Cerpen DT Jatmiko (Suara Merdeka, 15 September 2013)
PERNAHKAH, suatu saat, kau tersesat di sebuah dunia yang dipenuhi dengan imajinasi anak-anak? Ya, itulah kejadian yang kualami beberapa waktu yang lalu. Dan maaf jika aku mendahului pertanyaanmu, tentang mengapa aku menuliskan kata ’’tersesat’’. Itu hanya selintas pemahamanku saja, entah mengapa aku begitu yakin, jika kau begitu mencintai dunia orang dewasa yang begitu serakah dan fana. Ah, tapi maaf, abaikan saja jika kau kurang berkenan dengan pemahamanku tersebut.
Dunia yang dipenuhi dengan imajinasi anak-anak adalah sebuah dunia yang syarat dengan keajaiban, di mana, semua yang terjadi merupakan kebalikan dari segala peristiwa yang semestinya ada di dunia normal. Begini. Misalnya saja, jika orang dewasa menangis, merengek, dan meminta jatah susu, maka anak-anaklah yang akan pergi ke dapur untuk membuatkan mereka -para orang dewasa susu. Begitu pun sebaliknya. Jika anak-anak mulai mengeluh karena lelah sepulang bekerja, maka orang-orang dewasalah yang akan memijit kaki anak-anak itu. Memang semua jadi tampak lucu. Tapi demikianlah yang terjadi.
Benarkah?
Ya, kejadian itu berawal ketika aku mulai menguap dan kesadaranku pun mulai menghilang.Tiba-tiba saja aku tersedot masuk ke sebuah ruang yang begitu asing. Kesadaranku hilang, sesaat merasakan hampa, dan setelah sadar, aku pun sudah berada di sebuah tempat yang sepenuhnya berisi kenangan-kenangan masa kecil.
Aku melihat diriku yang masih kanak-kanak, bermain layang-layang di tepi sawah, bermain petak umpet dan bermain kelereng. Aku bahkan sempat melihat masa kecil sang Presiden. Dia begitu lucu, menempel di ketiak ibunya. Pemandangan yang sangat berbeda dengan wujud sang Presiden saat ini, bukan? Tapi, pemandangan itu hanya terlihat sepintas saja dan kemudian hilang setelah aku mengusap mata, tidak percaya.
Lalu?
Setelah memasuki ruang imajinasi anak-anak tersebut, aku mendadak menjadi begitu kagum pada anak-anak. Entahlah. Padahal dulu aku begitu membenci (sebenarnya bukan membenci, hanya jengkel saja) jika melihat tingkah anak-anak yang seringkali membikin geregetan. Aku bahkan sempat berpikir, jika kelak aku beristri, aku akan berkata pada istriku, begini: ’’Aku tak ingin mempunyai anak’’. Ya, mudah saja. Tapi setelah mengalami ketersesatan di ruang imajinasi anak-anak, tampaknya aku harus berpikir beratus-ratus kali untuk melakukan tindakan bodoh itu.
Memang seharusnya begitu.
Ah, memang tak butuh waktu lama untuk membuat seorang pembenci menjadi penyayang. Semua itu bukanlah hal yang aneh di dunia ini. Lebih-lebih di sini, di dunia imajinasi anak-anak. Tuhan hanya butuh waktu sepersekian detik saja untuk melancarkan trik-trik tersebut. Dan, bum. Maka terjadilah.
Menjadi anak-anak merupakan hal yang paling tak wajar selama menjalani proses kehidupan sebagai manusia. Kadang, mereka, para anak-anak itu, hanya menangis jika menginginkan sesuatu tanpa berkata secara jelas. Yang benar saja, bukankah hal itu sangat payah dan primitif? Belum lagi jika anak-anak itu mulai mengeluarkan ingus dari lubang hidungnya. Mulai bertingkah karena menginginkan suatu hal. Mulai mencoret-coret tembok yang baru saja dicat. Mulai mengompol. Mulai mengobrak-abrik segala isi rumah. Mulai berteriak-teriak tak jelas ujungnya. Mulai ingin buang air besar dan mulai memanggil kita untuk membantunya membersihkan kotorannya. Arrght, hal itu sangat menjijikan, bukan? Tapi ini perkara lain. Kini aku tersesat di dunia imajinasi anak-anak, yang berarti, mau tak mau aku harus mengikuti tata caranya jika tak mau dianggap sebagai pengkhianat dan diasingkan di pulau terasing,- seperti kisah-kisah dalam buku sejarah yang pernah kubaca ketika aku masih tinggal di dunia normal.
