Cerpen Gunawan Maryanto (Jawa Pos, 8 September 2013)
MASIH ingat cerita Tambijumiril, seorang saudagar kaya raya dari Benggala yang tak pernah bahagia? Ya, ia yang kemudian meninggalkan seluruh harta kekayaannya dan pergi bertapa sungsang –kepala di bawah kaki di atas– hingga delapan tahun lamanya. Konon ia mendapat wangsit dari Malaikat Jabarael untuk pergi berlayar untuk bertemu dengan jodohnya di sebuah padang pasir yang gersang. Pendeta Kanjulmukmin yang ditemuinya di sebuah pulau memberinya petunjuk agar ia pergi ke tanah Mekkah. Mungkin di sanalah ia akan mendapatkan kebahagiaannya atau entahlah apa namanya.
’’Di sana Anakmas akan bertemu dengan jodoh. Dari rahimnya kelak akan lahir seorang anak yang akan mengagungkan nama Anakmas. Dia adalah seorang abdi dan prajurit yang gagah berani. Dia akan menjadi abdi dan sahabat setia dari seorang kekasih nabi. Dia juga seorang yang jenaka, nakal, dan pintar berkelakar. Dan, maaf, Anakmas, dia juga seorang yang panjang tangan. Copet yang ulung. Tapi ia bukan copet sembarang copet. Ia tak akan menggunakan tangannya untuk perbuatan yang nista. Umur lima tahun ia sudah bisa mencopet sambil duduk. Sepuluh tahun ia bisa mematahkan leher seorang raja tanpa seorang pun mampu melihatnya. Ia juga bisa melompati seluruh tembok yang pernah ada. Ia juga bisa berlari lebih cepat daripada angin dan tak seorang pun di atas bumi ini yang mampu menangkapnya. Dan sekali lagi ia adalah seorang yang jenaka. Semua orang baik kawan atau lawan akan menyukainya. Sudahlah, Anakmas. Tak perlu saya berpanjang lebar merentang masa depan. Saya tak punya kuasa apa-apa. Berangkatlah segera ke kota Mekkah.”
***
Maka sampailah Tambijumiril di tanah Mekkah yang pada saat itu masih berbentuk sebuah kadipaten dan diperintah oleh seseorang bernama Baginda Asim. Baginda Asim, lelaki bijaksana yang tubuhnya bongkok ini, adalah anak dari Baginda Abdulmanap. Ia menjadi adipati menggantikan ayahnya tersebut. Sebenarnya ia masih memiliki saudara kembar yang entah menghilang ke mana. Mereka dilahirkan kembar siam, pada punggung Asim menempelperut saudaranya. Baginda Abdulmanap pun terpaksa memisahkan mereka dengan pedangnya. Hingga Asim dan Umiyar pun terpisah. Dengan kekurangan: Asim jadi membungkuk dan Umiyar mendongak.
Baginda Asim memiliki tiga orang anak. Yakni: Siti Mahiya –seorang perempuan yang sangat cantik dan lemah lembut; Alip dan Abdulmuntalip–keduanya tampan dan gagah berani. Pada saat Tambijumiril sampai di alun-alun kota Mekkah, Baginda Asim sudah 19 tahun menjabat adipati menggantikan ayahnya dan Siti Mahiya sedang cantik-cantiknya.
Siti Mahiya, meski sudah didesak ayahnya untuk segera menentukan jodohnya, tetap memilih hidup sendirian. Putri kadipaten itu selalu menghindar jika ayahnya sudah mulai masuk ke perkara pernikahannya. Bukan karena Siti Mahiya tak mau tapi memang senyatanya ia belum menemukan seorang lelaki yang menurutnya bisa membahagiakannya. Baginya lelaki yang sempurna adalah perpaduan dari ayah dan kedua adiknya. Gabungan ketiganya adalah bayangan sempurna seorang lelaki bagi Siti Mahiya. Dan ia belum menemukannya. Mungkin tak pernah ada di dunia ini. Dan jika demikian jika ia dipaksa menikah ia akan menikahi ketiganya. Dan itu tak mungkin.
