Cerpen Afrizal Malna (Media Indonesia, 9 Maret 2014)
LELAKI itu 17 tahun. James namanya. Sudah berdiri di atas bibir kematian. Telapak kakinya jadi lebih pucat, menahan keseimbangan berat tubuhnya. Ia masih mengenakan pakaian tidur dengan bau malam yang tersisa. Kota di bawah apartemennya tampak seperti jurang dengan taring-taring yang terus bergerak menebarkan topeng-topeng kesepian.
Hidup seperti pagi yang selalu kehilangan hari kemarin. Mata James mulai terpejam. Ia tidak mau memandang kematiannya melayang ke bawah taring-taring itu. Bulu matanya lentik. Lelaki yang tersamar dalam topeng kecantikan. Tidak terlalu sulit untuk memejamkan mata. Tapi telinganya mulai lebih sensitif, menangkap dan mengurai setiap suara. Setiap suara, dari berbagai jenis, berubah jadi lentingan cerita yang melayang mencari susunannya. Tiba-tiba terdengar suara klakson taksi.
Ibunya, yang baru saja merayakan perkawinan keduanya, tiba-tiba datang. Keluar dari taksi seorang diri dengan wajah panik. Usia perkawinan yang sangat pendek, hanya 48 jam. Suara klakson itu mengubah rencana bunuh dirinya menjadi kehidupan pagi hari, seperti biasanya di New York: sarapan pagi dengan rencana bunuh diri yang gagal.
Hujan masih turun, seperti suara serangga menggerogoti atap rumah. Pipa yang tertanam pada dinding kamar terdengar terus mengucurkan air hujan. Seperti ada makhluk yang sedang berusaha keluar dari sekapan dinding kamar. Dinding itu hidup. Tembok itu adalah alam yang terperangkap dalam beton. Jamur tumbuh di beberapa bagian tembok yang lembab. Semesta ada di mana-mana, menciptakan mikrobiologi dalam dinding kamarku.
Film itu terus bergerak, gambar demi gambar, seakan-akan aku sedang duduk di sebuah kereta dengan jendela yang terus mengubah yang kulihat menjadi layar-layar yang terus berlalu. Tapi ini bukan jendela kereta. Ini sebuah laptop. Aku sedang menonton Someday, judul film itu. Ditulis dan disutradarai Roberto Faenza. Film yang dibuka dengan proyek bunuh diri yang gagal. Aku duduk sendiri di depan monitor. Di belakangku banyak aku-aku yang lain dari aku-yang-sendiri, ikut nonton bersamaku. Kamarku penuh oleh mereka. Seluruh aku-yang-sendiri itu bernama James. Namaku juga James.
Aku tinggal di Jakarta, bukan di New York. Di sebuah kawasan elite Kebayoran Baru. Kamarku satu-satunya ruang yang bersih, jika dibandingkan dengan seluruh ruang dua lantai dalam rumah ini. Rumah milik seorang teman, tempat aku menumpang. Rumah yang lebih digunakan sebagai gudang. Barang-barang terserak di mana-mana. Kulkas bekas, peralatan masak, perabot rumah tangga, foto-foto keluarga, mainan anak-anak. Pesawat telepon rusak, komputer rusak, AC rusak, peti-peti kayu, kardus, koper tua, lukisan-lukisan tak terurus. Mereka semua menebarkan kenangan. Buku-buku sebagian telah dimakan rayap. Buku tentang sejarah tuhan, filsafat, sastra, arsitektur, seni, wayang, sampai langkahlangkah bermain catur. Barang-barang bekas: memori yang tersekap antara kardus, debu, dan kegelapan. Memori yang gentayangan, membuat suara bersama tikus, kecoa, atau kucing yang numpang melahirkan anaknya.
“Aku suka rumah ini,“ kata istriku suatu hari. “Rasanya aku ingin membekukannya, menjadikannya museum kota.“
Aku tertawa melihat cara istriku bergurau. Karena aku tahu, satu-satunya yang tidak bisa dilakukannya adalah bergurau. “Aku tidak pernah bisa memelukmu di sini. Kamu jadi seperti milik mereka, James,” lanjut istriku.
“Kamu tidak bisa melihat cinta di sini?” tanyaku.
“Tidak. Aku lebih melihat luka dan pelarian. Kamu begitu cocok bergaul dengan mereka,” lanjut istriku.
“Kaca pembesar seperti tumbuh dalam pikiranmu di antara barang-barang bekas ini. Sebuah cerita, gelas yang sedih, lemari yang sepi. Sampah!” istriku mengucapkannya seperti menelan ludahnya sendiri.
Sesuatu telah membuatnya marah. Tapi ia selalu tidak ingin memperlihatkan kemarahan. Kini istriku tinggal di Solo. Memilih sebuah kamar kos hanya untuk bisa bangun pagi. Sementara di sini, ia selalu bangun siang, cepat lelah. Bau tubuhnya masih tertinggal bersama memori dari benda-benda bekas itu. Bau tubuh yang sering jadi konstruksi tunggal dari susunan sunyi di rumah ini.
Ulang tahun istriku, kami rayakan dengan perjalanan ke museum Sangiran, yang menyimpan fosil manusia purba. Hampir satu jam berjalan dengan motor dari kamar kosnya di Solo. Ikan-ikan, batu, raksasa-raksasa, pertarungan untuk hidup. Udara purba yang menyimpan cahaya dalam kegelapan. Teori evolusi hadir seperti fiksi yang sedih dalam museum itu.
