada masa lalu. Dia lalu teringat betapa pada usia 10 tahun setiap sehabis mendengar ibu dan ayahnya bertengkar, saling gigit, dan terengah-engah di ruang tamu sang ibu dengan mata menyala menghajar punggung rapuhnya dengan ban dalam sepeda motor.

“Sudah bilang jangan mengintip kami, masih juga kau lakukan perbuatan busukmu ini. Dasar anak anjing!”

Meskipun tak pernah paham mengapa diperlakukan semacam itu, Widanti tidak pernah merasa lahir dari rahim anjing. Dia juga tak pernah berani membayangkan di wajah ibunya yang cantik tumbuh moncong panjang penuh liur.

Tetapi setelah dua puluh tahun, kini dia tahu siapa yang sesungguhnya layak disebut sebagai anjing. Dia selalu menghajarku setelah menjerit-jerit ketika bercumbu dengan ayah. Sebelum kutinggal minggat ke rumah nenek, ibu bahkan berusaha menusukku dengan pisau dapur. Saat itu aku tahu ayah dan ibu mabuk berat sebelum mereka bercinta di sofa.

Baca juga  Seperti Gerimis yang Meruncing Merah

“Kau masih suka mengintip percumbuan kami ya? Kau kira hanya ayahmu yang sanggup menyiksaku? Kau sangka aku tak berani membunuhmu?” kata ibuku dengan geram sambil mengacungkan pisau.

Tak kujawab pertanyaan itu, tetapi sejak itu aku mulai paham ada darah hewan berliur yang menjijikan di tubuhku. Saat itu pula sambil menghindar dari amuk ibu aku berkhayal menjadi anjing herder kuat yang sewaktu-waktu bisa menancapkan taring kokoh di tengkuk satwa tua yang kian dan rapuh. Kini kau kian tahu mengapa aku berhasrat menyelamatkan ibuku, bukan?

Widanti tidak pernah ingin menjawab pertanyaan itu. Dia lebih memilih bergegas ke ruang tamu. Dia membuka map merah berisi foto-foto dan keterangan singkat orang-orang yang akan ditemui di tanjung yang belum pernah dia kunjungi itu.

Ketika dengan cermat Widanti menatap foto seorang pria tinggi berjenggot dan bersorban, ponselnya berbunyi. Sebuah nama muncul di layar dan dia tidak mungkin menolak ajakan bicara dari perempuan yang siang tadi memberi instruksi agar Widanti membunuh Panglima Langit Abu Jenar.

“Jangan pernah menganggap dia sebagai Ayatullah Khomeini meskipun sorban yang dia kenakan sama,” kata suara dari seberang. “Yang harus kau mengerti dia merasa diutus oleh Allah untuk menyelamatkan tanjung dari kemungkaran. Sihir terkuat yang paling dia miliki, Abu Jenar hapal hampir seluruh ayat Allah. Ini membuat warga tanjung, termasuk Kiai Siti, tak berani melawan segala yang dia inginkan. Sebelum ke tanjung, dia sudah memiliki tiga istri. Setelah tiba di tanjung, dia ingin memperistri Kufah. Kau tahu berapa umur Kufah?”

“Berapa?”

“Baru 11 tahun. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana bocah sekencur itu dipaksa bercumbu oleh lelaki kekar yang seharusnya jadi kakeknya.”

“Tentu mengerikan,” darah Widanti mendidih dan mulai punya alasan utnuk membenci Abu Jenar.

“Dan lelaki semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup, bukan?”

Hening. Widanti bungkam.

“Bukan hanya itu kejahatan yang dia lakukan.”

“Dia suka membunuh perempuan-perempuan yang dipersitri?”

“Tidak. Justru dia sangat menyayangi mereka.”

“Lalu apalagi yang dia lakukan?”

“Dia suka menyodomi laki-laki kencur.”

“Hah!” Widanti kaget. “Sungguh sangat bajingan Abu Jenar. Mengapa tak seorang pun menghentikan perbuatan busuk itu?”

“Karena hampir semua orang tanjung—kecuali Zaenab yang dianggap Abu Jenar sebagai perempuan gila—percaya dia bisa melakukan keajaiban apa pun yang dimiliki para nabi. Dia dipercaya bisa menguras air laut dan menjadikan dasar samudera sebagai jalanan, berjalan di atas air, atau menari di mulut ikan hiu raksasa.”