Setiap hari ia mengurung diri dalam kamar. Sama sekali tak pernah keluar kecuali Baginda Asim menghendakinya menghadap atau hadir dalam acara-acara resmi kadipaten. Itu pun tak sering. Hingga pelan-pelan Siti Mahiya pun hilang dari ingatan banyak orang. Alip dan Abdulmuntaliplah yang banyak menjadi percakapan warga Mekkah. Masa depan Mekkah tampak dengan jelas di wajah dan sepak terjang mereka. Kecendikiaan Alip dan kegagahberanian Abdulmuntalip membuat warga Mekkah merasa aman dengan masa depannya. Di tangan mereka berdua kelak Mekkah akan mencapai puncak kejayaannya. Demikianlah keyakinan yang diam-diam tumbuh dan membesar di hati setiap warga setiap kali mereka melihat kedua satria itu.
Tapi cerita ini adalah cerita Siti Mahiya. Di sinilah Siti Mahiya akan hadir dan mengalir. Bukan yang lain. Gadis bertinggi badan 172 cm dan berat badan 49 kg ini memang luar biasa menawan. Di balik cadar yang selalu dikenakannya tersimpan wajah yang akan melekat pada mimpi lelaki mana pun di sepanjang hidupnya meski hanya sekali mereka melihatnya. Tentunya sangat disayangkan bahwa ia mengurung dirinya terus-menerus di dalam kamar hingga tak banyak orang tahu bahwa di tanah Mekkah yang panas dan gersang ada mata air bernama Siti Mahiya yang akan membuat teduh hati siapa pun yang berada dekat dengannya. Ia juga memiliki suara yang lembut. Saking lembutnya, jika ia mau, bisa menidurkan pendengarnya. Membuat mereka jatuh dalam tidurnya yang paling dalam.
Mahiya sendiri berarti menyenangkan berasal dari nama sansekerta. Dan memang demikianlah adanya, Siti Mahiya menjadi seorang gadis yang menyenangkan –jika saja kau beruntung bisa bertemu dengannya, jika saja ia tak menutup dirinya di dalam kamar. Ia tepat berumur 25 tahun saat Tambijumiril tiba di tanah Mekkah. Umur yang sudah sangat terlambat untuk menikah. Perempuan seusianya, di sana, harusnya sudah beranak setidaknya 3. Tapi Siti Mahiya sepertinya akan memakan waktu lebih lama lagi jika ia tak mau berubah. Baginda Asim barangkali adalah seseorang yang paling gelisah memikirkan nasib putrinya tersebut. Alip dan Abdulmuntalip, kedua adiknya, sudah terlebih dahulu menikah. Tiap kali teringat putri sulungnya itu Baginda Asim berkaca-kaca matanya. Seluruh kejayaan Mekkah rasanya tak cukup untuk meredakan kegundahannya.
***
Tambijumiril menghentikan langkahnya di tengah alun-alun kota Mekkah. Inikah tanah yang dijanjikan kepadanya itu. Beberapa pengawal tampak berjaga di regol kedaton. Beberapa saat kemudian ia menghampiri salah satu dari mereka.
’’Katakan kepada adipatimu, ada saudagar dari Benggala ingin menghadap.” Pengawal itu tampak keheranan menatap Tambijumiril. Barangkali ia menduga Tambijumiril adalah seorang pengemis. Pakaian dan debu yang menempel tebal di sekujur tubuhnya membuat pengawal itu setengah tak percaya bahwa yang tengah berdiri di hadapannya adalah seorang saudagar.
’’Katakan saja Tambijumiril ingin menghadap.’’
Mendengar nama saudagar kaya raya yang terkenal di seluruh penjuru itu disebutkan si pengawal segera berlari masuk ke kadipaten. Tak berapa lama ia balik lagi dan mempersilahkan Tambijumiril masuk.
Di paseban kadipaten Mekkah Baginda Asim telah menunggunya.
