Cerpen M Dirgantara (Suara Merdeka, 23 Februari 2014)
SAYA baru bangun pagi itu, dibangunkan telepon. Malam sebelumnya saya menghadiri pesta koktail seorang teman. Dia merayakan kemenangannya di Grammy untuk kategori “Lagu Tahun Ini”. Dia mengalahkan saya untuk kategori itu, tapi saya menang untuk kategori lain. Kepala saya masih berat, leher saya kaku dan bunyi-bunyi saat saya bergerak.
Isi telepon dari suami Zubaedah itu singkat saja: Anda dimohon hadir di acara pemakaman Puang Zubaedah. Anda diminta menyumbang satu lagu. Saya tahu Anda teman dekatnya.
Grammy tahun ini memang bertemakan: Puang Zubaedah, Sang Legenda Musik. Entahlah kenapa Zubaedah tiba-tiba mampus dua hari yang lalu bertepatan dengan perayaan Grammy. Mungkin dia memang merencanakannya agar dapat mencicipi ketenaran terakhir kalinya, sebab memang ia sudah kehilangan semua ketenarannya.
Saya kelabakan tiba-tiba. Di kepala saya berputar-putar alasan menolak tawaran menyumbang satu lagu. Sebagai penyanyi, apa yang keluar dari mulut saya diperhatikan orang. Saya tidak ingin dicaci habis-habisan karena penampilan buruk di acara pemakaman ini. Saya cukup sakit hati membaca komentar-komentar orang di Youtube untuk video berjudul “Vocal Terburuk Puang Rohani” atau “Si Suara Emas Itu Telah Hilang” atau “Rohani Tidak Bisa Bernyanyi Lagi”.
Saya tidak punya cukup tidur untuk benyanyi. Ditambah lagi semalam habis menegak koktail beberapa gelas. Penampilan saya tidak akan bagus. Saya tahu itu. Saya tidak bisa tampil pokoknya.
Tapi ini acara pemakaman yang diliput dunia. Bila tidak tampil, karena alasan apa saja, saya pasti dicaci. Orang-orang yang hadir akan memandang saya sebelah mata. Bagaimana bila saya ke Oscar atau Grammy tahun depan? Saya tidak ingin seperti orang asing di antara tamu-tamu lainnya.
“Terima kasih kesempatannya. Saya merasa turut berbelasungkawa. Saya terhormat bisa tampil. Lagu mana yang mesti saya bawakan?” kata saya tadi.
“’Ketika Kamu Percaya’. Akan bagus bila Anda menyanyikan itu.”
Sial! Lagu itu susah sekali. Setidaknya saya butuh tidur lima belas jam untuk menyanyikannya dengan baik. Saya tidak mungkin meminta bantuan sound system untuk menempel suara atau lebih gila lagi, lipsync saja. Mereka bukan fans-fans saya yang kurang jeli. Saya akan ketahuan seketika. Semuanya akan berujung memalukan: “Puang Rohani Lipsync di Pemakaman Zubaedah”.
Seandainya saya tidak ikut pesta koktail itu. Seharusnya saya tahu saya akan hadir di pemakaman ini. Seharusnya saya sadar diri sebagai penyanyi kelas dunia, saya akan diminta menyanyi di pemakaman mantan penyanyi kelas dunia.
***
PERTEMUAN saya dengan Zubaedah pertama kali di Oprah Show. Waktu itu judulnya “Legenda Hidup”. Kami berdua diundang, saya masih mengingatnya. Dia berpakaian putih-putih dengan rambut dicat blonde. Kami bersalaman dan bertukar sapa, lalu menyapa pemirsa. Sebenarnya saya sedikit ragu berjabat tangan, sebab beberapa waktu sebelumnya saya melihat wawancaranya di televisi.
“Pendapat Anda tentang Puang Rohani?”
“Saya tidak tahu siapa itu,” jawab Zubaedah sambil tersenyum.
Hah! Pura-pura tidak tahu. Saya tahu Zubaedah merasa tersaingi. Suara saya lebih dari dia dan lagi pula saya lebih muda. Apalagi semenjak Zubeadah jadi pecandu, suaranya makin pas-pasan. Saya akui saya pernah senang sekali mendengar suaranya sewaktu saya masih berkerja sebagai pramusaji di sebuah restauran lelaki dewasa. Waktu itu saya masih mengirim kaset demo saya ke mana-mana. Lihat, sekarang saya penyanyi paling sukses!
Kami berdua bernyanyi di acara itu. Saya berusaha membuat suaranya tenggelam agar saya nampak berjaya. Tapi seharusnya saya sadar diri, suaranya lebih tebal. Suara saya seperti ranting-ranting kering dirubuhi beringin. Setelah itu, saya melihat video itu di Youtube dan merasa malu sekali. Suara saya tidak kedengaran di klimaks lagu. Padahal saya melotot berteriak. Sialan!
