Cerpen Eko Triono (Media Indonesia, 01 September 2013)
“MEREKA berhasil!” teriak ayah dari sofa. Tidak biasanya ia mengajak bicara. Meski kami serumah, kadang kami lebih mirip orang yang kebetulan bersama. Kebetulan aku sebagai anak, dan ia sebagai ayah.
“Lihat, mereka berhasil!” teriak ayah lagi. Ia menunjuk-nunjuk televisi 19 inci. Kupadamkan kompor dulu, sebelum mendekat padanya di jarak 15 langkah. Aku punya pengalaman buruk menggosongkan panci karena terbius oleh acara sulap. Bukan hanya gosong, panci itu juga lumer, dan setelah dingin bentuknya jadi tak keruan, seperti pulau yang penyot di sana-sini.
“Lihat, Nak, cepat! Tinggalkan pancimu. Ini benar-benar mengagumkan,” tumben ayah menyapaku dengan ‘Nak’.
Biasanya panggil nama. Itu pun jarang sekali. Sudah kubilang, aku jarang bicara dengannya. Dan pagi ini, aku merasa agaknya ia ingin kembali menjadi ayah, dan aku menjadi anak, atau entah bagaimana. Sekarang, aku sudah di belakangnya. Ia bersandar ke perut sofa krem, menghadap televisi. Ia gemuk, mirip panda yang murung.
Seorang menteri kulihat sedang memegang dua jenis alat kontrasepsi. Ia bicara dengan latar keluarga bahagia. Mengiklankan program KB. Di bawah gambarnya, ada nama dan gelar. Matanya melirik ke kiri. Tidak fokus kamera. Ia menyontek teks. Aktor yang payah. Apa ini yang dimaksud ayah? Bukannya ini iklan layanan masyarakat yang terjadi setiap hari selama bertahun-tahun dengan aktor menteri yang sesuai dengan periodenya?
“Bukan, bukan itu!” katanya. “Kamu telat, Nak. Acaranya kena iklan. Duduklah sini, kita tunggu.”
Aku pun duduk di sisi kanannya. Tidak terlalu dekat. Kami menonton gonta-ganti iklan selama detik-detik yang membosankan. “Ayah mau kopi?” Rasanya ada badai es dalam jantung saat memanggilnya ayah. Mungkin karena terlalu lama tidak melakukannya. Lidah terasa lengket dan 10 gram lebih berat. Ia mengangguk. Ia bilang, segera, jangan sampai ketinggalan acaranya lagi. Aku kembali ke dapur menempuh jarak 15 langkah dengan kecepatan maksimal.
Belum pernah aku merasakan gugupnya mendapatkan pesanan secangkir kopi. Seolah yang memesan di depan itu bukan ayahku, melainkan seorang presiden republik yang mengantuk di pagi hari.
Kalau kupikir-pikir lagi, ketika itu kejadian dan emosinya berkebalikan dengan adegan dalam film tentang kopi dan bom atom. Dalam film itu dikisahkan betapa tenangnya si lelaki tua, tokoh utama. Puluhan pesawat tempur mengerang di luar atap. Satu di antaranya akan menjatuhkan bom atom. Namun, ia tetap saja membuat kopi. Ia digambarkan dengan kesantaian yang rinci; mulai dari caranya mengusir semut-semut di stoples gula dengan ketukan-ketukan lambat di antara gemuruh pesawat dan orang-orang yang berteriak ketakutan, bunyi air mendidih, tingkahnya yang estetik dalam menghirup aroma kopi, sampai caranya menyajikan untuk diri sendiri, sebelum bom atom meledak menyemburkan reaksi fusi yang ngeri, memuncratkan kopi ke arah kamera. Lalu gelap sepenuhnya. Dan muncul teks putih: The End. Bagi lelaki tua itu, seakan perang memang tidak lebih penting dari secangkir kopi pahit.
“Jangan terlalu pahit,” ayah tiba-tiba mengingatkan. “Segera. Ini mau mulai! Kamu harus lihat keberhasilan mereka di Pulau Evolut, Nak.”
“Kenapa dengan Pulau Evolut?” pikirku. Dan sesaat lagi, mungkin aku akan tahu apa yang terjadi di tengah laut itu.
Seandainya aku bisa mengetahui masa depan. Seandainya aku tahu bahwa acara Pulau Evolut yang kutunggu itu akan membuat hari esokku semakin sepi, tentu aku akan melakukan hal-hal seperti ini; mengambil palu, menggodam televisi 19 inci, dan berkata pada ayah, bernapaslah dan tetap di sini, hidup sebagai manusia itu perlu, meski kadang memang tidak menyenangkan. Namun, aku tidak tahu. Aku malah begitu antusias membuatkannya kopi.
Sikap gembira ayah membuatku bahagia sehingga seandainya dari jendela dapur tiba-tiba muncul Cassadra, putri dari Troy yang peramal dalam mitologi Yunani itu, lalu ia berkata bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada ayahku, aku juga tidak akan percaya. Sama seperti orang-orang Yunani, Apollo pun mengutukku. Dan kehilangan akan menyergap lagi. Seluruh benda dapur akan menatapku dengan kelam. Setelah ibu, kini giliran ayah.
Meski jarang bicara, dan terlihat kami seperti kebetulan satu menjadi ayah dan satu menjadi anak, ayah tetap pribadi yang menyenangkan. Ia menyukai Charlie Chaplin. Ia mengoleksi dan menontonnya berkali-kali.
“Dia itu manusiawi,” kata ayah.
