Cerpen Risda Nur Widia (Suara Merdeka, 9 Maret 2014)
ORANG-ORANG di kampungku percaya bahwa sungai itu bertuah. Sungai itu bernama Sungai Buntung, dan entah mengapa dinamakan seperti itu padahal sama sekali tak buntung. Air tetap mengalir deras seperti biasa. Tetapi, orang-orang dahulu meyakini bahwa sungai itu buntung, dan ujung dari sungai yang buntung itu, adalah Laut Selatan.
Setiap hari, pasti ada saja orang-orang yang bertapa di Sungai Buntung. Mereka mengasingkan diri di sana, dengan duduk bersila di bawah pohon, di samping batu besar, atau di bawah sebuah jembatan, yang umurnya sudah tidak dapat dihitung dengan jari lagi. Orang-orang itu akan berhari-hari bertapa di sana, dan seandainya mereka merasa lapar, mereka cukup memakan daun yang tumbuh di sekitar sungai.
Kebiasaan aneh itu dimulai ketika ada seorang pemuda, yang tiba-tiba dapat meramal nomor-nomor togel. Pemuda itu memang acap termenung di tepi Sungai Buntung. Melamun. Ia dianggap memiliki kesaktian setelah seorang pria yang gemar berjudi, menanyakan nomor togel padanya, dan pria itu menjadi kaya karena nomor yang ditanyakan tembus.
Tetapi, kejadian itu, tak serta-merta dipercayai oleh warga, karena pada mulanya, mereka menggangap hal itu hanya kebetulan saja. Tetapi, pemuda itu kembali memprediksi bahwa akan ada bencana besar yang melanda kampung serta akan banyak memakan korban. Keesokan harinya, kabar itu menjadi kenyataan. Terjadi sebuah gempa bumi, hingga meruntuhkan semua rumah, dan ribuan manusia mati. Pemuda itu pun tidak luput dari kematian. Sejak itu, orang-orang mulai percaya bahwa Sungai Buntung memiliki tuah, yang dapat memberi kesaktian pada seorang.
Kini, Sungai Buntung tidak pernah sepi oleh para petapa yang memiliki berbagai ambisi di dalam kepalanya. Orang-orang itu berdatangan dengan berbagai macam keinginan, ada yang ingin cepat kaya, dimudahkan jodoh, bahkan pernah ada seorang wakil rakyat yang rela menahan lapar, dan dahaga, hanya untuk mencari wangsit, untuk keberhasilan pencalonan dirinya, sebagai anggota dewan.
‘’Akhirnya, Darto memenangkan pemilihan bupati di kotanya.’’
‘’Ya, itu mungkin berkat ia bertapa di Sungai Buntung.’’
‘’Apa kau tidak ingin bertapa di sana, mencari berkah untuk keberhasilanmu?’’
‘’Aku ingin, tetapi aku takut.’’
***
SUNGAI Buntung memang memiliki banyak rahasia yang disimpan. Selain dipercaya punya tuah, sungai itu juga dihuni banyak ular. Belum lama ini, ada seorang petapa yang meninggal dipatuk. Ia ditemukan mati dengan tubuh biru, dan buih berwarna putih keluar dari mulutnya.
‘’Itu mungkin salah satu ujian yang harus ditempuh oleh para petapa kalau ingin berhasil,’’ kata pemuda ketika ronda.
Aku sebenarnya tidak begitu memercayai hal-hal absurd semacam itu, tetapi warga kampungku, seakan telah mendewakan Sungai Buntung. Setiap Jumat Kliwon, warga di kampungku selalu menyiapkan berbagai macam sesajen, seperti bunga tujuh rupa, ayam berumur tiga bulan, kopi pahit, ketan tiga warna, dan kemenyan. Penduduk percaya, penunggu di Sungai Buntung akan mengamuk, dan meminta banyak tumbal, bila tidak dilakukan ruwatan.
‘’Kita semua tidak mau terkena getahnya? Kami takut, kejadian dua tahun lalu, seperti banjir yang hampir menelan semua rumah dan ternak, atau mungkin gempa bumi, akan terulang kembali,’’ kata Ketua Adat yang bersikukuh mempertahankan pemberian sesaji.
Pemangku agama di desaku hanya menggelengkan kepala, karena tak sanggup lagi, menghilangkan kebiasaan buruk warga, mendewakan sebuah sungai.
Sungguh, Sungai Buntung seakan memiliki sebuah bibir yang manis, yang terus membisiki kata-kata rayuan kepada warga-baik berupa ancaman, atau keberuntungan. Tidak ada yang berani melanggarnya, karena setiap warga takut akan tulah, kalau mereka melawan kehendak sungai tersebut.