Maksudmu seperti buku Tragedi 65?
Ya. Mungkin.
***
Pagi itu merupakan hari pertama aku tinggal di dunia imajinasi anak-anak. Dan jangan kau tanyakan bagaimana rasanya. Sungguh memuakkan. Dan seperti anak-anak pada umumnya, pagi hari itu aku harus terbangun karena celana basah. Itu berarti, aku mengompol.
Hahaha. Semakin menarik saja ceritamu. Lalu?
Siang harinya, karena kebetulan hari itu adalah hari Minggu, aku pun diajak jalan-jalanke kota denganseorang anak yang diberi mandate untuk mengurusiku selama tinggal di dunia imajinasi anak-anak. Dan tiba-tiba saja, aku tak dapat menahan keinginanku. Aku merontaronta dan meminta untuk dibelikan sebuah robot mainan-pada anak yang diberi mandate untuk mengurusiku selama tinggal di dunia imajinasi anak-anak. Astaga. Sebenarnya aku pun sadar dengan apa yang kulakukan. Tapi, apa boleh buat. Aku tak kuasa menahan gejolak kekanak-kanakanku. Aku terus merengek, sampai-sampai, anak yang diberi mandat untuk mengurusiku selama tinggal di dunia imajinasi anak-anak itu, menghujaniku dengan makian khas orang dewasa.
Hal itu pun diperburuk dengan permintaan pacarku yang turut tersesat di dunia imajinasi anak-anak, bersamaku. Kali ini, pacarku meminta boneka Barbie. Ia begitu bersikukuh pada permintaannya. Ia berhenti dan berdiri mematung tepat di depan toko yang menjual boneka Barbie tersebut sampai keinginannya dikabulkan.
Ah, yang benar saja. Itu namanya konyol. Pacarmu juga turut tersesat?
Iya, memang. Aku juga sempat kaget ketika melihat si penjual boneka Barbie tersebut. Ukuran tubuhnya sangatlah kecil. Mungkin si penjual boneka Barbie itu masih berusia lima tahunan jika saja si penjual itu tinggal di dunia normal. Tapi, sekali lagi, ini adalah dunia imajinasi anak-anak. Semuanya menjadi tampak lain dan begitu lucu. Dan ada satu hal yang membuatku terheran-heran. Penjual yang berusia lima tahunan jika di dunia normal itu, berperilaku layaknya orang dewasa. Penjual boneka Barbie itu merokok dengan gaya orang dewasa, dan tak sedikit pun menujukkan raut wajah takut atau rikuh ketika melihat diriku yang berdiri tepat di hadapannya. Padahal, jelas-jelas tubuhku lebih besar darinya. Dan kadang-kadang, penjual itu pun tampak genit ketika mengerdipkan mata saat melihat lawan jenisnya. Oh, astaga. Mungkin pikiran mereka jauh lebih tua dari postur tubuh yang melekat di diri mereka. Atau, mungkinkah ini yang disebut dengan Hari Kebalikan?*)
Ya, mungkin saja begitu… nah, sekarang coba kau lanjutkan ceritamu.
Ketika hari mulai menginjak sore, langit pun mulai tampak memerah. Begitu indah. Sangat indah. Dan itu berarti, tiba saatnya aku untuk mandi. Pakaian yang kukenakan segera kulepas satu per satu, dan tentunya dengan bantuan seorang anak yang diberi mandat untuk mengurusiku selama tinggal di dunia imajinasi anak-anak. Dan astaga, aku pun terenyak setelah mengetahui bahwa pacarku, yang turut tersesat bersamaku, ternyata tinggal satu atap denganku. Itu berarti, aku harus mandi bersama dengannya. Pacarku pun mulai melepas kancing demi kancing bajunya. Kemudian roknya. Kemudian celana dalamnya, kutangnya, dan… sampai telanjang bulat, tanpa mengenakan sehelai kain pun.
Bagaimana mungkin. Itu sangat tidak masuk akal.
Tapi nyatanya yang terjadi memang seperti itu. Dan janganlah kau berpikiran yang aneh-aneh dulu. Sebab, sedikit pun aku tak merasakan adanya rangsangan-rangsangan itu. Hasrat itu telah lenyap sepenuhnya. Dan bahkan, aku sama sekali tak merasa malu ketika bersehadap tubuh dengan pacarku. Ya, padahal kami sama-sama bertelanjang bulat. Sungguh tidak wajar, bukan?