“Kau percaya Abu Jenar memiliki keajaiban semacam itu?”

“Aku meragukan seluruh kecakapan yang dia miliki. Tetapi hingga sekarang aku belum bisa membuktikan kebohongan Abu Jenar. Karena itu segeralah ke tanjung. Beri tahu aku apakah dia benar-benar lelaki digdaya.”

“Kau mengira aku akan pergi ke sana karena menuruti perintahmu?” Widanti tiba-tiba memotong percakapan perempuan yang tampaknya menelepon dari sebuah kamar yang sangat sunyi itu. “Kini tidak lagi. Tidak kau suruh pun aku akan ke tanjung itu.”

Tak menunggu jawaban, Widanti mematikan ponsel. Dia merasa terbebas dari tekanan.

***

Perlu dua minggu untuk mendapatkan pistol baja otomatis 9 mm Heckler & Koch. Seorang penjual barang antik yang memperoleh senjata itu dari penyelundup di pelabuhan menjual murah alat pembunuh yang canggih pada masa 1984-an dan belum teruji jika dipakai pada 2010 itu. Akan tetapi ternyata justru lebih sukar mencapai tanjung yang kelak disebut oleh Widanti sebagai dunia setengah jadi atau surga ½ tuhan itu pada saat kegelapan sudah menyuruk dan di langit tergantung bulan purnama yang begitu indah. Sopir taksi sebenarnya tak mau mengantar andai saja Widanti tidak membayar tiga kali lipat.

“Menuju ke kawasan itu kita akan seperti memasuki tahun-tahun saat Soeharto membunuh para gali,” kata sopir taksi.

“Maksudmu kita akan menemukan begitu banyak mayat tergeletak di jalan?”

“Tentu saja tidak,” jawab sopir taksi itu tanpa melihat Widanti yang duduk di jok belakang. “Tetapi jika kita melihat rumah-rumah, lampu-lampu, atau model pagar, serta mendengarkan percakapan orang-orang di warung, kita seperti berada pada tahun 1980-an.”

“Jangan membual. Aku ini seorang pendongeng. Aku tahu mana bualan mana kenyataan.”

“Buktikan saja,” kata sopir taksi lagi-lagi tanpa memandang Widanti.

Ya, akan kubuktikan. Dan Widanti memang membuktikan betapa ketika memasuki jalan kecil bergelombang dia merasa seperti memasuki gerbang selamat datang ke tahun-tahun silam. Kian menyuruk ke dalam dia seperti terputus dengan masa kini dan masa depan. Sepeda dan sepeda motor yang berpapasan rasanya memang berasal dari tahun 1980-an. Pakaian orang-orang yang bisa dilihat dari taksi juga berasal dari masa lalu.

“Saya hanya bisa mengantar sampai di sini,” kata sopir taksi begitu sampai di kampung yang menghubungkan kota dengan tanjung. “Untuk sampai ke tanjung, Sampean harus menyeberang dengan perahu.”

Baca juga  Sepasang Mata Gagak di Yerusalem

Perahu? Seumur hidup aku tak pernah berlayar di tasik yang tenang. O, mengapa untuk membunuh Abu Jenar, aku harus berjuang menghilangkan ketakutanku terhadap amuk badai terlebih dulu?

***

Tentu saja perahu bukanlah Siratal Mustaqim. Akan tetapi Widanti—yang kini telah berkerudung tipis warna ungu—merasa perahu itu merupakan jembatan yang memungkinkan dia bertemu dengan Abu Jenar. Karena itu dia menganggap tukang perahu yang nyaris tidak pernah tersenyum itu, sebagai sesosok malaikat yang bakal membantu mencabut nyawa Panglima Langit dengan cepat. Akan tetapi tampaknya tukang perahu terlalu rapuh untuk berhadapan dengan Abu Jenar.

“Akulah yang mengantar Panglima Langit ke tanjung itu. Aku tak tahu apakah dia berwajah tampan atau tidak. Aku tak berani menatap wajahnya yang bercahaya. Aku takut buta,” kata tukang perahu setengah berteriak untuk mengimbangi suara mesin perahu.

“Apakah di bahunya tumbuh semacam sayap? Apakah dia bisa berjalan di dasar laut Apakah dia bisa menari di perut ikan hiu raksasa?” Widanti juga tak kalah keras berteriak.

“Aku tidak tahu,” kata tukang perahu. “Yang jelas badai reda ketika dia mengibaskan jubahnya.”