’’Benarkah kau Tambijumiril saudagar kaya raya dari Benggala itu?” tanya Baginda Asim sambil mempersilahkan Tambijumiril duduk di hadapannya.
’’Benar, Baginda. Saya Tambijumiril. Tapi saya bukan saudagar kaya raya lagi.’’
’’Kenapa begitu? Apa yang telah terjadi? Apakah kau dirampok begal di tengah perjalananmu?’’
’’Bukan dirampok, Baginda. Seluruh harta saya sudah habis saya bagi-bagikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Saya datang kemari karena itulah petunjuk yang saya dapatkan sewaktu saya bertapa sepanjang delapan tahun lamanya. Kalau saya hendak mencari bahagia konon di sinilah tempatnya.’’
’’Ah, jadi kau mau mencari kebahagiaan di sini? Apakah harta kekayaanmu tak cukup membuatmu bahagia?’’
’’Ayah saya seorang saudagar yang kaya raya, Baginda. Saya lahir di tengah kekayaan tersebut. Saya pun tumbuh besar di sana hingga kemudian saya mengikuti jejak ayah saya menjadi saudagar. Harta kekayaan saya makin hari makin berlipat jumlahnya. Tapi lama kelamaan saya bosan dengan semuanya. Saya merasa tak memiliki apa-apa selain harta saya tersebut. Bahkan saya takut memiliki seorang istri. Saya takut ia hanya mencintai harta saya. Bukan saya.’’
Baginda Asim sangat tertarik mendengar cerita Tambijumiril. Di matanya wajah saudagar muda dari Benggala itu seperti memancarkan cahaya.
’’Kini saya adalah orang termiskin di dunia. Saya tak punya apa-apa, Baginda. Tapi entah kenapa saya malah merasa lebih bebas sekarang. Tidak memiliki beban dan ketakutan apa-apa lagi. Saya datang ke sini karena inilah tanah yang dijanjikan dalam mimpi saya. Saya telah bertanya ke sana-kemari di manakah letak kebahagiaan. Dan seluruh warga yang saya temui menyarankan saya untuk menghadap Baginda Asim yang bijaksana. Untuk itulah saya menghadap siang ini, mengganggu istirahat Baginda. Jika diperkenankan saya ingin suwita di sini. Pekerjaan apa pun akan saya kerjakan dengan tulus.’’
Baginda Asim terharu mendengar penuturan dan permintaan Tambijumiril. Diamatinya sekali lagi bekas saudagar paling kaya di dunia itu. Diam-diam ia merasa jatuh hati. Ah, seandainya saja Siti Mahiya mau menikah dengannya. Tapi segera ia menepis bayangan itu. Biarlah jika memang berjodoh mereka akan menemukan jalannya sendiri. Baginda Asim tak mau berharap. Ia takut kecewa sekali lagi.
’’Baiklah, kuterima kau bekerja di sini. Sebagai tukang kebun taman sari.’’
Tambijumiril menyembah Adipati Mekkah itu. Senang sekali rasanya ia bisa mendapatkan pekerjaan –hal yang tak pernah dialaminya: mencari-cari pekerjaan.
***
Tambijumiril bekerja dengan rajin. Ia tak mau mengecewakan Baginda Asim yang telah memberinya pekerjaan. Tanaman dan bunga-bunga di taman sari yang menjadi tanggung jawabnya dirawatnya dengan baik. Semua diperlakukan sebagai sahabat yang dikasihinya. Ia menyiram mereka dengan air juga dengan lagu-lagunya yang merdu. Tambijumiril tak pernah membayangkan bahwa di tengah gurun yang tandus terdapat sebuah taman sari seperti yang sekarang setiap hari dikunjunginya. Taman itu dibangun mengelilingi sepasang mata air kecil yang tak pernah berhenti mengeluarkan air.Seperti sepasang mata bidadari yang tengah menangis. Dan tak pernah berhenti. Bukan tangis kesedihan, tapi tangis kebahagiaan yang tak pernah habis-habis.