Setelah usai melakukan ritus mandi sebagai rutinitas sore bagi anak-anak, aku pun kemudian dipersilakan untuk menonton acara televisi kesukaanku oleh anak yang diberi mandat untuk mengurusiku selama tinggal di dunia imajinasi anak-anak, yang kemudian aku memanggilnya dengan sebutan ’’Ayah’’.
Hahaha. Jadi anak itu adalah ayahmu?
Ya. Diamlah sebentar, akan kulanjutkan ceritaku.
Baiklah.
Biasanya, ketika aku masih tinggal di dunia normal, jika tiba waktu untuk bersantai di sore hari, aku akan menghabiskan waktuku untuk menonton tayangan drama Korea. Tak wajar memang untuk ukuran pria dewasa seumuranku jika melihat tayangan televisi berupa drama Korea, meski itu kulakukan di dunia normal sekali pun. Tapi, ya, drama Korea cukup membantuku untuk mengendurkan otot-ototsetelah capai bekerja seharian. Ditambah lagi dengan hidangan pisang goreng dan kopi hitam.
Tentu sangat nikmat. Ah, tapi, akan lebih nikmat jika kau melanjutkan kisahmu tadi.
Ya, seperti anak-anak pada umumnya, aku pun lebih memilih channel televisi dengan acara khas anak-anak. Seperti kartun Spongebob Squarepant, atau Shaun the Sheep.Aku begitu asyik menyaksikkan kebodohan-kebodohan yang dilakukan Spongebob dan Patrick. Atau, ketika aku melihat kambing yang teramat membosankan itu. Acara kartun yang sangat tidak mendidik, kartun bisu, kata sebagian orang. Tapi kini aku tak boleh berpendapat seperti itu. Aku harus menyukai acara-acara televisi tersebut. Ya, semua itu kulakukan semata karena aku tengah tersesat di dunia imajinasi anak-anak.
Sebagai anak-anak, aku pun tak luput dari imajinasi. Aku membayangkan jika mobil-mobil mainanku bertabrakan dan hancur lebur. Aku bahkan pernah bermaksud untuk menggambar wujud Tuhan. Tapi ayahku (di dunia imajinasi anak-anak), segera mengingatkanku bahwa aku tidak boleh melakukan hal itu lagi.
’’Tapi kenapa, Yah?’’ tanyaku penasaran, dan tentunya dengan nada khas anak-anak.
’’Pokoknya tidak boleh!’’ Gertak ayahku yang memiliki ukuran tubuh jauh lebih kecil dariku.
’’Memangnya kenapa, Yah?’’
“Bocah kok ngeyel. Kalau udah dibilang nggak boleh ya nggak boleh!’’
Ya, tentu. Orang dewasa memang selalu begitu jika mulai dibuat bingung oleh pertanyaan anaknya. Mereka lantas akan mencari- cari alasan yang dirasa tepat untuk menjawab pertanyaan anaknya tersebut.
Aku pun selalu membayangkan, betapa enaknya menjadi orang dewasa. Dengan jiwa kekanak-kanakanku, aku pun mbatin, ’’Ah, rasanya aku ingin lekas menjadi dewasa saja. Orang dewasa selalu menang!’’
***
Kini, setelah aku kembali menjadi orang dewasa di dunia normal, aku begitu merindukan masa kanak-kanakku. Ingin rasanya aku kembali tersesat, bahkan terjebak untuk selamanya di dunia imajinasi anak-anak. Menjadi dewasa begitu membosankan. Menjadi dewasa berarti mulai memikirkan ketakutan-ketakutan menjadi tua. Mulai jenuh dengan pekerjaan, tugas-tugas kerja yang harus diselesaikan, rencana-rencana ke depan, atau bahkan tuntutan untuk segera merubah status di KTP.
Sungguh, rasanya aku ingin tersesat seumur hidup di dunia imajinasi anak-anak saja. Berjumpa dengan pacarku, mandi bersama dengannya, dan tentunya tanpa hasrat dan pikiran kotor sedikit pun seperti orang dewasa itu. Ya, bertingkah sewajarnya bak anak-anak.
Ah dasar orang gila!
Kau juga gila! (62)
Prambanan, 2013
Catatan: Hari Kebalikan adalah tema dalam kartun Spongebob Squarepant.
— DT Jatmiko, lahir di Blora, sedang menyelesaikan studinya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan aktif dalam Komunitas Malam Ngopinyastro dan Sanggar 28 ’’TERKAM”.
Leave a Reply