“Menurutmu apakah dia lelaki yang berbahaya?”

“Aku tidak tahu. Bertahun-tahun aku mengantarkan para peziarah ke Makam Syekh Muso, bertahun-tahun pula kucium bau mawar di tubuh para pemuja Sang Junjungan. Tetapi entah mengapa ketika mengantar Panglima Langit, aku mencium bau bangkai.” Tukang perahu tidak meneruskan percakapan.

“Apa maknanya?”

Tukang perahu tetap diam.

“Hoe, apa maknanya? Mengapa tercium bau bangkai di tubuhnya?” teriak Widanti.

“Sebaiknya jika tak perlu benar, urungkan niat Sampean untuk bertemu dengannya.”

“Mengapa?”

“Bahaya. Apalagi Sampean cuma seorang perempuan.”

“Hmm, jadi hanya karena aku perempuan, kamu anggap aku tidak berani membunuhnya?”

“Membunuhnya?” tanya tukang perahu kaget. “Jangan main-main. Sampean hanya ingin mengaji kitab kuning kepada Panglima Langit, bukan?”

Widanti tidak menjawab. Dia membiarkan tukang perahu takjub pada segala perkataannya.

***

Mulai terdengar suara ribuan bangau ketika Widanti meloncat ke daratan penuh pohon bakau itu. Dia bingung apakah akan menuju ke makam menemui Zaenab terlebih dulu atau langsung ke mesjid dan langsung bergabung dengan para pembunuh Abu Jenar. Jika bertemu Zaenab, apakah perempuan penunggu makam pembenci Abu Jenar, itu juga akan langsung bergegas menusukkan pisau ke ulu hati Panglima Langit?

Aku kira meminta Zaenab membunuh Abu Jenar dengan berbagai cara merupakan pilihan terbaik. Tak perlu ada cipratan darah di tanganku. Hanya, apakah tindakan ini menjadi bagian dari rencana pembunuhan yang sudah dirancang?

Bingung menjawab pertanyaan itu, membuat Widanti memutar otak. Aku harus menggunakan bagian otakku yang miring untuk merancang pembunuhan Abu Jenar. Aku tak mau mengikuti rancangan dari siapa pun.

Pada saat-saat kritis semacam itu, pada saat dia tidak memercayai muslihat apa pun yang dilakukan orang lain, Widanti memiliki gagasan sableng. Kegilaan harus dilawan dengan kegilaan. Widanti berencana menggunakan kemolekan tubuh untuk menghancurkan Panglima Langit. Aku akan menari telanjang di mesjid. Aku berharap Abu Jenar menganggapku kesurupan dan tertantang menghilangkan setan dalam tubuhku. Saat sudah begitu dekat, aku akan melihat wajahnya. Aku berharap wajahnya tidak menyilaukan sehingga aku akan dengan gampang menggapai pistol yang kusembunyikan di pinggang, mengacungkan senjata mematikan itu, menarik pelatuk, meletuskan berkali-kali, sehingga membuat kepala Abu Jenar pecah dan otaknya memburai.

Memikirkan tindakan itu dan mulai melangkah, tubuh Widanti yang hanya mengenakan celana panjang bergetar hebat di bawah bulan purnama yang amis. Lalu ketika dari mesjid, dia mendengar semacam dzikir, semacam salawat, Widanti memutuskan segera menari dan meneriakkan aneka ayat Allah yang dia gabung secara serampangan.

Apakah kau akan mampu melawan muslihatku, wahai Panglima Langit? Apakah kau akan mampu menatap tubuh molekku? Apakah kau mampu menghindar dari tembusan peluru pistol cantikku?(*)

Semarang, 24 Juli 2013

Catatan:

1) Aomame adalah tokoh perempuan dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami. Widanti pernah secara serampangan membaca novel yang strukturnya mirip Linghan atau Gunung Jiwa karya Gao Xingjian itu.
2) Gong Li adalah bintang film yang mendapat Hongkong Film Award untuk permainannya dalam Curse of The Golden Flower pada tahun 2006.
3) Widanti pernah menonton sepak terjang Don Corleone yang menciutkan nyali lawan atau kawan dalam film The Godfather.

 

 

Triyanto Triwikromo mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk kumpulan cerita pendeknya Ular di Mangkuk Nabi (2009). Buku cerita pendek terbarunya Celeng Satu Celeng Semua (2013).

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!