Di samping museum, kami memesan mi rebus di sebuah warung. Beberapa anak muda dari Sragen ikut makan di sana. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh pabrik, terbiasa dengan makanan murah dalam plastik. Mereka sering datang ke museum bukan untuk melihat isinya. Hanya untuk nongkrong, mencari pasangan atau pacaran. Kota, seperti Sragen, memang tidak memiliki ruang untuk mereka. Tidak ada taman yang diciptakan untuk cinta.
“James, tolong matikan mesin dalam pikiranmu itu. Aku di sini bersamamu,” tegur istriku. “Mereka bukan barang bekas. Mereka anak muda yang masih nyoba ini dan itu. Tidak ada formula seperti mi rebus ini untuk mereka.”
Aku memeluknya. Aku sangat takut ia terluka karena gesekan yang terus bergerak dalam pikiranku. Anak-anak muda di sekitar warung melihat kami. Sebuah pelukan di tempat umum, untuk mereka sama seperti mencari ladang persembunyian.
“Stop!” lanjut istriku. “Aku sedang memelukmu, bukan?”
“Maafkan aku,” jawabku limbung. Mataku memandangi patung manusia purba, seorang Soloensis, seorang Jawa purba. Berdiri tinggi. Telanjang. Tanpa topeng peradaban. Istriku minta dipotret di bawah patung itu, sambil mengacungkan simbol perdamaian dengan jarinya. Seekor monyet tiba-tiba menimbulkan suara gaduh, ia mengguncangguncang kandangnya yang terbuat dari besi. Aku tidak tahu, kenapa museum ini juga memiliki koleksi monyet. Evolusi dalam kandang besi? Kehidupan diawali dari makhluk-makhluk yang tumbuh dalam air, lalu menyebar ke darat. Ratusan juta tahun lalu.
Siapakah aku di antara ratusan juta tahun yang lalu itu? Meteran apa yang bisa digunakan mengukur kesunyian purba ini? Jembatan waktu yang membuat bayanganku gemetar dari monumen manusia purba itu hingga ke kandang monyet. Bumbu mie rebus yang masih melekat di lidahku, terasa seperti bau mayat yang diawetkan.
“Baby, ayo pergi,” aku mulai merajuk. Istriku mengerti kalau aku mulai tertekan. Ia menggandengku setengah memeluk, naik ke motor. Di perjalanan yang cukup sepi dari Sangiran ke Solo, istriku berteriak. Merayakan angin yang berhamburan di antara sawah-sawah.
“Kita bukan siapa-siapa!” teriaknya sambil mengendarai motor. Aku dibonceng. Aku tak bisa mengendarai motor. Bayangan makhluk Soloensis menghantuiku di antara gajah, badak, banteng, buaya sebagai bagian dari makhluk-makhluk purba. Aku memeluk pinggang istriku, seakan ada serbuk-serbuk purba yang bersarang pada pinggulnya. Tulang pinggulnya kadang kurasakan seperti rahang seekor buaya yang kuat. Cinta, ia selalu purba, pikirku.
Pakaian yang kukenakan rasanya seperti topeng peradaban yang terlalu berat. Aku melepaskannya, menyampakkannya ke jalan. Istriku juga melakukan hal serupa. Kami mengendarai motor dalam keadaan bugil. Orang-orang terkesima melihat kami.
Di lampu merah, saat berhenti menunggu lampu hijau, orang-orang gelisah melihat kami. Mereka seperti baru memiliki mata untuk melihat kebenaran. Begitu rumit untuk melihat kembali ideologi-ideologi masa kini di antara ratusan juta tahun lalu. Missing link tidak ada pada ratusan juta tahun itu. Missing link justru berlangsung antara tubuh kita dengan berbagai topeng masa kini, dan membuat kebenaran harus tinggal dalam ruang yang cacat.
Hujan mengguyur tubuh telanjang kami. Jarum-jarum hujan berhamburan, memijati dan membuat pakaian baru untuk tubuh kami. Pakaian dari hujan. Tubuh kami jadi berkilau di antara air hujan dan sapuan cahaya matahari. Aku menghirup air hujan yang mengalir ke bibirku. Air yang diciptakan langit. Air tanpa botol plastik.
“Nanette! Nanette!” James memanggil-manggil neneknya. Mereka akan nonton teater bersama. Tapi rumah neneknya sepi, walau lampu telah menyala di semua ruang. Ia menemukan neneknya telah mati dalam keadaan duduk di sofa. Hening bersama pakaian malam yang telah dikenakannya untuk nonton pertunjukan teater.
Jarum piringan hitam sudah sampai di ujung lingkarannya, menimbulkan suara terseok-seok.
James menghentikannya, mengangkat piringan itu. Ia bayangkan neneknya baru saja berdansa bersama kematian. James lalu melihat wajahnya di cermin tua dalam rumah itu. Cermin yang telah merekam banyak generasi yang telah dilahirkan keturunan neneknya. Cermin yang berkali-kali memantulkan kematian.
Someday dari Roberto Faenza telah berakhir. Lempengan DVD aku keluarkan dari laptop. Lagu terakhir, komposisi Andrea Guerra dari film itu, masih tersisa. Aku melihat ke belakang: sosok dari aku-akuyang-sendiri telah hilang. Mereka telah berubah jadi potret hitam-putih, memenuhi seluruh dinding kamar. Hujan di luar terus turun, seperti ladang dari sebuah siklus yang mencuci kembali debu-debu.
Afrizal Malna, menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan teks pertunjukan teater. Pada 2012, ia mengikuti residensi DAAD di Berlin, Jerman. Buku terkininya, Museum Penghancur Dokumen, terpilih sebagai pemenang KLA Award 2013.
* Incogni-type Lalu Debu: tipe-tipe penopengan dari debu yang beterbangan.
Leave a Reply