***
SELAIN di desaku, arus Sungai Buntung juga mengalir ke beberapa desa tetangga seperti Desa Dongkelan dan Tegal. Tetapi, seolah-olah hanya desaku saja yang mendapatkan rahmat sekaligus kutukan dari sungai tersebut. Mengapa kutukan? Selain sebagai tempat untuk bertapa, Sungai Buntung merupakan tempat favorit bagi orang-orang yang telah putus asa untuk mengakhiri hidupnya. Banyak orang yang mati dengan cara tak wajar di sana, baik dengan cara mencerat lehernya, atau meminum racun serangga. Tetapi, yang sering terjadi, yaitu orang mati dalam keadaan tergantung. Tak ayal, sungai Buntung semakin dikeramatkan.
Seorang warga di desaku pun pernah mengalami kejadiaan ganjil di sana, yaitu dihampiri oleh seorang wanita cantik, dan diajak menuju semak belukar untuk berkencan, tetapi ketika mereka telah sampai di tengah semak, wanita itu menghilang, dan menjelma menjadi seekor ular besar.
‘’Aku nyaris kencing di celana malam itu karena dihampiri ular besar.’’
‘’Lantas, apa yang kau lakukan?’’
‘’Lari sekencang mungkin!’’
Sungai Buntung pun dikenal sebagai tempat untuk membuang jin, atau jimat-jimat, yang sudah tidak digunakan lagi. Kami menganggap, Sungai Buntung, merupakan tempat berkumpulnya atau istana bagi makhluk-makhluk halus.
‘’Ketika, aku bertapa, ada seorang anak kecil tak berambut menghampiriku?’’
‘’Anak kecil botak? Tuyul?
‘’Mungkin.’’
‘’Apa yang tuyul itu lakukan?’’
‘’Mengelitiki tubuhku, mereka mencoba menganggu semadiku.’’
Setiap ronda, kisah tentang Sungai Buntung selalu diceritakan. Tetapi, aku masih saja tidak percaya dengan berbagai macam cerita itu, karena sampai saat ini, aku belum pernah digangu oleh makhluk-makhluk halus itu. Aku punselalu melewati Sungai Buntung, ketika malam, bahkan sering singgah di sana,untuk menghabiskan batang-batang rokok, sembari melamun, justru nyamuk-nyamuk kelaparan yang menggentayangiku.
Ya, setiap malam, aku selalu melamun di sana, kegelapan seolah menjadi teman baikku, meratapi nasib. Apalagi setelah aku gagal menikah dengan Nova, kekasihku. Gadis itu, tiba-tiba, membatalkan begitu saja pernikahan kami, yang tinggal menghitung hari. Ia berkilah padaku, dia ingin bekerja di kota sekaligus mencari pengalaman. Tetapi, aku tahu, ia melakukan hal itu, karena ia telah jatuh cinta dengan seorang pemuda lain, yang tinggal di kampung seberang. Ia pun telah mengandung beberapa bulan.
Malam ini, aku berharap, hantu-hantu itu mendatangiku. Tetapi, di mana hantu-hantu itu sekarang? Yang hadir malah hening, serta kegelapan kosong, yang membuatku semakin frustasi. Tidak ada apa pun di sini, selain kerik serangga, atau ilalang yang bergesekan diterpa angin. Dan pantas, tempat ini, selalu menjadi langganan bagi orang-orang malang, sepertiku untuk meratapi nasibnya.
‘’Setan-setan penunggu sungai, bila kalian benar-benar ada, tunjukkan rupamu, atau aku akan menyusul kalian dengan caraku.’’
Malam sedikit gerimis, dan aku sudah siap menjemput mereka. Setidaknya, setelah aku selesai menghisap linting rokok terakhir di tangan, aku akan menjerat leherku dengan tambang. Aku berharap kematianku berlangsung cepat, dan tidak ada seorang pun yang tahu, begitu pun Nova.
Dan benar, tidak ada satu pun hantu di Sungai Buntung, yang mendatangiku, karena ketika aku meloncat dari atas jembatan tua itu, dengan leher yang terbelit, hanya ada kegelapan, serta hening yangmengantarkanku pada kantuk, yang maha dahsyat. Atau (mungkin) hantu-hantu itu sedang berbisik, seraya mengamatiku dari kegelapan. (62)
— Risda NurWidia, mahasiswa Jurusna Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Cerpennya telah tersiar di berbagai media massa.
muhammadwalidkhakim55555
dunia mistisnya kerasa (y)