Sehabis bekerja Tambijumiril suka sekali duduk-duduk di dekat mata air itu. Entah kenapa. Di kejernihan mata air itu Tambijumiril seperti menemukan bayangan dirinya yanglain. Tambijumiril yang lain. Demikiansetiap hari. Hinggadi sebuah sore selepas ia bekerja dan tengah duduk-duduk di tepi mata air, sebuah suara lembut menyapanya.
’’Terima kasih sudah merawattanaman dan bunga-bungaku.’’
Tambijumiril kaget. Ia segera menengok ke sumber suara lembut itu.
Sesosok perempuan berdiri di belakangnya. Wajahnya tertutup cadar. Hanya sepasang mata yang tampak tengah menatapnya. Tambijumiril segera menduga ini pasti salah satu selir Baginda Asim. Dengan cepat ia menyembah.
’’Hamba Tambijumiril, Ndara Putri. Hamba abdi dalem baru di sini.’’
’’Ya, aku tahu. Namamu Tambijumiril dari Benggala bukan?”
Tambijumiril mengangguk dengan heran. Ternyata namanya sudah dikenal oleh kerabat kadipaten.
’’Aku Mahiya, putri sulung Baginda Asim.”
Kagetlah Tambijumiril. Ia sama sekali tak tahu bahwa Baginda Asim memiliki seorang putri yang sangat lembut suaranya.
’’Maafkan hamba, Ndara Putri. Hamba malah tak tahu. Sekali lagi maaf.’’
’’Tak apa. Tak banyak yang tahu juga kehadiranku di keputren ini. Apalagi kamu yang masih baru. Boleh aku duduk di situ?’’ Siti Mahiya menunjuk tepi mata air di mana Tambijumiril biasa duduk. Agak gelagapanTambijumiril menjawabnya, ’’Silakan, Ndara Putri. Taman ini milik Ndara Putri sendiri.’’
Tanpa peduli dengan kekikukan Tambijumiril, Siti Mahiya langsung duduk. ’’Kamu juga duduklah. Temani aku.’’ Tambijumiril semakin gelagapan. Tapi tak mau mendapat amarah ia menuruti saja perintah Siti Mahiya.
’’Aku sering mendengar kau menembang saat menyirami bunga-bunga di taman ini. Kalau boleh tahu tembang apa itu?”
Tambijumiril memerah wajahnya. Ia tak menyangka bahwa selama ini ada seorang putri yang mengamatinya. Jantungnya berdetak dengan cepat.
’’E… Sekar Dandanggula, Ndara.”
’’Nyanyikanlah lagu itu buatku sekarang.’’
’’Ampun, Ndara Putri. Suara saya jelek sekali.’’
’’Nyanyikan. Anggap saja aku bunga-bunga yang tengah kau siram saban hari itu.’’
Setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya Tambijumiril pun menembang.
Dhandhanggula aku coba kini
Untuk meredakan kesedihan
Yang berlangsung sejak sore
Sejak kamu berlalu
Dari percakapan yang dingin
Serta terpatah-patah
Ini soal rindu
Yang bolak-balik bergetar
Tiap kali angin datang mendekati
Seperti ini saat…
Di kejauhan Baginda Asim memperhatikan mereka. Hatinya benar-benar merasa lega. Ia menatap langit. Di sana Malaikat Maut tengah menunggunya.
Jogjakarta, 2013
Catatan: Kisah ini berangkat dari Serat Menak karya R. Ng. Yosodipuro yang digubah dari Serat Menak Kartasura yang ditulis Carik Narawita dari khazanah sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah yang diturunkan dari Qissa il Emir Hamza wiracarita dari Parsi
GUNAWAN MARYANTO bergiat di Teater Garasi Jogjakarta. Buku kumpulan ceritanya yang telah terbit: Bon Suwung (Insistpress, 2005), Galigi (Koekoesan, 2007), dan Usaha Menjadi Sakti (Penerbit Omahsore, 2010). Kumpulan puisinya Sejumlah Perkutut buat Bapak (Penerbit Omahsore, 2010) meraih KLA 2010. Kumpulan puisi terbarunya The Queen of Pantura.
Leave a Reply