Aku pertama lihat sulap juga dari film bisu Chaplin kesukaan ayah, The Circus (1928). Chaplin masuk rombongan sirkus dan pesulap. Ia jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Ia memilih ditinggalkan di tengah lapangan gersang. Ayah juga begitu. Ibu selingkuh, minta cerai, dan menikah dengan selingkuhannya. Sirkus hidup dan cinta membuat ayah semakin pendiam, dingin, tak lucu lagi. Tapi kadang ia masih mengajakku menonton sulap di gedung-gedung pertunjukan atau di karnaval tahunan.
“Sulap itu,” jelas ayah suatu ketika, “seperti takdir. Penuh ketidakmungkinan di mata manusia. Orang-orang bilang, itu kecepatan kuasa tangan, padahal sebenarnya adalah kelambatan penonton dalam berpikir, sehingga terlihat ajaib.”
Dan, acara sulap pernah membuatku menggosongkan panci. Di rumah, aku yang masak menggantikan ibu. Di usia yang menginjak 25, aku telah menguasai lebih dari 100 resep asli Nusantara. Wajah ibu seperti wajah penyiar televisi itu. Bulu-bulu matanya runcing, alisnya tebal, bola matanya gelisah.
Kalau tersenyum, selalu terlihat seakan dibuat-buat. Yang menarik darinya adalah suara. Suara ibu sangat merdu seolah tidak ada lagi yang lebih merdu darinya. Aku tidak termasuk orang yang mengalami kesusahan tidur, sebab sejak kecil biasa dininabobokan dengan suara terbaik. Namun, suara itu pula yang membuat ibu jarang pulang dan punya kekasih baru.
“Dia tidak lebih cantik dari ibumu,” ayah seperti tahu apa yang kupikirkan.
Ia kembali meminta fokusku, “Perhatikan bagaimana orang-orang itu berhasil melakukan uji coba di Pulau Evolut.”
Dan aku memperhatikan.
Sepuluh hari setelah itu, aku menjalani hari-hari dengan memasak lebih sedikit dari biasanya. Ayah tidak pulang. Dan mungkin tidak akan pernah pulang. Pulau Evolut menarik hatinya yang sudah terlalu remuk. Ia nekat melakukan sesuatu yang buruk agar bisa tinggal di gumpalan tanah tengah laut itu. Ia menyatakan diri sebagai seorang yang korup di kantor perpajakan tempatnya bekerja. Sesuai hukum terbaru, orang yang mengaku bersalah lebih cepat dieksekusi. Ia pun dibuang.
Ia senang, tulisnya dalam surat. Di pulau ini, mereka benar-benar berhasil! Mereka, para ahli termutakhir, melakukan rehabilitasi penjahat korup dengan menggunakan sarana alam. Koruptor dihukum dengan menjalani hidup seperti kera di sejumlah pulau paling terasing. Salah satunya Pulau Evolut.
“Kami menikmatinya,” aku masih ingat acara itu menampilkan salah satu koruptor, “ini proses panjang menuju pemuliaan.”
Ketika aku menanyakan bagian mana proses pemuliaan itu, ayah membalas dengan surat manual. Nadanya cukup bahagia. Mula-mula, ia menyebut tentang alam dan suara-suaranya yang membersihkan telinga dan ingatan dari kebisingan kota. Selanjutnya, ia menulis dengan begitu santai soal tidak perlunya ia menggosok gigi di pagi hari, mencukur cambang, berganti pakaian, memikirkan pekerjaan, atau memanasi mobil. Ia juga tidak perlu mengangkat telepon atau membalas pesan pendek. Ia bebas dari semua itu.
Pendek kata, tulis ayah, dengan menjadi kera, hidup terasa lebih mudah dan efektif.
“Awalnya, ayah canggung. Tapi mereka, yang lebih dulu di sana, mengajari banyak hal. Baju, celana, dompet, jam tangan dan uang, tidak ada artinya bagi seekor kera. Kami belajar tidak rakus. Cukup buah dan tempat tidur di bawah pohon. Kami belum bisa menguasai cara bergelantungan. Itu sulit. Sama sulitnya saat kami harus menyamakan kegunaan dan kehormatan antara tangan dan kaki.
“Tidak mungkin kan, hormat pakai kaki sama artinya dengan pakai tangan, juga waktu salaman, atau menyapa orang?” Ayah rasa, dalam hal kaki-tangan mereka gagal. Kami pun tidak dimundurkan terlalu jauh. Hanya ke zaman manusia purba. Mengembalikan nurani, rasa sosial, tidak rakus, takut pada pencipta, menghargai semesta alam dan semesta manusia, adalah tujuan dari penemuan rehabilitasi terpidana korup ini, sebelum kami berproses menjadi manusia lagi—seperti penyucian jiwa. Diktum ini tercantum di papan masuk Pulau Evolut.
“Tapi, bukan itu tujuan ayah. Di Evolut, ayah hanya ingin menjauh dari kota, rutinitas, tekanan, kenangan, dan tentu rasa pahit ditinggal ibumu. Ayah ingin menyapih rasa sakit.”
Dan lama-lama, aku mulai merasa terbiasa tanpa ayah, si Chaplin Dingin, si Panda Gemuk itu. Kedudukannya sebagai ‘manusia-purba-baru’ kini membuat jarak kebetulan ayah dan kebetulan anak seolah sedang melintasi fase-fase zaman batu, logam, agraris, industri, lalu informasi.
Tapi, ngomong-ngomong, jam berapa sekarang? Kenapa sepi sekali?
2013
Penulis lahir di Cilacap, 11 Juni 1989. Kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNY. Ia meraih sejumlah penghargaan sastra.
ardha
Hhmm…
wow