Setelah Oprah Show itu selesai, Zubaedah mengajak saya bekerja sama dalam satu lagu. Jadilah lagu kami “Ketika Kamu Percaya”.
***
“NDO’ pulang jam berapa?”
“Mungkin tiga jam lagi, mudah-mudahan acaranya tidak molor.”
Saya mencium anak saya dan masuk ke mobil. Suami saya tidak ikut, dia punya pemotretan hari ini.
Saat saya mati nanti, foto saya akan ada di Facebook juga tidak yah? Saya merasa ini tidak masuk akal. Ide memasukkan foto mayat ke Facebook itu gila!
Sebelum mandi tadi, saya iseng membuka halaman Facebook buat menyapa penggemar, lalu membuka halaman Facebook Zubaedah. Lalu saya temukan fotonya di peti mati. Jarak dekat!
Tidak ada yang damai dari foto orang mati. Percayalah. Hanya kulit pucat seperti bedak, kelopak mata bengkak lebam. Saya tidak percaya kata-kata: “Zubaedah meninggal dengan damai dan bercahaya”. Tidak ada itu.
Saya meneguk teh lemon hangat, mencampurkannya madu, lalu meneguknya lagi. Saya berharap ini bisa membantu. Setelah mengecek-ngecek, bersenandung meraih nada tertentu, saya tahu ini tidak membantu banyak.
“Sudahlah, keluarkan kemampuan Anda, apa saja yang Anda miliki sekarang.”
“Maksudmu?”
“Lalu yang Anda pikirkan adalah permintaan maaf karena menyanyi buruk.”
Saya diam sebentar menangkap-nangkap maksudnya.
“Brilian!”
Ah, tidak salah saya memilih perempuan ini sebagai manajer. Meski saya curiga dia main mata dengan suami saya.
“Kita sudah sampai, kaca mata Anda? Oh ya, silakan. Kita duduk di baris empat puluh.”
***
ACARA inti selesai, tersisa persembahan-persembahan. Saya tampil di urutan empat, setelah penyanyi-penyanyi pria tampil. Saya memang penyanyi perempuan nomor satu, pantaslah ditaruh pertama juga di antara perempuan. Saya senyum-senyum sendiri.
Saya perhatikan semua orang penting ada di situ. Tentu saja mantan suami saya juga ada di situ bersama isteri barunya. Sejujurnya saya tidak pernah mencintai lelaki itu. Saya mau menikah dulu semata-mata untuk mempermulus karir saya di label rekamannya. Saya tidak berselera dengan pria botak dan gendut.
Penampil pria terakhir selesai, dia penyanyi rock legendaris dan teman main Zubaedah di filmnya yang paling terkenal, Sang Pengawal yang Dijatuh Cintahi yang Dikawal tapi Diburu-Buru Fans Maniak.
“Anda selanjutnya, silakan siap-siap ke panggung.”
“Oh, ya, baik.”
“Kita semua sangat kehilangaan saat ini. Seorang legenda musik, teman baik kita, saudara kita, yang membawa secercah kebahagiaan ke pada kita. Beliau pergi menuju surga.” Saya menyeka mata saya. “Sebagai pribadi yang pernah bekerja sama dengan beliau, saya tahu benar beliau adalah pribadi yang sangat baik dan ramah. Beliau mengajari saya banyak hal. Tidak akan ada lagi yang bisa menggantikan beliau di hati kita semua, di hati saya.”
Saya mulai bernyanyi. Fals di beberapa bagian tentu saja, terutama di transisi suara dada dan suara nasal. Untunglah di bagian klimaks saya terbantu paduan suara di belakang.
Sesaat setelah turun dari panggung saya meraih telepon genggam dan berciap di Twitter: “Maaf dengan penampilan buruk saya hari ini. Tenggorokan saya tercekat di depan peti mati beliau. Saya terlalu sedih.” Setelah itu saya memeriksa kotak sebutan dan beberapa orang memaklumi penampilan saya. Mereka berkata: “Kami tetap mencintaimu, kamu tetap satu-satunya di dunia.”
Ah, senang rasanya terbebas dari beban yang tiba-tiba. Saya bisa pulang bermain dengan anak saya dan tidur nyenyak malam ini. Saya harus menampilkan yang terbaik untuk konser saya minggu depan.
Desember, 2013
M. Dirgantara, cerpenis yang sedang menyelesaikan studinya di jurusan Sastra Inggris USD, Yogyakarta.
ame
sepotong rembulan